Thursday 5 June 2014

Aspek Hukum Sewa Menyewa

1. Pengertian perjanjian sewa menyewa
Perjanjian sewa-menyewa diatur di dalam babVII Buku III KUH Perdata yang berjudul “Tentang Sewa-Menyewa” yang meliputi pasal 1548 sampai dengan pasal 1600 KUH Perdata. Definisi perjanjian sewa-menyewa menurut Pasal 1548 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “ Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan telah disanggupi pembayaranya.”
Sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huurenverhuur dan dalam bahasa Inggris disebut dengan rent atau hire . Sewa-menyewa merupkan salah satu perjanjian timbal balik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sewa berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa dan menyewa berarti memakai dengan membayar uang sewa.[1]
Menurut Yahya Harahap, sewa-menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.[2]
Menurut Wiryono Projodikoro sewa-menyewa barang adalah suatu penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain itu untuk memulai dan memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa oleh pemakai kepada pemilik.[3]
Beberapa pengertian perjanjian sewa-menyewa di atas dapat disimpulkan bahwa cirri-ciri dari perjanjian sewa-menyewa, yaitu:
a. Ada dua pihak yang saling mengikatkan diri
Pihak yang pertama adalah pihak yang menyewakan yaitu pihak yang mempunyai barang. Pihak yang kedua adalah pihak penyewa, yaitu pihak yang membutuhkan kenikmatan atas suatu barang. Para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa dapat bertindak untuk diri sendiri, kepentingan pihak lain, atau kepentingan badan hukum tertentu.
b. Ada unsur pokok yaitu barang, harga, dan jangka waktu sewa
Barang adalah harta kekayaan yang berupa benda material, baik bergerak maupun tidak bergerak. Harga adalah biaya sewa yang berupa sebagai imbalan atas pemakaian benda sewa. Dalam perjanjian sewa-menyewa pembayaran sewa tidak harus berupa uang tetapi dapat juga mengunakan barang ataupun jasa (pasal 1548 KUH Perdata). Hak untuk menikmati barang yang diserahkan kepada penyewahanya terbatas pada jangka waktu yang ditentukan kedalam perjanjian.[4]

c. Ada kenikmatan yang diserahkan
Kenikmatan dalam hal ini adalah penyewa dapat menggunakan barang yang disewa serta menikmati hasil dari barang tersebut. Bagi pihak yang menyewakan akan memperoleh kontra prestasi berupa uang, barang, atau jasa menurut apa yang diperjanjikan sebelumnya.
Perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian konsensuil, yang berarti perjanjian tersebut sah dan mengikat apabila sudah tercapai kata sepakat diantara para pihak tentang unsur pokok perjanjian sewa-menyewa yaitu barang dan harga. Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan secara tegas tentang bentuk perjanjian sewa-menyewa sehingga perjanjian sewa-menyewa dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Bentuk perjanjian sewa-menyewa dalam praktek khususnya sewa-menyewa bangunan dibuat dalam bentuk tertulis. Para pihak yang menentukan subtansi atau isi perjanjian sewa-menyewa biasanya yang paling dominan adalah pihak yang menyewakan dikarenakan posisi penyewa berada dipihak yang lemah.

2. Subyek dan Obyek Perjanjian Sewa menyewa


Pihak-pihak yang terlibat dalam Perjanjian sewa-menyewa adalah:
a. Pihak yang menyewakan
Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak lainya unuk dinikmati kegunaan benda tersebut kepada penyewa. Pihak yang menyewakan barang atau benda tidak harus pemilik benda sendiri tetapi semua orang yang atas dasar hak penguasaan untuk memindahkan pemakaian barang ke tangan orang lain. Hal tersebut dikarenakan didalam sewa-menyewa yang diserahkan kepada pihak penyewa bukanlah hak milik atas suatu barang melainkan hanya pemakaian atau pemungutan atas hasil dari barang yang disewakan.
b. Pihak Penyewa
Pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang atau benda dari pihak yang menyewakan.
Obyek barang yang dapat disewakan menurut Hofmann dan De Burger, yang dapat di sewa adalah barang bertubuh saja, namun ada pendapat lain yaitu dari Asser dan Van Brekel serta Vollmar berpendapat bahwa tidak hanya barang-barang yang bertubuh saja yang dapat menjadi obyek sewa melainkan hak-hak juga dapat disewa, pendapat ini diperkuat dengan adanya putusan Hoge Raad tanggal 8 Desember 1922 yang menganggap kemungkinan ada persewaan suatu hak untuk memburu hewan (jachtrecht).[5]
Tujuan dari diadakanya perjanjian sewa-menyewa adalah untuk memberikan hak pemakaian kepada pihak penyewa sehingga benda yang bukan bersetatus hak milik dapat disewakan oleh pihak yang mempunyai hak atas benda tersebut. Jadi benda yang dapat disewakan oleh pihak yang menyewakan dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak pakai, hak mengunakan hasil, hak pakai, hak sewa (hak sewa kedua) dan hak guna bangunan.
Perjanjian sewa-menyewa menurut Van Brekel, bahwa harga sewa dapat berwujud barang-barang lain selain uang, namun barag-barang tersebut harus merupakan barang-barang bertubuh, karena sifat dari perjanjian sewa-menyewa akan hilang jika harga sewa dibayar dengan suatu jasa. Pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat dari Subekti yang berpendapat bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa tidaklah menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang ataupun jasa.[6] Jadi obyek dari perjanjian sewa-menyewa adalah segala jenis benda, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, benda berwujud maupun benda tidak berwujud.

