Restorative
justice sebagai salah usaha untuk mencari
penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Munculnya ide restorative justice sebagai
kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap
tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat
dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban
tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan
baru bagi keluarga dan sebagainya
Konsep Restorative
Justice diharapkan dapat menyentuh beberapa aspek bagi anak yang berhadapan
dengan hukum yaitu pencegahan, penanganan,
rehabilitasi dan reintegrasi. Namun ternyata tidak semua pihak dapat
melaksanakan keempat aspek tersebut dengan pertimbangan bahwa semakin banyak
yang terlibat dalam penanganan langsung terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum dapat memberikan imbas dan hambatan secara teknis.
Akibatnya
dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi hanya membutuhkan komponen inti dan komponen lain sebagai pendukung dan
tahap pencegahan. Mekanisme hukum dan aparat penegak hukum serta masyarakat
menjadi faktor yang semestinya mendapat perhatian yang cukup untuk memberika
perhatian dan perlindungan terhadap hak- hak dasar bagi seorang anak yang
berhadapan dengan hukum.
Oleh karena itu, perlunya diupayakan
agar aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya
mengacu pada Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi juga
mengacu pada instrumen nasional dan internasional
serta Surat Keputusan Bersama. Kepada aparat penegak hukum yang menangani
masalah anak hendaknya mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal.
Masyarakat dan aparat penegak hukum perlu mendapatkan penyegaran pandangan
terhadap masalah ABH agar dapat terlibat
dalam upaya menekan jumlah anak yang berhadapan dengan hukum ke dalam saluran dan langkah yang konstruktif dalam
perkembangan fisik dan psikis anak , dengan :
1. Menghindarkan
anak berada dalam mekanisme hukum formal dan mengutamakan pendekatan informal .
2. Mengharapkan
penyelesaian yang lebih bijaksana dengan konsep Diversi dan Restorative Justice.
3. Diperlukan
pemisahan registrasi berkas perkara anak di instansi Kepolisian dan Kejaksaan.
4. Perlunya
pengadaan ruang tahanan khusus anak dan ruang sidang anak serta jaksa yang
bersertifikasi khusus menangani masalah anak.
Perlindungan anak merupakan suatu usaha
untuk menciptakan kondisi yang melindungi anak agar dapat melaksanakanhak dan
kewajibannya.Negara memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak
melalui penanganannya terhadap anak yang berhadapan dengan hukum demi
kepentingan yang terbaik bagi anak serta berpijak pada nilai- nilai Pancasila.
Faktor-faktor
yang menghambat terlaksananya penerapan Restorative
Justice adalah :
1.
Substansi hukum yang belum mengakomodir
pelaksanaan keadilan restoratif
secara lengkap.
2. Penegak
hukum yang belum melaksanakan secara optimal peraturan yang sudah ada dan masih
bersikap kaku, dan kultur hukum/partisipasi masyarakat yang belum maksimal.
3. Belum
adanya pembuatan regulasi yang
mengakomodir semua ketentuan tentang penanganan ABH melalui pendekatan keadilan
restoratif, sosialisasi ke semua aparat penegak hukum dan masyarakat
4. Koordinasi
antar aparat penegak hukum , dan mengubah paradigma aparat penegak hukum dari
pendekatan retributive dan restitutive justice menjadi restorative
justice belum sepenuhnya dapat
tercapai .
Mediasi dalam perkara anak perlu
disosialisasikan kepada masyarakat luas. Diperlukan peningkatan sumber daya
manusia aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH melalui
sosialisasi, pendidikan dan pelatihan khusus agar mereka dapat memahami wujud
dari peradilan anak dan hak-hak anak yang tertuang dalam Undang-Undang
Pengadilan Anak sehingga hak hak anak pelaku tindak pidana dapat dilindungi dan
ditegakkan.
Konsep
Restorative Justice merupakan
paradigma baru dalam penegakan hukum pidana, meskipun sebenarnya konsep
tersebut sudah lama berkembang dan dipraktikkan dalam penyelesaian perkara
pidana di beberapa negara yang menganut common law system. Karena konsep
tersebut relatif baru, maka tidak heran apabila upaya penerapan konsep tersebut
dalam praktik penegakan hukum pidana di Indonesia khususnya oleh Polri banyak
menemui kendala.
