Monday 30 December 2013

Konsep Dasar Pajak

Pengertian Pajak

        Beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai pajak, antara lain menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH yaitu iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang- undang ( yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

        Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, yaitu iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

        Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pajak adalah Iuran/ kontribusi rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum

Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pajak setidaknya mengandung 4 unsur

i.    Iuran/ kontribusi rakyat kepada negara
ii.    Berdasarkan undang-undang
iii.    Tanpa kontraprestasi
iv.    Dipakai untuk membiayai rumah tangga negara


Fungsi Pajak

Pajak Setidaknya memiliki dua fungsi yakni:
  1.  Fungsi Budgeting, yakni sebagai sumber dana/penerimaan negara
  2. Fungsi Regulator. Artinya pajak difungsikan sebagai alat untuk mengatur/melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi


Teori Pajak

Berikut ini landasan teoritik diselenggarakannya pemungutan pajak:

  1. Teori Asuransi. Negara melindungi jiwa, raga, harta dan hak-hak rakyat karenanya rakyat harus membayar pajak yang diibiratkan premi asuransi atas jaminan perlindungan
  2. Teori Kepentingan. Beban pajak didasarkan pada kepentingan masing-ming individu warga. Makin besar kepentingannya, ya.. Makin besar juga pajaknya,
  3. Teori Daya Pikul. Beban pajak harus sama berat bagi semua individu sesuai daya pikulnya. Pendekatan untuk mengukur daya pikul: a). Unsur obyektif; besarnya penghasilan. b) Unsur subyektif; besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi
  4. Teori Bakti. Dalam teori ini dikatakan bahwa sebagai warga negara yang berbakti, maka rakyat harus sadar bahwa pembayaran pajak adalah kewajiban setiap warga.
  5. Teori Asas Daya Beli. Menurut teori ini Pajak adalah penarikan daya beli masyarakt, maka akibat dari pemungutan pajak harus merupkan pemeliharaan kesejahteraan


Posisi Hukum Pajak

Berikut posisi hukum pajak dalam tata hukum yang digambarkan secara skematik:

 
 
 Stelsel Pemungutan Pajak

Ada tiga stelsel dalam pemungutan pajak yakni:

1.    Stelsel Nyata (Riil)
Pajak dipungut berdasarkan penghasilan yang sesungguhnya. Kelebihan stelsel nyata adalah pajak lebih realistis. Kelemahan stelsel ini adalah pajak bari bisa dikenakan pada akhir periode
2.    Stelsel Anggapan (Fictive)
Pajak dipungut berdasarkan anggapan(yang diatur UU) atas besarnya penghasilan. Kelebihannya stelsel ini adalah pajak dapat dikenakan pada tahun berjalan. Sedang kelemahan stelsel ini adalah pajak tidak berdasar pada keadaan yang sesungguhnya.
3.    Stelsel Campuran
Pajak dipungut berdasarkan pada kombinasi stelsel nyata dan stelsel anggapan. Artinya Pembayaran pajak dilakukan setiap periode kurang dari satu tahu misalnya setiap bulan, setiap dua bulan atau yang lain berdasarkan suatu perkiraan penghasilan dalam satu tahun. Selanjutnya pada akhir tahun dilakukan penyesuaian berdasarkan penghasilan yang sesungguhnya.


Sistem Pemungutan Pajak
Ada tiga sistem pemungutan pajak, yakni:

  1. Official Assesment System, yaitu Sistim pemungutan yang memberi kewenangan pd fiskus untuk menentukan besarnya pajak. Ciri: Wajib Pajak pasif, utang pajak timbul setelah ada surat ketetapan pajak.
  2. Self Assesment System. Sistem pemungutan pajak dimana Wajib pajak diberi kewenangan menghitung sendiri besarnya pajak. Ciri: Wajib Pajak aktif, sedang fiskus tidak ikut campur hanya mengawasi
  3. With Holding System. Pada sistem ini besarnya pajak ditentukan oleh pihak ke-3 yang disepakati oleh fiskus dan Wajib Pajak


Asas Pemungutan Pajak

Berikut asas pemungutan pajak, yakni:
  1. Asas domisili. Menurut asas ini, negara berhak mengenakan pajak kepada warga negaranya dimanapun dia berada
  2. Asas Sumber. Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh/bersumber dari wilayahnya
  3. Asas Kebangsaan. Merupakan asas pemungutan pajak dimana Negara berhak mengenakan pajak yang dikaitkan dengan kebangsaan seseorang