1. Hak dan Kewajiban Para pihak
Perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian timbal balik sehingga ada hak dan kewajiban yang membebani para pihak yang melakukan perjanjian.
Kewajiban pihak yang menyewakan dapat ditemukan di dalam pasal 1550 KUH Perdata. Kewajiban-kewajiban tersebut, yaitu :
a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa.
b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga barang tersebut dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.
c. Memberikan si penyewa kenikmatan yang terteram dari pada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa-menyewa.
Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang yang disewa untuk dinikmati kegunaan barang tersebut bukan hak milik. Tentang pemeliharaan barang yang disewakan pihak yang menyewakan barang diwajibkan untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan atas barang yang disewakan. Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 1551 ayat (2) KUH Perdata yang berbunyi: “Ia harus selama waktu sewa menyuruh melakukan pembetulan-pembetulan pada barang yang disewakan, yang perlu dilakukan kecuali pembetulan-pembetulan yang menjadi wajibnya si penyewa.”
Pasal 1552 KUH Perdata mengatur tentang cacat dari barang yang disewakan. Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menanggung semua cacat dari barang yang dapat merinangi pemakaian barang yang disewakan walaupun sewaktu perjanjian dibuat pihak-pihak tidak mengetahui cacat tersebut. Jika cacat tersebut mengakibatkan kerugian bagi pihak penyewa maka pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menganti kerugian.
Pihak yang menyewakan diwajibkan untuk menjamin tentang gangguan atau rintangan yang menggangu penyewa menikmati obyek sewa yang disebabkan suatu tuntutan hukum yang bersangkutan dengan hak milik atas barangnya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 1556 dan 1557 KUH Perdata. Jika terjadi yang demikian, maka penyewa berhak menuntut suatu pengurangan harga sewa menurut imbangan, asalkan ganguan dan rintangan tersebut telah di beritahukan kepada pemilik. Akan tetapi pihak yang menyewakan tidak diwajibkan untuk menjamin sipenyewa terhadap rintangan-rintangan dalam menggunakan barang sewa yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan peristiwa yang tidak berkaitan dengan tuntutan atas hak milik atas barang sewa.
Pihak yang menyeakan disamping dibebani dengan kewajiban juga menerima hak. Hak-hak yang diperoleh pihak yang menyewakan dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1548 KUH Perdata, yaitu:
a. Menerima uang sewa sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian;
b. Menegur penyewa apabila penyewa tidak menjalankan kewajibanya dengan baik.


Pasal 1560, 1564, dan 1583 KUH Perdata menentukan bahwa pihak penyewa memiliki kewajiban-kewajiban, yaitu:
a. Memakai barang yang disewa sebagai bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya, atau jika tidak ada perjanjian mengenai itu, menurut tujuan yang dipersangkakan berhubungan dengan keadaan
b. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
c. Menanggung segala kerusakan yang terjadi selama sewa-menyewa, kecuali jika penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan tersebut terjadi bukan karena kesalahan si penyewa.
d. Mengadakan perbaikan-perbaikan kecil dan sehari-hari sesuai dengan isi perjanjian sewa-menyewa dan adat kebiasaan setempat.


Pihak penyewa memiliki hak, yaitu:
Menerima barang yang disewa
Memperoleh kenikmatan yang terteram atas barang yang disewanya selama waktu sewa.
Menuntut pembetulan-pembetulan atas barag yang disewa, apabila pembetulan-pembetulan tersebut merupakan kewajiban pihak yang menyewakan.

4. Risiko dalam Perjanjian Sewa-Menyewa
Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi obyek dari suatu perjanjian.[7] Risiko merupakan suatu akibat dari suatu keadaan yang memaksa (Overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi.
Pembebanan risiko terhadap obyek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa diluar dari kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barag / obyek sewa. Musnahnya barag yang menjadi obyek perjajian sewa-menyewa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
a) Musnah secara total (seluruhnya)
Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah disini berarti barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan sebagai mana mestinya, meskipun terdaat sisa atau bagian kecil dari barang tersebut masih ada.
Ketentuan tersebut diatur di dalam pasal 1553 KUH Perdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-menyewa berangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian sewa-menyewa dengan sendirinya batal.
b) Musnah sebagian
Barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah sebagian apabila barang tersebut masih dapat di gunakan dan dinikmati kegunaanya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika obyek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa mempunyai pilihan, yaitu :
a. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan harga sewa.
b. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.


5. Mengulang sewakan dan melepas sewa kepada pihak ke tiga
Pihak penyewa dilarang untuk mengulang sewakan obyek sewa kepada pihak ketiga tapa sepengetahuan dan persetujuan dari pemilik obyek sewa. Mengenai hal ini diatur di dalam pasal 1559 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperzinkan, tidak diperbolehka mengulang sewakan barang, yang disewanya, ataupun melepas sewanya kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan pengantian biaya, rugi, dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan, setelah pembatalan itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjian ulang sewa.”




Dari ketentuan yang berlaku dari pasal 1559 ayat (1) KUH Perdata tersebut dapat diketahui bahwa:
a. Mengulang sewakan kepada pihak ketiga hanya dapat dilakukn oleh seorang penyewa apabila diperbolehkan di dalam perjanjian sewa-menyewa atau disetujui oleh para pihak.
b. Jika pihak penyewa mengulan sewakan obyek sewa dalam massa sewa maka pihak yang menyewakan obyek sewa dapat melakukan pembatalan perjanjian sewa-menyewa dan menuntut ganti rugi. Akibat pembatalan perjanjian sewa-menyewa tersebut maka perjanjian sewa-menyewa yang dilakukan oleh pihak penyewa dengan pihak ketiga juga batal demi hukum.
Pasal 1559 ayat (1) KUH Perdata tersebut dapat diketahui tentang istilah mengulang sewakan dan melepas sewa. Pada prinsipnya kedua perbuatan tersebut dilarang dilakukan bagi pihak penyewa. Meskipun demikian perbutan-perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh penyewa jika sebelumnya telah diperjanjiakan sebelumnya. Berikut ini perbedaan kedua perbuatan tersebut:
Mengulang sewakan yaitu penyewa bertindak sendiri sebagai pihak yang menyewakan obyek sewa dalam suatu perjanjian sewa-menyewa yang diadakan olehnya dengan pihak ketiga.
Melepaskan sewa adalah pihak penyewa mengundurkan diri sebagai pihak yang menyewa dan menyuruh pihak ketiga untuk mengantikan kedudukanya sebagai penyewa sehingga pihak ketiga tersebut berhadapan sendiri dengan pihak yang menyewakan obyek sewa.


6. Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa
Perjanjian berakhir secara umum diatur di dalam undang-undang. Penentuan berakhirnya perjanjian sewa-menyewa terkait dengan bentuk perjanjian. Ketentuan hukum perjanjian sewa-menyewa di dalam KUH Perdata membedakan antara perjanjian sewa-menyewa yang dibuat secara lisan dan tertulis. Berikut ini cara-cara berakhirnya perjanjian sewa-menyewa:

a. Berakhir sesuai dengan batas waktu tertentu yang sudah ditentukan
1) Perjanjian sewa-menyewa tertulis
Diatur didaam pasal 1570 KUH Perdata yang berbunyi: “ jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah lampau tanpa diperlukanya suatu pemberitahuan untuk itu”.
2) Perjanjian sewa-menyewa lisan
Diatur dalam pasal 1571 KUH Perdata yang berbunyi: “jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa tersebut tidak berakhir pada waktu yang tidak ditentukan, melainkan jika pihak lain menyatakan bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.”
b. Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya.
Penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewa-menyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa-menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang tidak mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu, sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak.[8]

c. Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus
1) Permohonan / pernyataan dari salah satu pihak
Penghentian perjanjian sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas persetujuan dua belah pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa dilakukan tanpa putusan dari pengadilan. Di atur di dalam pasal 1579 KUH Perdata yang menyatakan bahwa pemilik barang tidak dapat menghentikan sewa dengan mengatakan bahwa ia akan mengunakan sendiri barangnya, kecuali apabila waktu membentuk perjanjian sewa-menyewa ini diperbolehkan.
2) Putusan Pengadilan
Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh salah satu pihak saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan seperti yang diatur di dalam pasal 10 ayat (3) PP No. 49 Tahun 1963 jo PP No. 55 Tahun 1981.
3) Benda obyek sewa-menyewa musnah
Pasal 1553 KUH Perdata mengaur apabila benda sewaan musnah sama sekali bukan karena kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dengan demikian perjanjian berakhir bukan karena kehendak para pihak melainkan karena keadaan memaksa (Overmacht).
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hal. 833.
[2] Yahya Harahap, Op.cit, Hal. 220.
[3] Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Hal. 190.
[4] Subekti, Aneka Perjanjian, Hal. 40.
[5] Wiryono Projodikoro, Op. cit, Hal. 50.
[6] Subekti, Op. cit, Hal. 91.
[7] Subekti, Op. Cit., Hal. 92.
[8] Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Hal. 240.

Tuesday 20 May 2014

HUKUM PERIKATAN


 

Pemahaman mengenai PERIKATAN

Doktrin Hukum Perdata menurut pendapat J. Satrio dalam bukunya “Hukum Perikatan Pada Umumnya”, membedakan 4 bagian kajian ilmunya, yaitu :
  1. Hukum Pribadi
  2. Hukum Keluarga
  3. Hukum Kekayaan
  4. Hukum waris

Hukum Kekayaan adalah hukum yang mengatur tentang hak-hak kekayaan, yaitu hak-hak yang mempunyai nilai ekonomis/uang. Jadi hak-hak kekayaan berbeda dengan hak-hak lain artinya dapat dijabarkan dalam sejumlah uang tertantu.
Kajian Ilmiah mengenai Hukum Kekayaan, dapat dibedakan lagi pada ruang lingkup, sebagai berikut :
1.      Hak Kekayaan Absolut
Hak kekayaan absolut hak yang dapat ditujukan kepada semua orang, artinya semua orang harus menghormati pemilik hak kekayaan absolute tersebut. Miisalnya : Hak Milik, Hak Gadai, Hak Hipotik.
Ruang lingkup hukum yang mempelajari hukum harta kekayaan yang sebagian diatur dalam  Buku II KUH Perdata yaitu mengenai Hak-Hak Kebendaan, dan yang berada diluar KUH Perdata atau diatur dengan undang-undang tersendiri

2.      Hak Kekayaan Relatif
Hak kekayaan relatif adalah hak-hak kekayaan yang hanya bisa ditujukan kepada orang-orang tertentu dan ia muncul dari atau dalam perikatan-perikatan, sehingga orang menyebut dengan istilah ius in personam. Hak ini lebih pada bersifat sementara, karena ia menuju pada suatu pemenuhan prestasi tertentu. Ruang lingkup hukum yang mempelajari hukum harta kekayaan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata mengenai Perikatan (verbintenis)

Sistematika KUH Perdata tentang Perikatan
Perikatan yang merupakan doktrin dari hak kekayaan yang bersifat relatif, telah diatur dalam Buku III KUH Perdata yang terdiri dari :
I.       Ketentuan umum tentang Perikatan
Ketentuan ini, diatur pada BAB I sampai dengan BAB IV, yang masing-masing mengatur mengenai :
1.      BAB I    tentang Perikatan-perikatan pada umumnya
2.      BAB II   tentang Perikatan-Perikatan yang lahir dari Perjanjian atau Persetujuan
3.      BAB III  tentang Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Undang-Undang
4.      BAB IV  tentang Hapusnya Perikatan

II.    Ketentuan Khusus tentang Perikatan
Ketentuan khusus ini diatur dalam BAB V sampai dengan BAB XVII, yang berturut-turut diatur tentang Perjanjian Khusus atau dengan istilah lain Perjanjian Bernama (nominaat contraten) artinya perjanjian yang memiliki nama tertentu dandiberikan pengaturannya secara khusus oleh undang-undang. Pengaturannya tidak terbatas yang diatur dalam KUH Perdata tetapi oleh undang-undang diluar KUH Perdata misalnya : Perjanjian tentang Hak Tanggungan yang diatur dalam UU. No. 4 tahun 1996 tetang Hak tangungan, UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Ketentuan khusus ini merupakan penjabaran dari ketentuan umum sehingga sepajang tidak diatur dalam ketentuan khusus maka perjanjian yang dibuat harus mengikuti ketentuan-ketentuan umum dalam KUH Perdata. Jadi Ketentuan umum berlaku untuk semua perjanjian kecuali ketentuan khusus menyimpanginya.