Salah
satu kendalanya adalah rendahnya pemahaman anggota Polri terhadap konsep Restorative Justice. Anggota Polri secara umum sering mendengar
penyebutan istilah Restorative Justice,
tetapi pada kenyataannya tidak sedikit anggota yang belum paham dengan istilah
tersebut, apalagi menerapkannya. Karena konsep tersebut relatif baru dalam penegakan hukum pidana.
Terlebih
lagi dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri hanya mengenalkan konsep
diskresi kepolisian. Walaupun diskresi sudah terdapat dalam Pasal 18 UU Nomor 2
Tahun 2002 tentang Polri sehingga memberikan peluang pada aparat kepolisian
untuk menerapkan diskresi sebagai tindakan yang tidak menyimpang, namun dalam
praktik penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih banyak aparat kepolisian
yang ragu untuk menggunakan wewenang ini, terutama dalam penanganan kasus
pidana.
Selengkapnya
Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan:
(1)
Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri.
(2)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Selanjutnya,
Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan:
Yang
dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan
yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya
dan betul-betul untuk kepentingan umum.”
Keengganan anggota Polri untuk
menerapkan diskresi, khususnya dalam pemeriksaan kasus pidana, dikarenakan
rendahnya pemahaman aparat kepolisian tentang kewenangan melakukan diskresi,
sehingga diskresi yang secara yuridis terdapat dalam Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun
2002 dipandang sebagai tindakan illegal.
Selain
itu penerapan diskresi kepolisian juga sering dianggap sebagai akal-akalan
pihak kepolisian untuk memperoleh keuntungan materi dari pihak yang berperkara,
sehingga muncul ketakutan akan penilaian negatif dari masyarakat.
Untuk
memberikan pemahaman anggota Polri terhadap konsep Restorative Justice harus dibarengi dengan pemahaman terhadap
konsep diskresi kepolisian, karena antara diskresi dengan restorative justice
memiliki keterkaitan.
Dalam menerapakan atau mengimplementasikan
konsep kedilan restorative penyidik Polri acap kali mengalami keragu- raguan
dalam mengambil keputusannya pada proses penyidikan, terutama apabila pelaku/
keluarganya dan korban/ keluarganya maupun msyarakat ternyata menginginkan
perdamaian dalam penyelesaian kasus atau perkaranya. Hal ini disebabkan karena
tidak adanya aturan ataupun payung hukum maupun prosedur/ mekanisme formal untuk
mengakomodir hal tersebut sehingga situasi ini menjadi hal yang dilematis bagi
penyidik Polri di lapangan yang berdasarkan pada faktor- faktor:
1.
Kekawatiran atau ketakutan penyidik akan
dipersalahkan oleh pimpinan atau atasan dan dipermasalahkan pada pengawasan dan
pemeriksaan oleh institusi pengawas dan pemeriksa internal Polri yang menggunakan
parameter formal prosedural.
2.
Tidak adanya payung hukum yang mengatur
dan menjadi landasan legitimasi dalam mengambil keputusan pada proses
penyidikan apakah berdasrkan konsep Restorative
Justice atau konsep pendekatan lain yang bersesuaian dengan aliran Sociological Jurisprudence.
3.
Tidak adanya prosedur atau mekanisme
yang formal procedural untuk mengimplementasikannya.
Memahami
konsep diskresi kepolisian secara sederhana adalah memahami bahwa kewenangan
anggota Polri untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam
menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya dengan berdasarkan hukum atas
dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri
demi kepentingan umum.
Sedangkan
Restorative Justice secara sederhana
dapat dipahami sebagai filosofi pemidanaan yang mendudukkan korban pada titik
sentral dalam menyelesaikan perkara pidana dan menjauhkan pelaku kejahatan dari
pemenjaraan melalui diversi, akan tetapi tetap dimintai pertanggungjawaban. Sebagai
suatu filosofi pemidanaan, maka dalam implementasinya membutuhkan suatu konsep
yang memiliki legitimasi dalam aplikasinya.
