Saturday 30 November 2013

Tentang Keberadaan Penjara Anak

KASUS kecelakaan yang dialami AQJ alias Dul (13), anak bungsu musisi Ahmad Dhani menggulirkan berbagai perspektif hukum. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berpandangan bahwa kasus Dul lebih baik tidak diproses ke pengadilan.
Kalau pun dihukum, Dul tak perlu dipenjara lebih baik ditempatkan di panti rehabilitasi. KPAI mempertimbangkan aspek psikologis tumbuh kembang anak ke depan. Bahkan, KPAI berwacana lebih baik keberadaan penjara anak dibubarkan.
Wacana itu mengundang banyak pertanyaan, mengapa KPAI baru kali ini berbicara pembubaran penjara anak? Ketika kasus pidana anak-anak lainnya, yang bukan anak seorang tokoh terkenal atau selebritas, KPAI tak begitu berbicara banyak ke media.
Jauh-jauh hari sudah disampaikan termasuk perubahan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak,
kasus hukum pada anak berbeda penanganannya dengan kasus orang dewasa. Bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, sebaiknya menggunakan sistem restorative justice (bersifat pemulihan), bukan retributive justice (bersifat pembalasan). Dengan restorative justice, penyelesaian masalah dilakukan antara kedua belah pihak yaitu pelaku dan korban.
Seorang anak melakukan tindak pidana, tidak serta merta dilihat sebagai pelaku. Tapi dia juga seorang korban dari kondisi keluarga atau lingkungannya.
Ada pun berkaitan dengan penjara anak, hal itu lebih bersifat pembalasan, bukan pembinaan pada anak. Dalam undang-undang sudah jelas disebutkan, adanya lembaga khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Dalam ketentuan undang-undang masih mengatur adanya pidana anak. Sepanjang itu masih ada, maka tetap ada penjara anak.
Penjara anak berbeda dengan yang lain, karena di dalamnya ada unsur pembinaan, seperti hak bersekolah mulai SD sampai SMA melalui tempat kegiatan belajar mengajar (TKBM).  Sejauh ini, anak-anak yang masuk lapas karena kasus pencurian, narkotika, dan ada pula kasus pembunuhan.
Apakah hukum Indonesia mengatur sanksi kerja sosial bagi anak-anak ketimbang hukuman penjara? Hal itu memang bisa dilakukan, tapi saat ini belum bisa berjalan.  Tapi, ada beberapa narapidana anak yang dimasukkan ke pondok pesantren atau panti rehabilitiasi karena pidana bersyarat. Untuk mengurangi jumlah narapidana anak, pihaknya juga mengeluarkan remisi. Diharapkan anak tidak tinggal lama di penjara, karna sejatinya pendidikan terbaik untuk anak itu adalah keluarga.
Bagi anak-anak yang bermasalah hukum perlu mempertangungjawabkan perbuatannya di dalam lapas. Penjara anak masih diperlukan, tapi harus ada mekanisme lain. Ada sistem yang aman dan proses rehabilitasi yang lebih baik. Sebaiknya tidak terlalu latah dengan wacana pembubaran itu. Dikarenakan, kata dia, tidak setiap kasus pidana anak harus diselesaikan secara restorative justice.
Dalam kasus pidana anak, perlu melihat sisi korban. Jika suatu perbuatan menimbulkan korban jiwa, perlu ada ganti rugi baik secara materiil maupu immateriil. Yang agak susah adalah bagaimana mengembalikan kerugian immateriil itu.


Monday 25 November 2013

Pemberitaan Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Terlalu Vulgar Di Media Masa

Pemberitaan tentang kasus kecelakaan maut yg melibatkan AQJ, anak musisi Ahmad Dhani tidak pernah habis diberitakan oleh sejumlah media. Bahkan, pemberitaan tersebut cenderung sudah sangat vulgar. Pemberitaan media massa terhadap kasus yang menimpa AQJ sudah mengarah kepada bentuk pengadilan semu dan mengarah kepada eksploitasi berantai terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).

Penayangan wajah utuh dan identitas lengkap yang berulang-ulang tentu akan sangat mempengaruhi aspek psikis AQJ dan dampaknya sangat panjang. Bahkan akan menghambat proses rehabilitasi mental AQJ. Bagaimanapun dia masih kategori anak-anak, yang harus menyongsong masa depan yang panjang.

Sepatutnya semua pihak untuk menahan diri dan tetap menghargai hak-hak konstitusi AQJ sebagai anak-anak. Karena itu, Samsul berharap media massa secara perlahan mengurangi ekpose berlebih, serta komentar yang cenderung menghakimi dan hak privasi lainnya.

Karena hal itu jelas-jelas bertentangan dengan hak anak sebagaimana bunyi UU perlindungan anak. Pernyataan ini sebagai bagian komitmen kami dalam penegakan hak-hak anak di Indonesia. Karena dalam perspektif hak anak, sekalipun anak sebagai 'pelaku', namun ia tetaplah disebut korban.