Pengertian atau Definisi tetang PERIKATAN
KUH Perdata tidak memberikan secara rinci tentang Pengertian atau Definisi Perikatan, sehigga Perumusan mengenai Pengertian atau Definisi Perikatan pada umumnya diberikan oleh para sarjana. Dengan demikian Pengertian atau definisi Perikatan adalah merupakan doktrin atau ajaran atau hanya ada dalam lapangan Ilmu Pengetahuan, bukan merupakan ketentuan yang mengikat yang meliputi baik dari segi kreditor maupun dari segi debitor (subyek dalam perikatan). Beberapa sarjana yang mengemukaan pengertian atau definisi Perikatan, antara lain :

1.      Menurut Hofmann :
Suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu dengan seseorang atau beberapa prang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu

2.      Menurut Pitlo :
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang  bersifat harta kekayaan antara 2 orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi

3.      Menurut R. Subekti :
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu

4.      Menurut Dr. Achmad Busro :
Pada prinsipnya Perikatan adalah terdapatnya hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan
           
Unsur-unsur perikatan
Dari Pengertian atau definisi perikatan diatas, dapat diketahui unsur-unsur dalam perikatan, meliputi :
1.      Adanya Hubungan Hukum
Unsur ini dimaksudkan untuk membedakan perikatan sebagaimana yang dimaksud dalam oleh Undang-undang dengan hubungan yang timbul pada kebiasaan atau karena moral yang hidup dalam masyarakat pada umumnya. Hubungan hukum yang timbul dalam lapangan moral atau kebiasaan yang berkembang di masyarakat, memang sama saja menimbulkan Hak dan Kewajiban bagi anggota masyarakatnya, tetapi pemenuhan terhadap hak dan kewajiban yang dimaksud dini TIDAK DAPAT DIPAKSAKAN. Terhadap sanksi yang ditimbulkan dengan tidak dilaksanakannya hak dan kewajiban tersebut didasarkan pada “rasa penyesalan” atau “dikucilkan dari pergaulan social”
Sebaliknya hubungan hukum yang dimaksud dalam hukum perikatan, jika debitor tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela dan dengan baik serta sebagaimana mestinya, maka Kreditor dapat meminta bantuan Hukum Perikatan agar ada tekanan kepada debitor agar debitor memenuhi kewajibannya.
Sehingga secara luas, yang dimaksud dengan hubungan hukum dalam lapangan hukum perikatan adalah :

Hubungan yang terhadapnya hukum meletakkan “hak” pada satu pihak dan melekatkan “kewajiban” pada pihak lainnya.

2.      Pada Ruang Lingkup Hukum Kekayaan
Seperti telah diketahui diatas hubungan hukum dalam perikatan, dimana disatu pihak ada hak dan di lain pihak ada kewajiban. Hubungan hukum yang demikian, memiliki arti yang luas karena hubungan hukum yang demikian ini, tersebar dalam lapangan hukum yang luas, sehingga perikatan itu ada dalam ruang lingkup hukum yang luas pula. Perikatan tidak hanya ada dalam Buku III KUH Perdata tetapi tersebar di Bku-Buku lain yang ada dalam KUH Perdata.
Sebagai contoh : Hubungan hukum (Perikatan) yang terdapat dalam lapangan hukum Keluarga. Sebuah perkawinan dapatlah diartikan sebagai perikatan, karena adanya hubungan hukum antara calon suami atau istri untuk mengikatkan dirinya secara suka rela dalam perkawinan dan disamping itu dalam hubungan hukum perkawinan menimbulkan akibat lahirnya berbagai perikatan lainnya, seperti dalam lapangan hukum harta kekayaan perkawinan terdapatnya Harta Bersama (Pasal 119 KUH Perdata), Perjanjian Kawin (pasal 139 KUH Perdata), dan lain sebagainya.
Karena contoh diatas bukanlah merupakan Perikatan yang diatur dalam Buku II KUH Perdata, maka apabila terjadi sengketa terhadap perikatan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan menerapkan ketentuan-ketentuan Perikatan yang diatur dalam BUKU III KUH Perdata.
Perikatan yang dimaksudkan dalam Hukum Perikatan adalah Perikatan-perikatan dimana hak dan kewajiban yang timbul atau dilahirkan oleh debitor dan kreditor, haruslah mempunyai nilai uang (bernilai ekonomis) atau paling tidak pada akhirnya dapat dijabrkan dalam sejumlah uang tertentu. Dengan arti lain, Hubungan hukum tersebut haruslah ada pada ruang lingkup Hukum Kekayaan.

3.      Para Pihak dalam Perikatan
Dalam Perikatan ada 2 pihak yang saling berhubungan yaitu pihak Debitor dengan pihak Kreditor. Debitor adalah pihak yang berkewajiban memenuhi atas prestasi, atau pihak yang berutang disebut dengan DEBITOR
Kreditor adalah pihak yang berhak atas prestasi,atau pihak yang berpiutang. Disebut sebagai Para Pihak karena dimungkinkan dalam perikatan pihak debitor atau kreditor lebih dari 1 orang. Pihak debitor Para pihak dalam suatu perikatan disebut dengan SUBYEK PERIKATAN.

4.      Obyek Perikatan berupa Prestasi
Obyek dalam perikatan berupa PRESTASI yaitu suatu hal dalam pemenuhan perikatan. Prestasi yang dimaksud, diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata yaitu berupa :

a.       Memberikan sesuatu
b.      Berbuat sesuatu
c.       Dan tidak berbuat sesuatu

Pada Perikatan, terjadi hubungan hukum antara Debitor dan Kreditor, dimana Debitor mempunyai hutang dan Kreditor mempunyai tagihan. Hutang dan piutang itu selalu tertuju pada prestasi tertentu yang melekat pada debitor dan kreditor. Kreditor sebagai pihak yang memiliki tagihan adalah pihak yang berhak atas suatu prestasi dari Debitor dan sebaliknya. Pemahan tagihan yang dimiliki Kreditor ini tidaklah harus berupa uang tetapi berupa prestasi tertentu, seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa obyek dalam suatu perjanjian harus berupa hal tertentu.