Syarat Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak harus memenuhi beberapa syarat yakni:

  1. Syarat Keadilan. Syarat keadilan di sini maksudnya adalah Adil dalam perundang-undangan artinya mengenakan pajak secara umum, merata dan sesuai dengan kemampuan. Adil dalam pelaksanaan artinya memberi hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberataan, penundaan dan banding
  2. Syarat Yuridis. Maksudnya bahwa pemungutan pajak didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan baik bagi negara maupun warganya
  3. Syarat Ekonomis. Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu perekonomian/ tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat
  4. Syarat Efisien/Finansial. Artinya bahwa biaya pemungutan pajak harus lebih rendah dari hasil pemungutannya
  5. Syarat Kesederhanaan. Sistim pemungutan harus sederhana sehingga dapat memudahkan dan mendorong wajib pjak memenuhi kewajibannya
Pengelompokan Pajak

Pajak dapat dikelompokkan menurut beberapa cara yakni:

1.    Menurut Golongan
  • Pajak langsung; Pajak yang  dipikul sendiri oleh WP
  • Pajak tidak langsung;Pajak yang dpt dibebankan ke pihak lain

2.    Menurut Sifat
  • Subyektif ; Pajak yang dipungut berdasarkan keadaan WP
  • Obyektif; Pajak yang dipungut berdasarkan keadaan obyek pajak

3.    Menurut Lembaga Pemungut
  • Pajak Pusat; Pajak yang pemungutan dan pemanfaatannya oleh dan untuk Pemerintah Pusat  PPh, PPn, PPBM, Meterai
  • Pajak Daerah; Pajak yang pemungutan dan pemanfaatannya oleh dan untuk Pemerintah Daerah   Pajak. Kendaraan, Bea BNKB, Penerangan jalan


Jenis Tarif Pajak

Ada beberapa jenis tarif pajak, yakni:

1.    Tarif Proposional
Tarif berupa persentase tetap; mis PPn 10%
2.    Tarif Tetap
Besarnya pajak tetap; mis meterai
3.    Tarif Progresif
  Persentase tarif semakin besar bila besaran yg dikenai pajak makin besar
Jenis Tarif Progresif:
  • Progresif-progresif; semakin besar nilai obyek yang dikenai pajak maka besarnya persentase pajak yang dikenakan semakin meningkat dengan kenaikan persentase yang  semakin meningkat
  • Progresif-tetap; semakin besar nilai obyek yang dikenai pajak maka persentase pajak yang dikenakan semakin naik dengan kenaikan persentase yang  tetap
  • Progresif-degresif; semakin besar nilai obyek yang dikenai pajak maka persentase pajak yang dikenakan semakin naik dengan kenaikan persentase yang  semakin  menurun

           Contoh Pentarifan Progresif:


4. Tarif Degresif
  Persentase tarif semakin kecil bila besaran yang dikenai pajak semakin besar
Jenis tarif Degresif
  • Degresif-Degresif; semakin besar nilai obyek yang dikenai pajak maka besarnya persentase pajak yang dikenakan semakin menurun dengan penurunan persentase yang  semakin  menurun
  • Degresif-Tetap; semakin besar nilai obyek yang dikenai pajak maka besarnya persentase pajak yang dikenakan semakin menurun dengan penurunan persentase yang  tetap
  • Degresif-Progresif; semakin besar nilai obyek yang dikenai pajak maka besarnya persentase pajak yang dikenakan semakin menurun dengan penurunan persentase yang  semakin  menaik
Contoh Pentarifan Degresif
Wajib Pajak

        Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan perpapajakan ditentukan untuk melaksanakan kewajiban perpajakan yakni penghitungan, pelaporan, pembayaran, pemungutan/pemotongan pajak tertentu. Ada beberapa macam Wajib Pajak

1.    Wajib Pajak Orang Pribadi
Adalah  orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan WP Badan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak  untuk mendapatkan NPWP paling lambat satu bulan setelah usaha dimulai. WP orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan telah memenuhi syarat obyektif dan syarat subyektif, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.