Sebagai
wujud aktualisasi dari filosofi tersebut maka konsep tersebut harus dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan. Dengan adanya pengaturan tentang diskresi
kepolisian dalam Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 sebenarnya telah memberikan
pijakan yuridis kepada penyidik Polri untuk menerapkan filosofi Restorative Justice dalam penanganan
perkara pidana.
Dengan
diskresi penyidik Polri dapat memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan
perkara pidana yang ditanganinya, salah satu tindakan yang dapat diambil dalam
implementasikan Restorative Justice
adalah dengan mendudukkan korban pada titik sentral dalam menyelesaikan perkara
pidana dan menjauhkan dari pemenjaraan, akan tetapi tetap dimintai
pertanggungjawaban.
Namun untuk menjamin adanya
keseragaman dalam implementasi restorative
justice di lingkungan Polri, diperlukan suatu norma atau kaidah untuk
menjamin kesamaan tindakan penyidik Polri dalam penerapan konsep restorative
justice pada penegakan hukum pidana, dan juga untuk memberikan legitimasi
kepada penyidik Polri agar segala tindakan yang dilakukan dalam implementasi
restorative justice untuk kepentingan penyidikan tidak dicap ilegal dan
menyimpang dari hukum acara yang berlaku.
Beberapa kelemahan dalam
penerapan keadilan pemulihan (Restoratif Justice)
tersebut antara lain :
1.
Aspek Hukum:
a.
Undang Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
masih belum tegas tentang pelarangan pidana penjara anak. Lapas Anak bukanlah
tempat yang layak bagi ABH sekalipun;
b. Perubahan KUHP hingga sekarang belum tuntas
dilakukan perubahan terutama menyangkut soal pasal-pasal pemerkosaan dan
pencabulan yang masih lemah dan bias gender dan bias PUHA (Pengarustamaan
Perlindungan Hak Anak).
2. Aspek Penegak Hukum :
a.
Pihak Kepolisian
1)
Belum sepenuhnya percaya diri menggunakan diversi dan
restorative justice dalam penanganan kasus-kasus ABH.
2) Pihak Kepolisian baik di jajaran Polda
maupun Polres hingga Polsek belum membentuk Kelompok Kerja Penanganan ABH dan
kurang melakukan sosialisasi internal.
b.
Pihak Kejaksaan
1) Kejaksaan Tinggi kurang mengefektifkan
bimbingan dan pengawasan jalannya penuntutan terhadap ABH.
2)
Pihak Kejaksaan belum mengefektifkan kelompok Kerja
Penanganan ABH an kurang melakukan sosialisasi internal soal ABH.
c.
Pihak Kanwil Hukum dan
HAM
1) Kurang melakukan diskusi rutin dan
pelatihan serta sosialisasi internal soal penanganan ABH.
2) Pihak Kakanwil Hukum & HAM perlu
menetapkan kebijakan Pelayanan, Pembinaan, pembimbingan dan Perlindungan ABH;
3) Pihak Kanwil Hukum dan HAM belum
menerbitkan SE. & SOP penanganan ABH dengan Keadilan Restoratif.
4) Pihak Kanwil Hukum dan HAM harus lebih
mengefektifkan lagi pengawasan terhadap jalannya persidangan di dalam daerah
hukumnya.
5) Pihak Kanwil Hukum dan HAM belum membentuk
Kelompok Kerja penanganan ABH.
6) Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu
meningkatkan terus kualitas pelayanan, penelitian kemasyarakatan, pembimbingan
dan pengawasan serta pendampingan terhadap ABH yang diputus dengan pidana
pengawasan, pidana bersyarat, anak yang dikembalikan kepada orang tua dan anak
yang memerlukan bimbingan lanjutan (after care).
7) Pihak Kanwil Hukum Dan HAM perlu
meningkatkan kualitas perlindungan, pelayanan dan pembinaan terhadap ABH di
RUTAN dan Lembaga Permasyarakatan (LP).
8) Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu
mengembangkan PUSDATIN tentang Data dan Registrasi Anak Didik Permasyarakatan,
tahanan anak dan klien balai kemasyarakatan.
9) Pihak Kanwil Hukum dan HAM belum optimal
melakukan pelatihan peningkatan kemampuan petugas Balai Kemasyarakatan dan
Lembaga Permasyarakatan Anak tentang Diversi dan Keadilan Restoratif.
10) Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu
meningkatkan penyediaan Sumberdaya Manusia, sarana dan prasarana untuk
pelayanan pemenuhan hak ABH.
d.
Pihak Dinas Sosial
1)
Belum menyiapkan pekerja sosial dan pendamping
psikososial dalam pelayanan masalah sosial ABH bersertivikasi .
2)
Pihak Dinsos belum optimal mendorong & memperkuat
peran keluarga, masyarakat serta LSM untuk peduli ABH.
3)
Pihak Dinsos belum menyusun Kebijakan, panduan dan
pedoman SOP Perlindungan & Rehabilitasi Sosial penanganan ABH.
4)
Pihak Dinsos belum membentuk POKJA penanganan ABH dan
masih kurangnya sosialisasi internal.
5)
Pihak Dinsos belum optimal memfasilitasi penjangkauan
kasus ABH.
6)
Pihak Dinsos belum optimal melakukan advokasi sosial
agar terciptanya diversi penyelesaian kasus ABH.
7)
Pihak Dinsos kurang berKoordinasi dengan BAPAS dalam
memfasilitasi pendampingan psikososial selama proses peradilan sampai reunifikasi
keluarga dan reintegrasi sosial;.
8)
Pihak Dinsos belum mensosialisasikan dan mengembangkan
model berbasis institusi, keluarga dan masyarakat.
9)
Pihak Dinsos belum membentuk Komite Perlindungan &
Rehabilitasi Sosial ABH.
e.
Pihak BPPKB
1)
Belum mempunyai rumusan kebijakan penanganan ABH
termasuk pembuatan Panduan & Pedoman SOP penanganan ABH.
2)
Pihak BPPKB belum optimal melakukan koordinasi,
sinkronisasi, sosialisasi, advokasi dan fasilitasi, termasuk mendorong peran
serta masyarakat dalam penanganan ABH.
3)
Pihak BPPKB belum membentuk kelompok kerja penanganan
ABH.
4)
BPPKB belum optimal melakukan pelatihan-pelatihan,
sosialisasi internal.
5) Pihak BPPKB belum mengembangkan mekanisme
pemantauan, analisis, evaluasi dan system pelaporan.
f.
Pihak Direktorat
Pengajaran
1) Belum menetapkan kebijakan perlindungan ABH
untuk memperoleh pendidikan dan alternative layanan pendidikan yang dibutuhkan
ABH melalui pendidikan Formal, Nonformal dan Informal.
2) Pihak Dikjar belum memfasilitasi pendidikan
ABH di dalam dan di luar lembaga yang menyelenggarakan Kesejahteraan sosial, LP
Anak dan Rutan;. Pihak Dikjar belum
mengembangkan model pendidikan ABH di daerah Khusus.
3) Pihak Dikjar belum menyediakan sarana dan
prasarana dan tenaga untuk layanan pendidikan ABH.
4) Pihak Dikjar belum mengembangkan model
pelatihan untuk petugas & Tenaga pendidik dalam pendidikan ABH.
5) Pihak Dikjar kurang berkoordinasi para
pihak berkaitan dengan peserta didik yang diduga melakukan tindak pidana untuk
tetap mengikuti pendidikan.
g.
Pihak Dinas Kesehatan
1)
Pihak Dinkes belum mempunyai kebijakan penetapan
Standard Pelayanan Kesehatan Anak di Lapas dan Rutan.
2)
Pihak Dinkes perlu meningkatkan kualitas pembinaaan
kesehatan anak melalui pelayanan di Tingkat Dasar di Puskesmas dan pelayanan
rujukan di Rumah Sakit.