AQJ sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tabrakan di jalan tol Jagorawi, hari Minggu lalu. Dalam kecelakaan tersebut, enam orang tewas. Ayah AQJ, Ahmad Dhani sudah berjanji akan memberikan bantuan kepada anak-anak dari korban yang tewas dalam melanjutkan pendidikan.
Arrahmah.com) – Kecelakaan maut di tol Jagorawi yang melibatkan anak musisi Ahmad Dani, Abdul Qodir Jaelani (Dul) beberapa waktu lalu menyisakan cerita yang berimbas pada banyak hal terutama pada masalah kasus pidana anak. Seperti diketahui kecelakaan maut ini menelan korban yang menewaskan 7 orang dan 8 lainnya luka-luka. Bahkan Polisi sudah menetapkan Dul sebagai tersangka kasus kecelakaan ini. Banyak pihak yang menilai status tersangka yang disandang oleh Dul, masih terlalu dini. Banyak yang berharap, jika pihak yang berwajib bisa menemukan solusi lain.
Dikutip dari republika.co.id (Selasa, 17/09/2013) Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kakanwil Kemenkumham Jawa Barat Agus Anwar menyatakan kasus kecelakaan maut di Tol Jagorawi yang melibatkan anak bungsu musisi Ahmad Dhani yaitu Abdul Qodir Jaelani (13 tahun) dan telah mengakibatkan tujuh orang meninggal dunia, tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyantuni keluarga korban semata. Tetapi pidananya harus tetap dipertanggungnjawabkan walaupun perdatanya sudah selesai dengan cara menyantuni keluarga korban.
Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya AKBP Sambodo Purnomo mengatakan Undang-Undang Lalu Lintas dan Jalan tidak mengenal pelimpahan pidana dari anak kepada orang tuanya. Jadi tidak bisa orang tua disalahkan dalam kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anaknya. Yang dianggap bertanggung jawab dan ditetapkan tersangka tetap anaknya meskipun masih di bawah umur.  (antaranews.com, Selasa 17 September 2013)
Komisioner KPAI, Asrorun Niam Sholeh mendorong agar penyelesaian kasus kecelakaan yang melibatkan putra Ahmad Dhani, Dul, di luar peradilan pidana. Cara ini, menurut komisioner KPAI bisa ditempuh jika ada kesepakatan antara pelaku dan korban kecelakaan maut di tol Jagorawi itu. Ini ditujukan untuk semata-mata merealisasikan tujuan hukum, yaitu keadilan dan kemaslahatan anak. Menurut Niam, polisi dapat menggunakan deskresi dan kewenangannya untuk menyelesaikan kasus ini di luar proses hukum formal dan mengesampingkan proses hukum pidana terkait kecelakaan. Jika keluarga korban setuju.
Hal ini kontradiktif dengan fakta yang pernah terjadi di Sumut. Putusan Pengadilan Negeri (PN) Pematangsiantar, Sumatera Utara (Sumut) mengejutkan pemerhati anak dan pejuang HAM. Sebab hakim menjatuhkan vonis 66 hari penjara bagi anak berusia 11 tahun.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma Hal ini bertolak belakang dengan putusan MK tentang batas usia anak (detikcom, Jumat (7/6/2013). Vonis ini dijatuhkan oleh hakim tunggal Roziyanti kepada bocah berusia 11 tahun pada Rabu (5/6). Bocah itu dikenai hukuman 66 hari karena melanggar 363 ayat 1 ke 4 e KUHPidana juncto Pasal 4 UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Menurutnya Hal ini bertentangan dengan putusan MK tertanggal 24 Februari 2011 yang memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun. Seharusnya, jika usia belum 12 tahun maka vonisnya dikembalikan ke orang tua atau dikembalikan ke negara. Dalam hal ini diberikan kepada Kementerian Sosial untuk mendidiknya. Bocah tersebut terlibat pencurian HP dengan temannya yang telah berusia 16 tahun. Roziyanti menjatuhkan lamanya hukuman bagi kedua terdakwa sama. Ini artinya para penegak hukum melanggar hukum. Tidak saja UU, tetapi juga konstitusi.
Buah dari sistem yang salah
Menelaah dari kasus Dul ini dan kasus kriminalitas lainnya ini banyak faktor yang melatarbelakanginya seperti ekonomi, keluarga/lingkungan, dan lain-lain. Dalam kasus Dul ini faktor keluargalah  yang paling mengedepan sehingga kasus ini terjadi, selain itu faktor lingkungan juga sangat berperan sehingga hal ini terjadi. Lingkungan adalah tempat perkembangan sosial, dan pada fase inilah saatnya remaja telah mengalami perkembangan kemampuan untuk memahami orang lain (social cognition) dan menjalin persahabatan. Remaja memilih teman yang memiliki sifat dan kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya, misalnya sama hobi, minat, sikap, nilai-nilai, dan kepribadiannya.
Seperti diketahui bahwa Dul telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan maut ini. Jika dicermati dari fakta di atas dalam menyikap sanksi bagi anak yang melakukan kriminalitas, tidak lain dan tidak bukan bahwa sistem sanksi dalam demokrasi memungkinkan adanya kompromi. Sehingga dapat menimbulkan kontradiksi di antara kasus itu sendiri. Pidana Abdul Qodir Jaelani (Dul) tidak seharusnya berbeda dengan yang terjadi di Sumut, karena pelakunya sama-sama masih ABG. Tapi pemberlakuan hukum yang diterima berbeda. Dalam hal ini harus dilihat secara general, tentang persamaan perlakuan hukum yang ditilik dari usia pelaku meski jenis kasusnya memang berbeda