2.    Wajib Pajak Badan
adalah sekumpulan prang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, dan perseroan linnya, BUMN, BUMD, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi mssa, organisasi sosial politik,, bentuk usaha tetap dan lain-lain.

3.    Wajib Pajak Badan Usaha Tetap
adalah bentuk usaha yang digunakan oleh Subyek Pajak LN (Luar Negeri) untuk menjalankan usaha di Indonesia.



Timbul Hapusnya Utang Pajak

Ada beberapa pandangan terkait timbulnya utang Pajak yakni:

  • Menurut Ajaran Formil. Menurut ajaran Formil, timbulnya utang pajak bila telah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak
  • Menurut Ajaran Materiil. Menurut ajaran materiil, utang pajak timpbul dengan berlakunya UU yang menyatakan pajak timbul karena keadaan/perbuatan

Sedang Hapusnya utang Pajak hapus bila:
  •     Dilakukan pembayaran/ pelunasan terhadap utang pajak
  •     Utang pajak dikompensasi
  •     Utang pajak telah kedaluarsa
  •     Mendapat pembebasan


Hambatan Pemungutan Pajak

Ada 2 jenis hambatan dalam pemungutan pajak

1.    Perlawanan Pasif
  •     Enggan bayar pajak karena
  •     Perkembangan intelektual dan moral
  •     Sistim perpajakan yang sulit dan rumit
  •     Sistim kontrol tidak jalan

2.    Perlawanan Aktif
  •     Tax Avoidance yakni menghindari pajak tanpa melanggar hukum
  •     Tax Evasion yakni menghindari pajak dengan cara-cara illegal


Menentukan Tahun Pajak
       Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim kecuali bila WP menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim dan pelaporannya disebut pelaporan pajak tahunan. Sedangkan jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan paling lama tiga bulan disebut Masa pajak dan pelaporannya disebut pelaporan pajak masa.

Prinsip:

tahun pajak ditentukan berdasarkan jumlah bulan yang  jatuh pada tahun tersebut>= 6 bulan

Cara penentuan:
  • Bila Tahun Pajak sama dengan tahun Takwim/tahun kalender maka tahun pajak sesuai dengan tahun takwim.
  • Bila Tahun Pajak tidak sama dengan tahun Takwim/ tahun kalender, maka tahun pajak jatuh pada tahun dimana jumlah bulan yang jatuh pada tahun tersebut >= 6 bulan.


Thursday 26 December 2013

Perspektif Hukum tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Berkaitan dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia

Kegiatan Pencucian uang adalah asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari kejahatan, yang disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara, dimana pencucian harus dicegah dan diberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar dapat diminimalisasi, sehingga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan Negara dapat terjaga dengan baik, dengan cara melakukan kerja sama regional atau internasional melalui forum bilateral atau multilateral. Oleh karenanya suatu tindakan kejahatan pencucian uang tersebut perlulah diberlakukannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Terganggunya stabilitas perekonomian serta perbankan Indonesia yang dapat merugikan keuangan Negara yang tidak sedikit nilainya, dengan diberlakukan UU.NO.3 TAHUN 2004 Tentang Perubahan Atas UU NO. 23 TAHUN 1999 yaitu tentang BANK INDONESIA berhubungan erat dengan sistem keuangan negara serta perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi. Sejalan dengan tujuan Bank Indonesia adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian, yang tidak terlepas dari Hukum Perbankan yaitu hukum yang mengatur tentang segala kegiatan yang berkaitan dengan segala kegiatan perkonomian yang dilakukan oleh Bank Umum maupun Bank Syariah, sebagimana diatur oleh UU N0. 4 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Kegiatan Pencucian uang adalah suatu kegiatan yang menghasilkan harta kekayaan yang berasal suatu kejahatan, yang disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara, dan untuk melakukan pencegah serta melakukan pemberantasan perlu diberlakukannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena kegiatan pencucian uang tersebut mengganggu stabilitas dan keamanan perekonomian atau keuangan Negara, atas dasar tersebutlah maka perlu pula diberlakukannya UU.NO. 3 TAHUN 2004 Tentang Perubahan Atas UU NO. 23 TAHUN 1999 Tentang Bank Indonesia, mengingat Bank Indonesia adalah sebagai Bank Sentral Indonesia.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai perbandingan atau pandangan agar Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia, harus selalau waspada atau standbay didalam setiap pergerakan perekonomian baik secara internal maupun secara eksternal. Penulusuran dalam pembahasan terhadap tindak pidana pencucian uang, sampai sejauh manakah stabilitas perkonomian dan keuangan Negara telah dirugikan, yang berkaitan dengan kegiatan dunia perbankan. Atas dasar tujuan tersebutlah, maka penulis menggunakan metode kebijakan pemberlakukan berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, sebagai upaya pencegahan atau minimal memperkecil kegiatan pencucian uang didalam perekonomian dan keuangan Negara baik secara internal maupun secara eksternal.
Teori konsep yang dipakai penulis untuk pembahasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah bersandar kepada :
Undang-Undang Dasr 1945, Pasal 33 ayat (4) :
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien, berkeadilan berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional “
Undang-Undang No.3 Tahun 2004, Pasal 7 ayat ( 2 ) :
“Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.”
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, Pasal 1, ayat ( 6 ) dan Pasal 3 ayat (1)a :
“Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan, yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini” . dan “ Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain”.
Difinisi Rostow yaitu :
“Mengenai proses pembangunan ekonomi dapat dibedakan kedalam 5 tahap yaitu masyarakat tradisional (the traditional society), prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take of), tiggal landas (the take of), menuju kekedewasaan (the drive to maturity) dan masa konsumsi tinggi (the age ofhigh mass-consumption)”.
Berdasarkan permasalahan yang telah penulis jelaskan diatas, ada beberapa permasalahan pokok yang menjadi perhatian penulisan disini adalah untuk membahas makalah ini, dengan beberapa permasalahan pokok adalah sebagai berikut :
a. Sampai sejauh manakah tindak pidana pencucian Uang mengganggu stabilitas perekonomian dan keuangan Negara ?
b. Tindakan-tindakan dan upaya pencegahan apakah, yang dapat diambil terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang ?
c. Bagaimanakah sanksi hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang dan apakah akibatnya serta pengaruhnya terhadap perekonomian dan keuangan negara, apabila tindak pidana pencucian uang tidak dapat dicegah ?
Pencucian uang (Money Lundering) adalah suatu harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana yang dilarang oleh Undang-Undang, yang pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan untuk mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk kedalam system perbankan (Financial system) :
1 terutama kedalam system perbankan (banking system), agar asal usul harta tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Pencucian uang (Money Loundering) yang secara eksternal berasal dari perbankan Internasional masuk kedalam wilayah hukum perbankan Indonesia dapat berlangsung secara berkesinambungan, dalam hal ini perlunya ada suatu upaya pemutusan hubungan dengan perbankan Internasional tersebut, sebagai upaya pencegahan terjadinya tindak pidana pencucian uang (Monay Laundering).