Pembagian Perikatan
Pembagian dalam perikatan menurut KUH Perdata, pembagian perikatan ini didasarkan pada SUMBER Perikatan. Hal mana dapat kita lihat dari Pasal 1233 KUH Perdata yang mengatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan (Perjanjian) , baik karena undang-undang.


 
















Perbedaan yang mendasar dari Perikatan yang bersumber dari perjanjian dengan perikatan yang bersumber dari undang-undang adalah :Pada kehendak para pihak dalam perikatan.
1.      Perikatan yang bersumber dari perjanjian lahirnya perikatan adalah kehendak dari para pihak
2.      Perikatan yang bersumber dari undang-undang lahirnya perikatan adalah karena kehendak dari undang-undang

Perikatan yang bersumber dari perjanjian/persetujuan (overenkomst)

Perjanjian menimbulkan atau berisikan ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak yaitu pihak debitor dan kreditor, dengan perkataan lain PERJANJIAN BERISI PERIKATAN.
Pasal 1313 KUH Perdata mengatur, sebagai berikut :

Pasal 1313
”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”

Menurut J. Satrio berpendapat bahwa : Pasal 1313 KUH Perdata yang mengatur tentang pengertian perjanjian, masih mengandung kelemahan-kelemahan, sehingga menimbulkan pemahaman yang kabur atau tidak jelas. Antara lain mengenai :
1.      Kata ”Perbuatan” pada perumusan tentang perjanjian belumlah jelas, lebih tepat jika diganti dengan kata ”Perbuatan Hukum/Tindakan Hukum”, karena dalam suatu perjanjian, akibat hukum yang ditimbulkan memang dikehendaki oleh para pihak.

2.      Kalimat ”mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Setiap orang yang membaca kalimat tersebut akan membayangkan adanya satu orang atau lebih yang terikat dengan satu orang atau lebih lainnya. Sehingga kesan yang ditimbulkan adalah: di satu pihak ada kewajiban dan dilain pihak ada hak. Kalimat ini lebih menggambarkan bahwa Pengertian Pasal 1313 KUH Perdata lebih cocok dipakai sebagai pengertian PERJANJIAN SEPIHAK.
Sebab dalam Perjanjian Timbal-Balik, pada kedua belah pihak terkandung Hak dan Kewajiban. Sehingga agar meliputi perjanjian timbal balik juga, maka sebaiknya ditambah kata ”ATAU dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri”.

Perbedaan Perikatan (Hubungan Hukum) dengan Perjanjian (Perbuatan Hukum)

Perbedaan Perikatan (Hubungan Hukum)
Perjanjian (Perbuatan Hukum)
1.      Hubungan hukum yang ada dalam perikatan masih bersifat abstrak, termasuk didalam hubungan hukum yang terdiri dari Hak dan Kewajiban yang bersifat umum.
1.      Perbuatan hukum dalam perjanjian memiliki sifat lebih konkrit, berupa tindakan hukum tertentu yang telah disepakati dan berakibat hukum terhadap para pihak.
2.      Hubungan hukum dalam perikatan memiliki pengertian yang luas, didalamnya meliputi :
a.       Dalam 1 (satu) perjanjian menimbulkan banyak perikatan
b.      Hubungan hukum dalam perikatan nerupakan isi dari perjanjian
c.       Hubungan hukum dalam perikatan memberikan ciri yang membedakan perjanjian tersebut dengan perjanjian yang lainnya.
2.      Perbuatan hukum dalam perjanjian memiliki pengertian Sempit. Karena perjanjian adalah merupakan tindakan hukum dua pihak dalam suatu peristiwa hukum yang tertentu (telah ditentukan). Contoh Pasal 1457 KUH Perdata adalah peristiwa hukum jual-beli dan telah ditentukan  hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang terlibat didalamnya.



Perbedaan Akta Otentik dengan Surat Di bawah tangan





akta otentik
1. Bentuknya sesuai UU
Bentuk dari akta notaris, akta perkawinan, akta kelahiran dll sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang-Undang. Namun ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan azas kebebasan berkontrak.
2.Dibuat di hadapan pejabat umum yg berwenang.
Dalam hal ini yang disebut sebagai “Pejabat Umum Yang Berwenang”  Tidak selamanya Notaris . Karena tidak hanya notaris yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta yang bersifat otentik. Notaris hanya berwenang untuk membuat akta-akta otentik yang berkaitan dengan hubungan dan hak-hak keperdataan seseorang, pendirian serta perubahan usaha dan lain sebagainya. Untuk pembuatan akta nikah misalnya, kewenangannya berada di tangan pejabat KUA atau pejabat catatan sipil, akta-akta tanah kewenangannya pada Pejabat Pembuat Akta Tanah. dan seterusnya.
3.Kekuatan pembuktian yang sempurna
Dalam hal diperlukan sebagai alat bukti di Pengadilan misalnya, akta-akta otentik tersebut merupakan bukti yang tidak dapat disangkal lagi. Kecuali pihak lawan atau pengajukan bukti lain yang menyatakan sebaliknya. Jadi kalau seseorang menyatakan bahwa akta kelahiran seorang anak palsu misalnya, maka si penyangkal harus membuktikan dengan melampirkan berbagai bukti-bukti lain yang mendukung tuduhan tentang ketidak benarannya akta kelahiran tersebut.

akta di bawah tangan
1.Bentuknya yang bebas
2.Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum yang berwenang
3.Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh pembuatnya
4.Dalam hal harus dibuktikan, maka pembuktian tersebut harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi & bukti lainnya. Oleh karena itu, biasanya dalam akta di bawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.