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2013/09/20/anak-berlaku-kriminal-bertanggungjawab.html#sthash.2rROBsKV.dpuf
Arrahmah.com) – Kecelakaan maut di tol Jagorawi yang melibatkan anak musisi Ahmad Dani, Abdul Qodir Jaelani (Dul) beberapa waktu lalu menyisakan cerita yang berimbas pada banyak hal terutama pada masalah kasus pidana anak. Seperti diketahui kecelakaan maut ini menelan korban yang menewaskan 7 orang dan 8 lainnya luka-luka. Bahkan Polisi sudah menetapkan Dul sebagai tersangka kasus kecelakaan ini. Banyak pihak yang menilai status tersangka yang disandang oleh Dul, masih terlalu dini. Banyak yang berharap, jika pihak yang berwajib bisa menemukan solusi lain.
Dikutip dari republika.co.id (Selasa, 17/09/2013) Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kakanwil Kemenkumham Jawa Barat Agus Anwar menyatakan kasus kecelakaan maut di Tol Jagorawi yang melibatkan anak bungsu musisi Ahmad Dhani yaitu Abdul Qodir Jaelani (13 tahun) dan telah mengakibatkan tujuh orang meninggal dunia, tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyantuni keluarga korban semata. Tetapi pidananya harus tetap dipertanggungnjawabkan walaupun perdatanya sudah selesai dengan cara menyantuni keluarga korban.
Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya AKBP Sambodo Purnomo mengatakan Undang-Undang Lalu Lintas dan Jalan tidak mengenal pelimpahan pidana dari anak kepada orang tuanya. Jadi tidak bisa orang tua disalahkan dalam kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anaknya. Yang dianggap bertanggung jawab dan ditetapkan tersangka tetap anaknya meskipun masih di bawah umur.  (antaranews.com, Selasa 17 September 2013)
Komisioner KPAI, Asrorun Niam Sholeh mendorong agar penyelesaian kasus kecelakaan yang melibatkan putra Ahmad Dhani, Dul, di luar peradilan pidana. Cara ini, menurut komisioner KPAI bisa ditempuh jika ada kesepakatan antara pelaku dan korban kecelakaan maut di tol Jagorawi itu. Ini ditujukan untuk semata-mata merealisasikan tujuan hukum, yaitu keadilan dan kemaslahatan anak. Menurut Niam, polisi dapat menggunakan deskresi dan kewenangannya untuk menyelesaikan kasus ini di luar proses hukum formal dan mengesampingkan proses hukum pidana terkait kecelakaan. Jika keluarga korban setuju.
Hal ini kontradiktif dengan fakta yang pernah terjadi di Sumut. Putusan Pengadilan Negeri (PN) Pematangsiantar, Sumatera Utara (Sumut) mengejutkan pemerhati anak dan pejuang HAM. Sebab hakim menjatuhkan vonis 66 hari penjara bagi anak berusia 11 tahun.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma Hal ini bertolak belakang dengan putusan MK tentang batas usia anak (detikcom, Jumat (7/6/2013). Vonis ini dijatuhkan oleh hakim tunggal Roziyanti kepada bocah berusia 11 tahun pada Rabu (5/6). Bocah itu dikenai hukuman 66 hari karena melanggar 363 ayat 1 ke 4 e KUHPidana juncto Pasal 4 UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Menurutnya Hal ini bertentangan dengan putusan MK tertanggal 24 Februari 2011 yang memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun. Seharusnya, jika usia belum 12 tahun maka vonisnya dikembalikan ke orang tua atau dikembalikan ke negara. Dalam hal ini diberikan kepada Kementerian Sosial untuk mendidiknya. Bocah tersebut terlibat pencurian HP dengan temannya yang telah berusia 16 tahun. Roziyanti menjatuhkan lamanya hukuman bagi kedua terdakwa sama. Ini artinya para penegak hukum melanggar hukum. Tidak saja UU, tetapi juga konstitusi.
Buah dari sistem yang salah
Menelaah dari kasus Dul ini dan kasus kriminalitas lainnya ini banyak faktor yang melatarbelakanginya seperti ekonomi, keluarga/lingkungan, dan lain-lain. Dalam kasus Dul ini faktor keluargalah  yang paling mengedepan sehingga kasus ini terjadi, selain itu faktor lingkungan juga sangat berperan sehingga hal ini terjadi. Lingkungan adalah tempat perkembangan sosial, dan pada fase inilah saatnya remaja telah mengalami perkembangan kemampuan untuk memahami orang lain (social cognition) dan menjalin persahabatan. Remaja memilih teman yang memiliki sifat dan kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya, misalnya sama hobi, minat, sikap, nilai-nilai, dan kepribadiannya.
Seperti diketahui bahwa Dul telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan maut ini. Jika dicermati dari fakta di atas dalam menyikap sanksi bagi anak yang melakukan kriminalitas, tidak lain dan tidak bukan bahwa sistem sanksi dalam demokrasi memungkinkan adanya kompromi. Sehingga dapat menimbulkan kontradiksi di antara kasus itu sendiri. Pidana Abdul Qodir Jaelani (Dul) tidak seharusnya berbeda dengan yang terjadi di Sumut, karena pelakunya sama-sama masih ABG. Tapi pemberlakuan hukum yang diterima berbeda. Dalam hal ini harus dilihat secara general, tentang persamaan perlakuan hukum yang ditilik dari usia pelaku meski jenis kasusnya memang berbeda
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2013/09/20/anak-berlaku-kriminal-bertanggungjawab.html#sthash.2rROBsKV.dpuf