2. Dan upaya pembatasan kejahatan tersebut harus ditempuh oleh suatu Negara atau antar Negara, untuk dapat dicegah maupun membrantas parktek pencucian uang yaitu dengan membentuk undang-undang yang melarang perbuatan pencucian uang dengan sangsi yang sangat berat terhadap para pelaku kejahatan pencucian uang, dimana terdapat proses yang terdiri dari :
a. Penempatan (Placement) yaitu upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana kedalam system keuangan (Financial System) atau upaya menempatkan uang giral (Cheque, wesel bank, sertifikat deposito) kembali kedalam system keuangan, terutama system perbankan.
b. Transfer (Layering) yaitu upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (Dirty Money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (Placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain, dengan cara ini untuk mempersulit penegak hukum untuk dapat mengetahui asal-usul harta kekayaan.
c. Menggunakan harta kekayaan (Integration) yaitu upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang berhasil masuk kedalam system keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (Clean Money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Hukum Perbankan adalah suatu peraturan atau perundang-undangan perbankan yang mengatur bank-bank konvensil, Bank pemerintah, Bank Swasta dan Bank swasta Asing, dengan melakukan Izin pendirian. Sedangkan izin Pendirian adalah ketentuan bagi setiap perusahaan yang akan menjalankan usahanya disuatu negara atau dari wilayah hukum Negara lain, haruslah terlebih dahulu memperoleh izin dari pihak yang berwenang atau Pemerintah. Dan kewajiban memperoleh izin usaha bank tersebut, harus memenuhi persyaratan yang wajib dipenuhi menurut UU No.10 Tahun 1998 adalah sebagai berikut :
1. Susunan Organisasi dan kepengurusan.
2. Permodalan.
3. Kepemilikan.
4 Keahlian dibidang Perbankan.
5. Kelayakan Rencana Kerja.
Sedangkan Pengertian bank itu sendiri adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan demikian pengertian hukum perbankan adalah suatu ketentuan/norma atau kidah-kaidah hukum yang mengatur segala kegiatan perekonomian yang berhubungan langsung mupun tidak langsung, berupa badan usaha milik Negara yaitu bank yang mengelola dan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan serta menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit/pinjaman. Akan tetapi pada kenyataannya didalam melakukan kegiatan perekonomian didalam mengelola keuangan Negara tersebut, pihak perbankan dalam hal ini Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia dengan melalui bank-bank umum maupun bank swasta sering terjadi suatu upaya-upaya terjadinya tindak pidana pencucian uang (monay laundering) dan sering terjadi dan yang sering menimbulkan masalah adalah bank-bank swasta yang diberi kepercayaan untuk mengelolaan keuangan Negara tersebut. Seperti contohnya adalah : Bank Sentral, Bank Negara Indonesia (BNII), Bank Dagang Negara(BDN), Bank Bumi Daya(BBD), Bank Pembangunan Indonesia(BAPINDO), Bank Pembangunan Daerah(BPD), Bank Tabungan Negara(BTN) dan Bank Mandiri dan lain-lain.
6. Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah segala tindak pidana yang merupakan suatu kejahatan yang berkaitan dengan perbankan, dimana macam-macam tidak pidana pencucian uang tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa perusahaan atau yayasan, yang didapat dari hasil perjudian.
2. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa perusahaan atau yayasan, yang didapat dari hasil penjualan barang illegal seperti penjualan narkoba atau alat-alat kedokteran atau alat-alat perang yang penjualannya melalui Black market.
3. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa perusahaan atau yayasan, yang didapat dari hasil penipuan melalui perdagangan yang melalui media internet (tindak pidana penipuan) yang didapat dari pembelian suatu prodak, akan tetapi pembayarnnya dibebankan kepada kartu kredit milik orang lain, dan barang tersebut kemudian dijual melalui balck market untuk di uangkan.
4. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa perusahaan atau yayasan, yang didapat dari hasil pengumpulan dana dari masyarakat, yang tabungan dengan daya tarik bunga yang tinggi, yang didapatnya setiap bulan, sebagai contoh : dengan uang hanya Rp. !0.000.000,-(sepuluh juta) dan bunga yang diterima setiap bulannya sebesar Rp. 2.000.000,-(dua juta). Dana yang terkumpul ini masuk kesalah satu rekening bank di Indonesia dan secara diam-diam dana tersebut kemudian dipindahkan rekening kebank lain atau bank Internasional (bank yang berada diluar negara Indonesia).Melihat dari macam-macam tindak pidana pencucian uang (monay laundering) terlihat pelaku tindak pidana tersebut melakukan tindak pidana pencucian tersebut baik secara Eksternal yaitu tindak pidana yang dilakukan dari luar wilayah Negara Indonesia (luar negeri darai hasil yang didapat secara tidal sah seperti hasil judi, jual narkoba dll) yang dilakukan dengan mentransfer dari bank x (internasional) kepada bank yang berada di Indonesia yaitu bank xx, kemudian dana tersebut ditranfer kembali kerekening suatu yayasan atau perushaan yang indentitasnya tidak jelas atau fiktif, dari hasil kegiatan perbankan inilah kemudian dana tersebut digunakan untuk mendanai suatu kegiatan atau proyek-proyek yang berada dalam lingkungan/wilayah hukum perekonomian/bank di Indonesia.Kemudian dana dari hasil proyek-proyek tersebut, apabila realisasinya telah selesai, maka uang itu akan masuk kerekening pribadi (katakanlah pemodal), berupa dana yang sudah dicuci dan dianggap sah yang sudah barang tentu masih melalui beberapa tahap untuk mengkaburkan identitas pemiliknya. Demikian pula sebaliknya secara intrernal yang dilakukan dari dalam negeri (Indonesia) melakukan tranfer kerekening bank Internasional dan melalui tahapan yang sebaliknya seperti tersebut diatas.