Thursday 1 May 2014

Hukum Perikatan



BAB I
TEMPAT HUKUM  PERIKATAN DALAM BW.

Pembagian hukum perdata menurut doktrin:
     1. hukum pribadi
     2.hukum keluarga
     3. hukumk kekayaan.
     4. hukum waris.
Pembagian KUHPerdata:
     1. buku I : tentang pribadi
     2. buku II : tentang benda.
     3. buku III : tentang perikatan.
     4. buku IV : tentang bukti dan kedaluawarsaan.
Hak-hak kakayaan yaitu hak-hak yang mempunyai nilai ekonomis/uang, artinya dapat dijabarkan dalam jumlah uang tertentu. Hak kekayaan dapat digolongkan menjadi hak absolute dan hak relatip.
    1. hak kekayaan yang absolute, ditujukan kepada semua orang.
    2. hak kekayaan yang relatif, yaitu hanya ditujukan kepada orang tertentu dan muncul dari perikatan bersifat sementara.
Unsur-unsur perikatan:
    1. hubungan hukum.
    2. hak dan kewajiban yang muncul mempunyai nilai uang.
    3. hubungan antara kreditur dan debitur.
    4. isi perikatan.







BAB II
SISTEMATIKA DAN PEMBAGIAN PERIKATAN

Susunan buku III KUHPerdata tentang perikatan terdapat 4 (empat) bab berisi ketentuan umum dan 14 (empat belas) bab berisi ketentuan hukum.
Bab I : tentang perikatan-perikatan umumnya.
Bab II : tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan, atau lahir           dari perjanjian saja.
Bab III : tentang perikatan –perikatan yang dilahirkan demi undang-undang.
Bab IV : tentang hapusnya perikatan.
Pembagian perikatan berdasarkan cirri-ciri tertentu dapat dikelompokan berdasarkan sumbernya, berdasarkan isinya, sifat prestasinya.
Berdasarkan sumbernya:
1. perjanjian sebagai sumber perikatan.
2. undang-undang sebagai sumber perikatan.
Berdasrkan isi prestasinya:
1. perikatan untuk memberikan sesuatu.
2. perikatan untuk melakukan sesuatu.
3. perikatan untuk tidak melakukan sesuatu.
Pembagian perikatan menurut doktrin:
1. perikatan perdata dan perikatan alamiah.
2. perikatan pokok/principal dan perikatan accessoir.
3. perikatan primer dan sekunder.
4. perikatan sepintas dan perikatan memakan waktu.
5. perikatan yang positip dan perikatan negative.
6. perikatan yang sederhana dan perikatan yang komulatif.
7. perikatan fakultatif dan perikatan alternative.
8. perikatan yang dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dibagi-bagi


BAB III
PRESTASI DAN WANPRESTASI

   Pasal 1235 KUHPerdata menyatakan: “ dalam tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termasuk kewajiban si berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak keluarga yang baik, sampai pada saat penyerahan “.
Penyerahan menurut pasal 1235 dapat berupa penyerahan nyata maupun penyerahan yuridis.
Pasal 1236 KUHPerdata menyatakan: “ si berhutang adalah wajib untuk memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berhutang, apabila ia telah membawa didinya dalam keadaan tidak mampu menyerahkan bendanya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya”.
Kesalahan yaitu kesalahan yang menimbulkan kerugian, sebenarnya ia dapat menghindarkan terjadinya peristiwa tersebut baik dengan tidak berbuat atau berbuat yang lain, dan timbulnya kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya, dengan memperhitungkan keadaan dan suasana pada saat peristiwa itu terjadi. Jadi kerugian itu dapat dipersalahkan kalau ada unsur kesengajaan maupun kelalaian pada diri debitur yang dapat dipertanggung jawabkan kepadanya.
Wujud wanprestasi:
1. debitur sama sekali tidak berprestasi.
2. debitur keliru berprestasi.
3. debitur terlambat berprestasi.
Somasi adalah teguran agar debitur berprestasi. Dalam pasal 1243 KUHPerdata, menetapkan bahwa tuntutan ganti rugi yang muncul akibat dari prestasi yang terlambat harus didahului dengan somasi. Namun dalam hal ganti rugi sebagai kewajiban prestai yang berwujud lain undang-undang tidak mengaturnya.



BAB IV
AKIBAT WANPRESTASI

Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan ada unsur kelalaian dan salah, maka ada akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bias menimpa debitur, sebagaimana diatur dalam pasal 1236 dan 1243, juga diatur pada pasal  1237 KUHPerdata.
Pasal 1236 dan 1243 berupa ganti rugi dalam arti:
-          Sebagai pengganti dari kewajiban prestasi perikatannya.
-          Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya atau disertai ganti rugi atas dasar cacat tersembunyi.
-          Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita kreditur.
-          Tuntutan keduanya sekaligus baik kewajiban prestasi pokok maupun ganti rugi keterlambatannya.
Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu. Dalam hal menentukan total, maka kreditur dapat meminta agar pemeriksaan perhitungan ganti rugi dilakukan dengan suatu prosedur tersendiri yang diusulkan.  Kalau debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya, maka debitur dapat dipersalahkan,maka kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi. Jadi prinsip dasarnya kreditur wajib membuktikan adanya kerugian. Kesulitan dalam praktek sehubungan dengan perubahan nilai mata uang, nilai mata uang tidak stabil mengakibatkan tidak mudahnya menghitung ganti rugi. Sebagai patokan dalam menetapkan ganti rugi dengan sejumlah uang yaitu emas sebagai standar nilai rupiah. Yurisprudensi MA tahun 1955 mengambil emas sebagai standar denagan catatan bahwa resiko perubahan itu dibagi 2 antara penggugat dan tergugat. Ada kemungkinan kreditur tidak mau menerima prestasi yang diserahkan debitur, ditinjau dari sudut kewajiban penyerahan penjual berkedudukan sebagai kreditur, oleh karenanya sebenarnya tidak benar kalau dikatakan ada wanprestasi pada kreditur, sebab disana kreditur  sebenarnya berkedudukan sebagai debitur.