Sunday 17 November 2013

Restorative Justice



A.     Kesimpulan
Dari penjabaran tentang Keadilan Pemulihan (Restorative Justitice) Sebagai Bagian Dari Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum di Indonesia akhirnya diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.         Penerapan konsep Restorative Justice sebagai alternative penegakan hukum yang efektif dan menitikberatkan pada kepentingan pelaku, korban dan masyarakat belum sepenuhnya dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan..  ABH selain membutuhkan keamanan dan perlindungan juga memerlukan proteksi berupa regulasi khusus yang menjamin kepentingan anak. Sasaran dari penerapan konsep Restorative Justice adalah berkurangnya jumlah anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara. Cap dan pelabelan anak sebagai pelaku tindak pidana tidak melekat sehingga dapat mengembalikan anak menjadi manusia normal dalam kehidupan masyarakat.
2.         Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum masih jauh dari standar penghormatan dan pernghargaan terhadap hak- hak anak dan HAM. Pengimplementasian konsep Restorative Justice oleh penyidik Polri masih terkendala dengan belum adanya dasar hukum maupun prosedur mekanisme formal pada penerapannya. Hukum yang bagus tidaklah cukup bila tidak diikuti oleh efektif bekerjanya Penegak hukum, ketersediaan sarana dan prasarana yang diperintahkan aturan, kesadaran hukum masyarakat dan dukungan budaya masyarakat sangat besar pengaruhnya dalam implementasi Restoratif Justice terhadap perlindungan dan penanganan ABH.
3.         Kendala- kendala yang menghambat penerapan konsep Restoreative Justice adalah:
a.       Restorative justice hanya bias diterapkan pada pelaku yang mengakui kejahatannya.
b.      Belum adanya undang- undang yang mengatur secara tegas tentang restorative justice.
c.       Kategori umur anak dan aspek SDM.
d.      Sikap keluarga korban dalam partisipasinya menyelesaikan perkara melalui konsep Restorative Justice.






B.      Saran
 Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis memberikan beberapa saran yaitu:
1.      Seharusnya penegakan hukum bagi  anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia menganut system Restorative Justice. Karna selain efektif dan menitikberatkan pada kepentingan pelaku, korban dan masyarakat, Restorative Justice juga menyeimbangkan hubungan anggota masyarakat dengan memperhatikan budaya kesadaran hukum masyarakat.
2.      Penerapan Restorative justice di Indonesia hendaklah memperhatikan beberapa hal penting yaitu:
a.       Pihak dari korban/ keluarga korban harus dilibatkan langsung.
b.      Adanya pihak ketiga yang mendorong perdamaian antara korban / keluarga korban, pelaku / keluarga pelaku, serta masyarakat yang diwakili tokoh masyarakat.
c.       Ditentukannya batasan- batasan dalam pemberlakuan Restorative Justice.
d.      Adanya payung hukum / peraturan perundang- undangan yang secara jelas mengatur tentang Restorative Justice.
Perlunya dorongan kepada Polisi agar lebih sensitive terhadap anak, apalagi secara internal Polisi telah melakukan terobosan- terobosan baru yang berkaitan dengan penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum, hanya saja sosialisasinya tidak sampai pada tataran para pelaksana. Kepolisian memiliki peluang lebih besar untuk menghindarkan anak- anak dari proses hukum formal ke non formal.
3.      Jika pemberlakuan Restorative Justice terbentur dengan Undang- undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maka langkah terbaik yang dapat diambil adalah   perlunya diupayakan agar aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH tidak hanya mengacu pada Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi juga mengacu pada instrumen nasional dan  internasional serta Surat Keputusan Bersama. Kepada aparat penegak hukum yang menangani masalah anak hendaknya mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal. Untuk terciptanya perlindungan anak memerlukan koordinasi dan kerjasama yang baik sehingga diperoleh keseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan terutama dalam masalah perlindungan hukumnya. Masyarakat dan aparat penegak hukum  perlu mendapatkan penyegaran pandangan terhadap masalah ABH  agar dapat terlibat dalam upaya menekan jumlah anak yang berhadapan dengan hukum ke dalam  saluran dan langkah yang konstruktif dalam perkembangan fisik dan psikis anak .

Tuesday 12 November 2013

Hambatan dalam implementasi pelaksanaan konsep Restorative Justice sebagai bagian dari perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia




   Restorative justice  sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan.  Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya
Konsep Restorative Justice diharapkan dapat menyentuh beberapa aspek bagi anak yang berhadapan dengan hukum yaitu  pencegahan, penanganan, rehabilitasi dan reintegrasi. Namun ternyata tidak semua pihak dapat melaksanakan keempat aspek tersebut dengan pertimbangan bahwa semakin banyak yang terlibat dalam penanganan langsung terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dapat memberikan imbas dan hambatan secara teknis.
 Akibatnya dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi hanya membutuhkan komponen  inti dan komponen lain sebagai pendukung dan tahap pencegahan. Mekanisme hukum dan aparat penegak hukum serta masyarakat menjadi faktor yang semestinya mendapat perhatian yang cukup untuk memberika perhatian dan perlindungan terhadap hak- hak dasar bagi seorang anak yang berhadapan dengan hukum.
  Oleh karena itu, perlunya diupayakan agar aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi juga mengacu pada instrumen nasional dan  internasional serta Surat Keputusan Bersama. Kepada aparat penegak hukum yang menangani masalah anak hendaknya mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal.
Masyarakat dan aparat penegak hukum  perlu mendapatkan penyegaran pandangan terhadap masalah ABH  agar dapat terlibat dalam upaya menekan jumlah anak yang berhadapan dengan hukum ke dalam  saluran dan langkah yang konstruktif dalam perkembangan fisik dan psikis anak , dengan :
1.      Menghindarkan anak berada dalam mekanisme hukum formal dan mengutamakan pendekatan informal .
2.      Mengharapkan penyelesaian yang lebih bijaksana dengan konsep Diversi dan Restorative Justice.
3.      Diperlukan pemisahan registrasi berkas perkara anak di instansi Kepolisian dan Kejaksaan.
4.      Perlunya pengadaan ruang tahanan khusus anak dan ruang sidang anak serta jaksa yang bersertifikasi khusus menangani masalah anak.