3) Pihak Dinkes belum optimal menyediakan
biaya pengobatan melalui Jamkesmas bagi ABH yang terdaftar sebagai keluarga
miskin dan ABH yang berasal dari kelompok gelandangan, pengemis dan terlantar
atas rekomendasi dinsos setempat.
h.
Pihak Kanwil Departemen
Agama
1)
Pihak
Kanwil DepartemenAgama belum
mengembangkan dan menetapkan kebijakan perlindungan ABH untuk lingkungan
pendidikan di bawah Depag.
2)
Pihak
Kanwil belum menetapkan kebijakan alternative pelayanan pendidikan agama yang
dibutuhkan ABH dalam bentuk formal, non formal dan informal.
3)
Pihak
Kanwil Departeman Agama belum mengembangkan model pencegahan tidak kekerasan
terhadap siswa selama dalam proses pendidikan di lingkungan Depag yang dapat
mengakibatkan siswa melakukan tindak pelanggaran tata tertib sekolah atau
tindak pelanggaran hukum.
Pada aspek penegak hukum ini, forum koordinasi
lintas sektor belum optimal dilaksanakan terutama lembaga di luar Kepolisian, Kejaksaan dan
Hukum serta HAM. Masih tergambar bahwa sektor-sektor asyik berjalan sendiri
tanpa adanya integrasi dan sinkronisasi program yang seharusnya dilakukan dan
dibutuhkan dalam penanganan ABH.
3.
Aspek Sarana dan
Prasarana :
a. Dijajaran Polres di kabupaten/Kota, Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dan Ruang Khusus Pemeriksaan untuk Perempuan
dan Anak belum seluruhnya tersedia.
b. Pusat-pusat
Penanganan Trauma, Rumah Aman dan Shelter atau Rumah Singgah belum banyak
tersedia.
c. Belum banyak tersedianya Rumah
Perlindungan Sosial Anak (RPSA) sebagai alternatif pengganti Lapas Anak yang
lebih ramah anak.
d. Belum tersedianya lahan khusus untuk
pembangunan RPSA .
4.
Aspek Masyarakat :
a.
Masih
adanya persepsi negative masyarakat terhadap ABH sebagai pelaku kejahatan yang
tidak bisa membedakan dengan kenakalan anak/remaja.
b.
Kesadaran masyarakat kurang mendukung reintegrasi,
reunifikasi keluarga dan rehabilitasi sosial bagi ABH.
c.
Pengucilan
dan stigmatisasi atau labelisasi pelaku kejahatan terhadap ABH meski telah
menjalani hukuman atau dijalaninya masa bimbingan lanjut (after care).
5.
Aspek Budaya Masyarakat
:
a.
Masih
sedikitnya model pembinaan berbasis
kearifan lokal dan budaya masyarakat.
b.
Keterbatasan pembinaan ABH dengan pendekatan budi
pekerti dan keagamaan.
Adapun variable- variable yang dapat menghambat
pelaksanaan restorative justice
adalah:
1. Belum
adanya undang- undang yang mengatur secara tegas tentang restorative justice.
2. Kategori
umur anak.
3. Aspek
Sumber Daya manusia.
4. Sikap
keluarga korban.
Hal- hal yang perlu dipersiapkan untuk
mengantisipasi terjadinya hambatan dalam penerapan Restorative Justice adalah ;
1. Hakim
dengan kewenangannya dalam kasus anak hendaknya benar- benar mempertimbangkan hal-
hal yang menyangkut kesejahteraan anak dengan cara:
a.
Mengalihkan perkara anak ke jalur Non
Formal (Beijing Rules butir 11. 1,2
,3, 4 ; KHA Pasal 4, 37 huruf b ; Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik Pasal 24
ayat 1)
b.
Menerapkan pendekatan Restorative Justice ( Beijing Rules Butir 5. 1, Butir 14.1, 2 Butir 18.1 ; Konvensi Hak
Anak Pasal 2 ayat (3) huruf b)
2. Perampasan
kemerdekaan anak seharusnya didasarkan pada pertimbangan yang masak setelah
memperhatikan status, umur, personalitas, jenis kelamin, type pelanggaran dan
kondisi fisik serta kejiwaan anak.