BAB V
MASALAH BUNGA SEBAGAI GANTI RUGI.

Ada 3 (tiga) macam bunga yaitu:
1. bunga moratoir, merupakan bunga yang terhutang karena debitur terlambat memenuhi kewajiban membayar sejumlah uang. Diatur dalam pasal 1250 KUHPerdata.
2. bunga konvensional, adalah bunga yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian dan karenanya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ganti rugi. Diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata.
Bunga komvensatoir, adalah semua bunga diluar bunga yang diperjanjikan.
Bunga moratoir, merupakan bagian dari bunga komvensatoir.
3. bunga berbunga, adalah bunga yang sudah jatuh waktu tetapi belum/ tidak dibayar dan karenanya menghasilkan bunga lagi.


BAB VI
MASALAH RESIKO

Pada asanya setiap orang memikul sendiri resiko atas kerugian yang menimpa barang miliknya, kecuali dilimpahkan ke perusahaan asuransi.  Berdasarkan pasal 1237, benda yang harus diserahkan menjadi tangguangan kreditur. Karena prinsipnya kerugian menjadi tanggungan orang yang bersalah, maka dapat ditafsirkan bahwa kalau terjadi kerugian pada benda tertentu yang harus diserahkan dan tidak ada yang bersalah, maka yang harus menanggung kerugian adalah kreditur.  Beberapa penulis mencari jalan keluar dengan menafsirkan pasal 1444 dengan kata-kata “ hapuslah perikatannya “ ditafsirkan sebagai “ hapuslah seluruh perikatan yang lahir dari perjanjian yang bersangkutan “.  Pasal 1460 KUHPerdata ( tentang resiko pada jual beli ). Masalah resiko secara umum, dalam praktek ketentuan umum tentang resiko tidak banyak berperan sebab banyak diatur oleh perjanjian khusus, yang pada prinsifnya ketentuan khusus didahulukan terhadap ketentuan umum. Diluar itu para pihak dalam perjanjian juga bebas mengatur sendiri masalah resiko menyimpang dari ketentuan undang-undang yang bersifat menambah.



BAB VII
MASALAH OVERMACHT

Pasal 1245 KUHPerdata mengatur tentang kerugian yang timbul karena berhalangannya debitur untuk memberikan sesuatu atau berbuat sesuatu yang diwajibkan karena adanya “ keadaan memaksa “ atau kejadian yang tidak disengaja, maka debitur tidak dapat dituntut ganti rugi oleh kreditur. Dari ketentuan tersebut bahwa debitur tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana mestinya disebabkan oleh masalah-masalah sebagai berikut :
-          Hal yang tidak terduga.
-          Tidak dapat dipersalahkan kepadanya.
-          Tidak disengaja.
-          Tidak ada itikad buruk daripadanya.
-          Disebabkan debitur menghadapi keadaan memaksa.
-          Faktor kesalahan adalah faktor yang berkaitan dengan timbulnya halangan.

Unsur-unsur wanprestasi adalah :
-          Ada peristiwa yang menghalangi prestasi debitur yang diterima sebagai halangan yang dapat membenarkan debitur untuk tidak berprestasi.
-          Tidak ada unsur salah pada   debitur atas timbulnya peristiwa halangan.
-          Tidak dapat diduga sebelumnya oleh debitur.

Overmacht pada garis besanya terbagi 2 (dua ) yaitu :
-            Teorai overmacht yang obyektif.
Menurut ajaran ini debitur baru bias mengemukakan keadaan memaksa, kalau setiap orang dalam kedudukan sebagai debitur tidak mungkin untuk dapat berprestasi sebagaimana mestinya, ketidakmungkinan berprestasi bersifat absolut, siapapun tidak bisa melakukan. Ukurannya :
1. ketidak mungkinan merupakan kemungkina obyektif / subyektif.
2. ketidakmungkinan itu tidak dapat dipersalahkan kepada debitur.
Pasal 1444 KUHPerdata dapat disimpulkan kalau ada keadaan absolut tidak mungkin orang berprestasi, disini ada dasar untuk mengemukakan dalam keadaan overmacht.
-          Teori overmacht yang subyektif.
Bahwa yang dimaksud debitur adalah debitur yang bersangkutan, yang disoroti adalah cirri-cirinya, kecakapan, tingkat social, kemampuan ekonomi debitur yang bersangkutan, berdasarkan teori ini debitur masih dimungkinkan keadaan memaksa, kalau ia membuktikan, bahwa ia sudah berupaya semaksimal mungkin sesuai harapan kreditur.
Orang membedakan antara keadaan memaksa yang menyeluruh dan sebagian. Dalam hal ini orang berpendapat ada kesempatan bagi debitur untuk menuntut melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Tetapi HR telah beberapa kali menolak tuntutan seperti itu, kemudian HR merubah pendirian diantaranya keputusan tanggal 10 november 1927, : bahwa pihak-pihak dalam perjanjian tidak dibenarkan untuk, berdasarkan perjanjian, menuntut sesuatu dari lawannya yang mengakibatkan pelanggaran “ terhadapt itikad baik “.


BAB VIII
PERIKATAN BERSYARAT

Pasal 1253 merumuskan tentang syarat yaitu :
-          Suatu peristiwa yang masih akan datang, jadi belum terjadi.
-          Belum tentu akan terjadi.
Kemudian dihubungkan dengan pasal berikutnya, pasal 1254 yaitu :
-          Mungkin terlaksana.
-          Tidak bertentangan dengan kesusilaan.
Pasal 1253, 1254, 1255, mengatur syarat-syarat perjanjian, ditutup pada saat perjanjian, digantungkan dan dikehendaki oleh kedua belah pihak, kesimpulannya bahwa syarat sesuatu yang sengaja dicantumkan oleh para pihak, dan disetujui para pihak dalam perjanjian.
Perikatan bersyarat diatur dalam bab I bagian ke 5 (lima ) buku 3 (tiga ), yang bersyarat adalah perikatannya, bukan perjanjiannya. Syarat yang terlarang mempunya akibat hukum yang lebih kuat daripada testamen.