         Perlindungan anak merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi yang melindungi anak agar dapat melaksanakanhak dan kewajibannya.Negara memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak melalui penanganannya terhadap anak yang berhadapan dengan hukum demi kepentingan yang terbaik bagi anak serta berpijak pada nilai- nilai Pancasila.

Faktor-faktor yang menghambat terlaksananya penerapan Restorative Justice  adalah :

1.      Substansi hukum yang belum mengakomodir pelaksanaan keadilan restoratif
secara lengkap.
2.      Penegak hukum yang belum melaksanakan secara optimal peraturan yang sudah ada dan masih bersikap kaku, dan kultur hukum/partisipasi masyarakat yang belum maksimal.
3.      Belum adanya  pembuatan regulasi yang mengakomodir semua ketentuan tentang penanganan ABH melalui pendekatan keadilan restoratif, sosialisasi ke semua aparat penegak hukum dan masyarakat
4.      Koordinasi antar aparat penegak hukum , dan mengubah paradigma aparat penegak hukum dari pendekatan retributive dan restitutive justice menjadi restorative justice belum sepenuhnya dapat tercapai .


   Mediasi dalam perkara anak perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas. Diperlukan peningkatan sumber daya manusia aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH melalui sosialisasi, pendidikan dan pelatihan khusus agar mereka dapat memahami wujud dari peradilan anak dan hak-hak anak yang tertuang dalam Undang-Undang Pengadilan Anak sehingga hak hak anak pelaku tindak pidana dapat dilindungi dan ditegakkan.
Konsep Restorative Justice merupakan paradigma baru dalam penegakan hukum pidana, meskipun sebenarnya konsep tersebut sudah lama berkembang dan dipraktikkan dalam penyelesaian perkara pidana di beberapa negara yang menganut common law system. Karena konsep tersebut relatif baru, maka tidak heran apabila upaya penerapan konsep tersebut dalam praktik penegakan hukum pidana di Indonesia khususnya oleh Polri banyak menemui kendala.
Salah satu kendalanya adalah rendahnya pemahaman anggota Polri terhadap konsep Restorative Justice.  Anggota Polri secara umum sering mendengar penyebutan istilah Restorative Justice, tetapi pada kenyataannya tidak sedikit anggota yang belum paham dengan istilah tersebut, apalagi menerapkannya. Karena  konsep tersebut relatif  baru dalam  penegakan  hukum pidana.
Terlebih lagi dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri hanya mengenalkan konsep diskresi kepolisian. Walaupun diskresi sudah terdapat dalam Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri sehingga memberikan peluang pada aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi sebagai tindakan yang tidak menyimpang, namun dalam praktik penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih banyak aparat kepolisian yang ragu untuk menggunakan wewenang ini, terutama dalam penanganan kasus pidana.
      Selengkapnya Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan:
 (1)  Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2)  Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
          Selanjutnya, Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan:
 Yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.”
         Keengganan anggota Polri untuk menerapkan diskresi, khususnya dalam pemeriksaan kasus pidana, dikarenakan rendahnya pemahaman aparat kepolisian tentang kewenangan melakukan diskresi, sehingga diskresi yang secara yuridis terdapat dalam Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 dipandang sebagai tindakan illegal. 
Selain itu penerapan diskresi kepolisian juga sering dianggap sebagai akal-akalan pihak kepolisian untuk memperoleh keuntungan materi dari pihak yang berperkara, sehingga muncul ketakutan akan penilaian negatif dari masyarakat.
Untuk memberikan pemahaman anggota Polri terhadap konsep Restorative Justice harus dibarengi dengan pemahaman terhadap konsep diskresi kepolisian, karena antara diskresi dengan restorative justice memiliki keterkaitan.
         Dalam menerapakan atau mengimplementasikan konsep kedilan restorative penyidik Polri acap kali mengalami keragu- raguan dalam mengambil keputusannya pada proses penyidikan, terutama apabila pelaku/ keluarganya dan korban/ keluarganya maupun msyarakat ternyata menginginkan perdamaian dalam penyelesaian kasus atau perkaranya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya aturan ataupun payung hukum maupun prosedur/ mekanisme formal untuk mengakomodir hal tersebut sehingga situasi ini menjadi hal yang dilematis bagi penyidik Polri di lapangan yang berdasarkan pada faktor- faktor:
      1.         Kekawatiran atau ketakutan penyidik akan dipersalahkan oleh pimpinan atau atasan dan dipermasalahkan pada pengawasan dan pemeriksaan oleh institusi pengawas dan pemeriksa internal Polri yang menggunakan parameter formal prosedural.
      2.         Tidak adanya payung hukum yang mengatur dan menjadi landasan legitimasi dalam mengambil keputusan pada proses penyidikan apakah berdasrkan konsep Restorative Justice atau konsep pendekatan lain yang bersesuaian dengan aliran Sociological Jurisprudence.
      3.         Tidak adanya prosedur atau mekanisme yang formal procedural untuk mengimplementasikannya.