3. Substansi
Undang- undang No 3 Tahun 1997 tidak berprespektif anak sebagai korban
melainkan pemidanaan karna anak telah terlebih dahulu mendapat stigma sebagai
anak nakal.
4. Negara
seharusnya melakukan intervensi secara khusus dalam rangka melindungi anak,
bukan malah sebaliknya anak dihadapkan dengan kekuasaan Negara untuk mempertanggung
jawabkan secara pidana , sehingga perlu adanya kepastian hukum.
5. Kepastian
hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan
mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam
pelaksanaan perlindungan anak.
6. Kewajiban
pemerintah untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak, seperti tertuang
dalam Pasal 64 undang- undang No 23 Tahun 2002:
(1) Perlindungang
khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dimaksud dalam Pasal 59 meliputi
anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana merupakan
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan
khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagai mana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan melalui:
a) Perlakuan
atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak- hak anak;
b) Penyediaan
petugas pendamping anak sejak dini;
c) Penyediaaan
sarana dan prasarana secara khusus;
d) Penjatuhan
sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e) Pemantauan
dan pencatatan secara terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan
dengan hukum;
f) Pemberian
jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua dan anggota keluarga;
g) Perlindungan
dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
(3) Perlindungan
khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tersebut dilaksanakan melalui:
a) Upaya
rehabilitasi baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b) Upaya
perlindungan dan pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi;
c) Pemberian
jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental maupun
social ;
d) Pemberian
aksebilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
7. Hal
lain yang lebih esensial adalah dilibatkannya korban dan komunitas dalam suatu
proses yang holistic termasuk pihak- pihak lain berdasarkan prinsip pertanggung
jawaban , resolusi dan pemulihan .
8. Adanya
proses healing dan upaya membangun membangun pertanggungjawaban moral
komunitas. Proses ini berbanding terbalik dengan pendekatan pemidanaan yang
lebih menekankan penghukuman, menguntungkan pihak tertentu dan cenderung
birokrat.
Untuk terciptanya perlindungan anak
memerlukan koordinasi dan kerjasama yang baik sehingga diperoleh keseimbangan kegiatan
perlindungan anak secara keseluruhan terutama dalam masalah perlindungan
hukumnya.Aparat penegak hukum yang menangani anak seharusnya memenuhi
persyaratan- persyaratan sebagai berikut :
1. Memiliki
pengetahuan dan ketrampilan proposional sesuai dengan profesinya.
2. Mempunyai
niat, perhatian dan dedikasi serta memahami masalah anak.
3. Telah
berpengalaman dalam memahami perkara tindak pidana yang dilakukan orang dewasa.
Anak bagaikan selembar kertas putih
kosong yang harus kita isi dengan hal- hal yang positif. Jika pada awalnya kita
memberikan hal- hal yang baik maka untuk selanjutnya ke depan mereka akan dapat
menjadi pribadi- pribadi yang baik dan tangguh serta dapat mengharumkan Negara.
Di tangan anaklah nantinya yang akan melanjutkan kehidupan suatu bangsa. Jangan
sampai pengaruh buruk menjerumuskan mereka dalam linkungan yang tidak sehat.
Seorang anak yang melakukan atau
diduga melakukan suatu tindak pidana sangat membutuhkan adanya perlindungan
hukum. Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara
melindungi tunas bangsa di masa depan. Perlindungan terhadapa anak menyangkut
semua aturan hukum yang berlaku.Perlindungan ini perlu karena anak merupakan
bagian dari masyarakat yang mempunyai keterbatasan fisik dan mentalnya. Oleh karnanya
anak memerlukan perlindungan dan perhatian khusus.
Penanganan dalam proses
peradialan anak yang salah dapat menimbulkan pertumbuhan mental , kejiwaan dan
sosial anak menjadi negative dan berbahaya bagi generasi muda yang akan datang.
Tujuan pemidanaan bukanlah untuk memberikan penghukuman melainkan memberikan
pendidikan agar kelak merka dapat memperbaiki moral serta perilakunya serta
tidak terjerumus dalam lingkungan yang salah..