BAB IX
PERIKATAN DENGAN KETENTUAN WAKTU

Pada perikatan dengan ketentuan waktu, perjanjian sudah lahir pada saat ditutup, tetapi daya kerja dari perikatan yang lahir tersebut ditangguhkan, sampai terpenuhinya peristiwa-peristiwa yang disyaratkan ( pasal 1268 ), kalau perikatan itu dibatalkan dengan munculnya syarat tertentu.
Pasal 1268 mengatakan bahwa dalam suatu persetujuan diperjanjikan, pembayaran akan dilakukan pada waktu tertentu, maka kreditur tidak berhak untuk menagih sebelum waktu yang ditentukan.konsekwensinya kalau perikatan itu berisi “ untuk memberikan sesuatu “ maka debitur sudah sejak semula berkewajiban untuk memelihara benda prestasi dan wajib melakukan semua kewajiban-kewajiban persiapan.



BAB X
PERIKATAN ALTERNATIF.

Menurut pasal 1272 merumuskan tersendiri tentang perikatan alternative, si berhutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari  dua barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lain. Uraiannya sebagai berikut :
-          Disini ada lebih dari satu barang yang menjadi pokok perikatan.
-          Perikatan hanya satu.
-          Masing-masing obyek ( prestasi )nya merupakan satu kesatuan.
-          Debitur hanya wajib memenuhi salah satu dari obyek prestasi.
-          Pemenuhan objek prestasi yang satu membebaskan debitur dari kewajiban prestasi yang lain.
-          Debitur berhak untuk memilih sendiri diantara obyek perikatan.
-          Debitur tidak boleh memberikan obyek prestasi sebagian-sebagian dari kedua-duanya.
Macam-macam perikatan alternatif :
-          Perikatan pakultatif.
Perikatan pakultatif hanya ada satu obyek perikatan (obyeknya primer ).
-          Perikatan generik.
Perikatan generik adalah perikatan yang obyeknya hanya disebutkan “ jenis barang tertentu “, sebagai kebalikan dari perikatan yang obyeknya secara spesifik tertentu.



BAB XI
PERIKATAN TANGGUNG MENANGGUNG / RENTENG

Diatur dalam pasal 1278, perikatan ini terjadi antara beberapa orang berpiutang. Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
-          Ada lebih dari satu orang kreditur terhadap satu orang debitur yang sama.
-          Kesemua kreditur, debitur terhutang prestasi yang sama.
-          Masing-masing kreditur berhak untuk pemenuhan seluruh prestasi.
-          Pemenuhan prestasi kepada salah satu kreditur membebaskan debitur.
-          Prestasi itu bisa dibagi-bagi.
-          Harus ada hubungan hak kreditur dan kewajiban debitur.
Pasal 1280 menyatakan terjadi perikatan tanggung menanggung pihak orang yang berhutang, manakala mereka semuanya diwajibkan melakukan hal-hal yang sama bahwa pemenuhan oleh salah satu membebaskan kawan-kawan berhutang lainnya, yang unsur-unsurnya sebagai berikut :
-          Adanya lebih dari seorang debitur terhadap seorang kreditur yang sama.
-          Kesemua debitur masing-masing dapat ditagih kreditur.
-          Diwajibkan untuk melakukan hal yang sama.
-          Pemenuhan oleh salah satu debitur membebaskan debitur yang lain.
-          Kalau kreditur berhak menuntut salah satu debitur tanggung menanggungnya untuk seluruh prestasi.
Kalau sementara kreditur sedang bepergian atau sakit, tagihannya dapat ditagih oleh perwakilan atau kuasanya, unsur-unsurnya sebagai berikut :
-          Yang menentukan adalah prestasinya.
-          Prestasinya dapat menyerahkan / melakukan sesuatu.
-          Kalau prestasinya untuk menyerahkan sesuatu, apakah obyek prestasi yang akan diserahkan dapat dibagi-bagi, prestasinya melakukan sesuatu, apakah pekerjaan itu dapat dilakukan sepotong-sepotong.
-          Ukuran menentukan prestasi dibagi-bagi melihat secara pisik.


BAB XII
PERIKATAN YANG DAPAT DAN TIDAK DIBAGI-BAGI

Pasal 1296 memberi patokan bahwa suatu perikatan adalah dapat atau tidak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi baik secara nyata maupun secara perhitungan. Pasal 1300 menyatakan perkecualian, sebagai berikut :
-          Hutang itu merupakan hutang hipotik.
-          Hutang itu merupakan barang tertentu.
-          Bagi hutang utama, si berhutang boleh memilih antara berbagai barang, salah satunya barang tersebut tidak dapat dibagi-bagi.
-          Menurut persetujuan salah satunya ahli waris.
-          Baik karena sifat maupun barang yang menjadi pokok perikatan maksud kedua belah pihak hutangnya tidak dapat dibagi-bagi.
Pasal 1304 menyatakan, maksud ancaman hukumana adalah untuk menjamin, sebenarnya lebih tepat “ lebih menjamin “, karena tidak ada orang yang bisa menjamin pelaksanaan suatu perikatan, yaiti dengan mengaitkan hukuman itu dengan tidak dipenuhinya kewajiban perikatan oleh debitur, orang mengatakan perjanjian janji hukuman ( strafbeding ). Janji seperti itu dalam praktek dapat dikaitkan dengan suatu perjanjian atau wasiat. Walaupun undang-undang tidak mengatakan apa wujud dari hukuman itu maka orang bebas mengaitkan dengan hukuman apa saja asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, pada umumnya orang mengaitkan dengan hukuman pembayaran denda sejumlah uang tertentu, oleh karenanya orang menyebutkan janji denda ( boete beding ).