Memahami konsep diskresi kepolisian secara sederhana adalah memahami bahwa kewenangan anggota Polri untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya dengan berdasarkan hukum atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri demi kepentingan umum.
Sedangkan Restorative Justice secara sederhana dapat dipahami sebagai filosofi pemidanaan yang mendudukkan korban pada titik sentral dalam menyelesaikan perkara pidana dan menjauhkan pelaku kejahatan dari pemenjaraan melalui diversi, akan tetapi tetap dimintai pertanggungjawaban. Sebagai suatu filosofi pemidanaan, maka dalam implementasinya membutuhkan suatu konsep yang memiliki legitimasi dalam aplikasinya.
Sebagai wujud aktualisasi dari filosofi tersebut maka konsep tersebut harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan adanya pengaturan tentang diskresi kepolisian dalam Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 sebenarnya telah memberikan pijakan yuridis kepada penyidik Polri untuk menerapkan filosofi Restorative Justice dalam penanganan perkara pidana.
Dengan diskresi penyidik Polri dapat memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya, salah satu tindakan yang dapat diambil dalam implementasikan Restorative Justice adalah dengan mendudukkan korban pada titik sentral dalam menyelesaikan perkara pidana dan menjauhkan dari pemenjaraan, akan tetapi tetap dimintai pertanggungjawaban.
Namun untuk menjamin adanya keseragaman dalam implementasi restorative justice di lingkungan Polri, diperlukan suatu norma atau kaidah untuk menjamin kesamaan tindakan penyidik Polri dalam penerapan konsep restorative justice pada penegakan hukum pidana, dan juga untuk memberikan legitimasi kepada penyidik Polri agar segala tindakan yang dilakukan dalam implementasi restorative justice untuk kepentingan penyidikan tidak dicap ilegal dan menyimpang dari hukum acara yang berlaku.
Beberapa kelemahan  dalam penerapan keadilan pemulihan (Restoratif Justice)  tersebut antara lain :
1.      Aspek Hukum:
a.       Undang Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak masih belum tegas tentang pelarangan pidana penjara anak. Lapas Anak bukanlah tempat yang layak bagi ABH sekalipun;
b.      Perubahan KUHP hingga sekarang belum tuntas dilakukan perubahan terutama menyangkut soal pasal-pasal pemerkosaan dan pencabulan yang masih lemah dan bias gender dan bias PUHA (Pengarustamaan Perlindungan Hak Anak).
2.      Aspek Penegak Hukum :

a.       Pihak Kepolisian
1)      Belum sepenuhnya percaya diri menggunakan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus-kasus ABH.
2)      Pihak Kepolisian baik di jajaran Polda maupun Polres hingga Polsek belum membentuk Kelompok Kerja Penanganan ABH dan kurang melakukan sosialisasi internal.
b.      Pihak Kejaksaan
1)      Kejaksaan Tinggi kurang mengefektifkan bimbingan dan pengawasan jalannya penuntutan terhadap ABH.
2)      Pihak Kejaksaan belum mengefektifkan kelompok Kerja Penanganan ABH an kurang melakukan sosialisasi internal soal ABH.
c.       Pihak Kanwil Hukum dan HAM
1)      Kurang melakukan diskusi rutin dan pelatihan serta sosialisasi internal soal penanganan ABH.
2)      Pihak Kakanwil Hukum & HAM perlu menetapkan kebijakan Pelayanan, Pembinaan, pembimbingan dan Perlindungan ABH;
3)      Pihak Kanwil Hukum dan HAM belum menerbitkan SE. & SOP penanganan ABH dengan Keadilan Restoratif.
4)      Pihak Kanwil Hukum dan HAM harus lebih mengefektifkan lagi pengawasan terhadap jalannya persidangan di dalam daerah hukumnya.
5)      Pihak Kanwil Hukum dan HAM belum membentuk Kelompok Kerja penanganan ABH.
6)      Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu meningkatkan terus kualitas pelayanan, penelitian kemasyarakatan, pembimbingan dan pengawasan serta pendampingan terhadap ABH yang diputus dengan pidana pengawasan, pidana bersyarat, anak yang dikembalikan kepada orang tua dan anak yang memerlukan bimbingan lanjutan (after care).
7)      Pihak Kanwil Hukum Dan HAM perlu meningkatkan kualitas perlindungan, pelayanan dan pembinaan terhadap ABH di RUTAN dan Lembaga Permasyarakatan (LP).
8)      Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu mengembangkan PUSDATIN tentang Data dan Registrasi Anak Didik Permasyarakatan, tahanan anak dan klien balai kemasyarakatan.
9)      Pihak Kanwil Hukum dan HAM belum optimal melakukan pelatihan peningkatan kemampuan petugas Balai Kemasyarakatan dan Lembaga Permasyarakatan Anak tentang Diversi dan Keadilan Restoratif.
10)  Pihak Kanwil Hukum dan HAM perlu meningkatkan penyediaan Sumberdaya Manusia, sarana dan prasarana untuk pelayanan pemenuhan hak ABH.
d.      Pihak Dinas Sosial
1)      Belum menyiapkan pekerja sosial dan pendamping psikososial dalam pelayanan masalah sosial ABH bersertivikasi .
2)      Pihak Dinsos belum optimal mendorong & memperkuat peran keluarga, masyarakat serta LSM untuk peduli ABH.
3)      Pihak Dinsos belum menyusun Kebijakan, panduan dan pedoman SOP Perlindungan & Rehabilitasi Sosial penanganan ABH.
4)      Pihak Dinsos belum membentuk POKJA penanganan ABH dan masih kurangnya sosialisasi internal.
5)      Pihak Dinsos belum optimal memfasilitasi penjangkauan kasus ABH.
6)      Pihak Dinsos belum optimal melakukan advokasi sosial agar terciptanya diversi penyelesaian kasus ABH.
7)      Pihak Dinsos kurang berKoordinasi dengan BAPAS dalam memfasilitasi pendampingan psikososial selama proses peradilan sampai reunifikasi keluarga dan reintegrasi sosial;.
8)      Pihak Dinsos belum mensosialisasikan dan mengembangkan model berbasis institusi, keluarga dan masyarakat.
9)      Pihak Dinsos belum membentuk Komite Perlindungan & Rehabilitasi Sosial ABH.
e.       Pihak BPPKB
1)      Belum mempunyai rumusan kebijakan penanganan ABH termasuk pembuatan Panduan & Pedoman SOP penanganan ABH.
2)      Pihak BPPKB belum optimal melakukan koordinasi, sinkronisasi, sosialisasi, advokasi dan fasilitasi, termasuk mendorong peran serta masyarakat dalam penanganan ABH.
3)      Pihak BPPKB belum membentuk kelompok kerja penanganan ABH.
4)      BPPKB belum optimal melakukan pelatihan-pelatihan, sosialisasi internal.
5)   Pihak BPPKB belum mengembangkan mekanisme pemantauan, analisis, evaluasi dan system pelaporan.
f.       Pihak Direktorat Pengajaran
1)      Belum menetapkan kebijakan perlindungan ABH untuk memperoleh pendidikan dan alternative layanan pendidikan yang dibutuhkan ABH melalui pendidikan Formal, Nonformal dan Informal.
2)      Pihak Dikjar belum memfasilitasi pendidikan ABH di dalam dan di luar lembaga yang menyelenggarakan Kesejahteraan sosial, LP Anak dan Rutan;. Pihak Dikjar belum mengembangkan model pendidikan ABH di daerah Khusus.
3)      Pihak Dikjar belum menyediakan sarana dan prasarana dan tenaga untuk layanan pendidikan ABH.
4)      Pihak Dikjar belum mengembangkan model pelatihan untuk petugas & Tenaga pendidik dalam pendidikan ABH.
5)      Pihak Dikjar kurang berkoordinasi para pihak berkaitan dengan peserta didik yang diduga melakukan tindak pidana untuk tetap mengikuti pendidikan.
g.      Pihak Dinas Kesehatan
1)      Pihak Dinkes belum mempunyai kebijakan penetapan Standard Pelayanan Kesehatan Anak di Lapas dan Rutan.
2)      Pihak Dinkes perlu meningkatkan kualitas pembinaaan kesehatan anak melalui pelayanan di Tingkat Dasar di Puskesmas dan pelayanan rujukan di Rumah Sakit.
3)      Pihak Dinkes belum optimal menyediakan biaya pengobatan melalui Jamkesmas bagi ABH yang terdaftar sebagai keluarga miskin dan ABH yang berasal dari kelompok gelandangan, pengemis dan terlantar atas rekomendasi dinsos setempat.
h.      Pihak Kanwil Departemen Agama
1)      Pihak Kanwil DepartemenAgama  belum mengembangkan dan menetapkan kebijakan perlindungan ABH untuk lingkungan pendidikan di bawah Depag.
2)      Pihak Kanwil belum menetapkan kebijakan alternative pelayanan pendidikan agama yang dibutuhkan ABH dalam bentuk formal, non formal dan informal.
3)      Pihak Kanwil Departeman Agama belum mengembangkan model pencegahan tidak kekerasan terhadap siswa selama dalam proses pendidikan di lingkungan Depag yang dapat mengakibatkan siswa melakukan tindak pelanggaran tata tertib sekolah atau tindak pelanggaran hukum.
Pada aspek penegak hukum ini, forum koordinasi lintas sektor belum optimal dilaksanakan terutama  lembaga di luar Kepolisian, Kejaksaan dan Hukum serta HAM. Masih tergambar bahwa sektor-sektor asyik berjalan sendiri tanpa adanya integrasi dan sinkronisasi program yang seharusnya dilakukan dan dibutuhkan dalam penanganan ABH.
3.      Aspek Sarana dan Prasarana :
a.  Dijajaran Polres di kabupaten/Kota, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dan Ruang Khusus Pemeriksaan untuk Perempuan dan Anak belum seluruhnya tersedia.
b. Pusat-pusat Penanganan Trauma, Rumah Aman dan Shelter atau Rumah Singgah belum banyak tersedia.
c.  Belum banyak tersedianya Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) sebagai alternatif pengganti Lapas Anak yang lebih ramah anak.
d.       Belum tersedianya lahan khusus untuk pembangunan RPSA .
4.      Aspek Masyarakat :
a.          Masih adanya persepsi negative masyarakat terhadap ABH sebagai pelaku kejahatan yang tidak bisa membedakan dengan kenakalan anak/remaja.
b.         Kesadaran masyarakat kurang mendukung reintegrasi, reunifikasi keluarga dan rehabilitasi sosial bagi ABH.
c.          Pengucilan dan stigmatisasi atau labelisasi pelaku kejahatan terhadap ABH meski telah menjalani hukuman atau dijalaninya masa bimbingan lanjut (after care).
5.      Aspek Budaya Masyarakat :
a.             Masih sedikitnya  model pembinaan berbasis kearifan lokal dan budaya masyarakat.
b.            Keterbatasan pembinaan ABH dengan pendekatan budi pekerti dan keagamaan.
Adapun variable- variable yang dapat menghambat pelaksanaan restorative justice adalah:
1.      Belum adanya undang- undang yang mengatur secara tegas tentang restorative justice.
2.      Kategori umur anak.
3.      Aspek Sumber Daya manusia.
4.      Sikap keluarga korban.

    Hal- hal yang perlu dipersiapkan untuk mengantisipasi terjadinya hambatan dalam penerapan Restorative Justice adalah ;

1.      Hakim dengan kewenangannya dalam kasus anak hendaknya benar- benar mempertimbangkan hal- hal yang menyangkut kesejahteraan anak dengan cara:
a.          Mengalihkan perkara anak ke jalur Non Formal (Beijing Rules butir 11. 1,2 ,3, 4 ; KHA Pasal 4, 37 huruf b ; Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik Pasal 24 ayat 1)
b.         Menerapkan pendekatan Restorative Justice ( Beijing Rules Butir  5. 1, Butir 14.1, 2 Butir 18.1 ; Konvensi Hak Anak Pasal 2 ayat (3) huruf b)
2.      Perampasan kemerdekaan anak seharusnya didasarkan pada pertimbangan yang masak setelah memperhatikan status, umur, personalitas, jenis kelamin, type pelanggaran dan kondisi fisik serta kejiwaan anak.
3.      Substansi Undang- undang No 3 Tahun 1997 tidak berprespektif anak sebagai korban melainkan pemidanaan karna anak telah terlebih dahulu mendapat stigma sebagai anak nakal.
4.      Negara seharusnya melakukan intervensi secara khusus dalam rangka melindungi anak, bukan malah sebaliknya anak dihadapkan dengan kekuasaan Negara untuk mempertanggung jawabkan secara pidana , sehingga perlu adanya kepastian hukum.
5.      Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.[1]
6.      Kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak, seperti tertuang dalam Pasal 64 undang- undang No 23 Tahun 2002:
(1)   Perlindungang khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2)   Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a)      Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak- hak anak;
b)      Penyediaan petugas pendamping anak sejak dini;
c)      Penyediaaan sarana dan prasarana secara khusus;
d)     Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e)      Pemantauan dan pencatatan secara terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f)       Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua dan anggota keluarga;
g)      Perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
(3)   Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut dilaksanakan melalui:
a)      Upaya rehabilitasi baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b)      Upaya perlindungan dan pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;
c)      Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental maupun social ;
d)     Pemberian aksebilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
7.      Hal lain yang lebih esensial adalah dilibatkannya korban dan komunitas dalam suatu proses yang holistic termasuk pihak- pihak lain berdasarkan prinsip pertanggung jawaban , resolusi dan pemulihan .
8.      Adanya proses healing dan upaya membangun membangun pertanggungjawaban moral komunitas. Proses ini berbanding terbalik dengan pendekatan pemidanaan yang lebih menekankan penghukuman, menguntungkan pihak tertentu dan cenderung birokrat.

Untuk terciptanya perlindungan anak memerlukan koordinasi dan kerjasama yang baik sehingga diperoleh keseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan terutama dalam masalah perlindungan hukumnya.Aparat penegak hukum yang menangani anak seharusnya memenuhi persyaratan- persyaratan sebagai berikut :
1.      Memiliki pengetahuan dan ketrampilan proposional sesuai dengan profesinya.
2.      Mempunyai niat, perhatian dan dedikasi serta memahami masalah anak.
3.      Telah berpengalaman dalam memahami perkara tindak pidana yang dilakukan orang dewasa.

Anak bagaikan selembar kertas putih kosong yang harus kita isi dengan hal- hal yang positif. Jika pada awalnya kita memberikan hal- hal yang baik maka untuk selanjutnya ke depan mereka akan dapat menjadi pribadi- pribadi yang baik dan tangguh serta dapat mengharumkan Negara. Di tangan anaklah nantinya yang akan melanjutkan kehidupan suatu bangsa. Jangan sampai pengaruh buruk menjerumuskan mereka dalam linkungan yang tidak sehat.
    Seorang  anak yang melakukan atau diduga melakukan suatu tindak pidana sangat membutuhkan adanya perlindungan hukum. Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara melindungi tunas bangsa di masa depan. Perlindungan terhadapa anak menyangkut semua aturan hukum yang berlaku.Perlindungan ini perlu karena anak merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai keterbatasan fisik dan mentalnya. Oleh karnanya anak memerlukan perlindungan dan perhatian khusus.
Penanganan dalam proses peradialan anak yang salah dapat menimbulkan pertumbuhan mental , kejiwaan dan sosial anak menjadi negative dan berbahaya bagi generasi muda yang akan datang. Tujuan pemidanaan bukanlah untuk memberikan penghukuman melainkan memberikan pendidikan agar kelak merka dapat memperbaiki moral serta perilakunya serta tidak terjerumus dalam lingkungan yang salah..




[1] Arief Gosita , loc.cit  , hal 19