Tindak pidana pencucian uang dibatasi oleh Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, Pasal 1, ayat ( 6 ) dan Pasal 3 ayat (1) a adalah Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (4) yang menegaskan bahwa “ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien, berkeadilan berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional “ dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, Pasal 7 ayat (2) yaitu “TujuanBank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.”, serta terkait UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dengan undang-undang tersebut diatas adalah merupakan sebagai undang-undang secara internal yang membatasi atau memperkecil ruang lingkup tindak pidana pencucian uang (Monay laundering) di Indonesia, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas perekonomian untuk menjamin keamanan dan ketentraman dalam berinfestasi di Indonesia. Dan selain daripada itu menurut UU No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang (monay laundering) adalah sebagai undang-undang yang mengandung unsur-unsur sanksi pidana berupa kurungan badan dan denda terhadap pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang tersebut.
Dalam UU No. 15 Tahun 2002 seperti dalam Pasal 10 yang berbunyi PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagai dimaksud dalam pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan Pasal 11 yang menyatakan pada ayat (1) : dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, dan ayat (2) : Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim Cq Pasal 12 adalah Tindak pidana dalam bab II dan bab III adalah Kejahatan dari undang-undang tersebut diatas.
Mengingat kondisi pada era ekonomi global sekarang ini, baik secara internal maupun secara eksternal terhadap kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan dari negara Indonesia, penulis menganggap sangsi pidana yang diatur oleh pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 15 Tahun 2002 tersebut masih dainggap kurang membuat jera bagi pelaku tindak pidana pencucian uang (monay laundering) tersebut, mengingat dalam menjatuhkan hukuman masih dianggap terlalu ringan sekali. Hal ini harus dilihat pula kepada kerugian negara, yang harus ditanggung akibat tindak pidana pencucian uang tersebut, yang mengakibat terganggu stabilitas dan keamanan perekonomian di Indonesia, khususnya pelaku perbankan dalam hal ini Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia, yang bertugas memonitoring segala kegiatan transaksi perekonomian di Indonesia.
Penulis telah jabarkan diatas, bahwa kegiatan perekonomian di Indonesia akan terganggu oleh kegiatan pencucian uang yang dilakukan baik secara internal maupun secara eksternal, dan untuk mengupayakan pencegakan terhadap tindak pidana pencucian uang tersebut dilandasi oleh kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan yang merupakan sebagai payung hukum yaitu Undang- Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (4), Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, Pasal 7 ayat ( 2), Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 dan Undang No. 15 Tahun 2002, Pasal 1, ayat ( 6 ) tentang tindak pidana pencucian uang.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 33 tidak akan tercapai baik secara internal maupun secara eksternal terhadap kegitan perekonomian khusnya dunia perbankan dan keuangan negara, karena apabila tindap pidana money laundering tetap berjalan dengan tidak adanya upaya pencegahan atau terdapatnya koridor hukum yang membatasinya akan berakibat menimbul kerugian negara khususnya pada kegiatan perbangkan maupun keuangan negara yang berkaitan dengan peredaran dan pengawasan keuangannya diatur oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Indonesia yang mempunyai kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakuan baik secara internal maupun secara eksternal yang indenpenden. Masalah yang tidak disadari dalam kegiatan perekonomian di Indonesia adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana Money Laundering baik kegiatan perekonomian internal yang berada didalam wilayah hukum negara Indonesia, yang melakukan transfer dari bank x di Indonesia yang berasar dari dana tidak legal/haram ke bank xx yang berada di luar negeri, yang dapat mengganggu perekonomian dan keuangan negara apabila transfer tersebut dalam jumlah besar.
Begitu pula sebaliknya, secara eksternal dimana pelaku tindak pidana monay laundering yang berasal dari uang tidak halal/haram dari bank x yang berada diluar negeri melakukan pemindahan uang haram tersebut ke bank xx yang berada di Indonesia, dimana upaya pemindahan uang tidak halal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak dapat dilacak oleh aparat penegak hukum dalam hal ini penegak hukum keuangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Indonesia yang bertanggung jawab mengelola keuangan negara Indonesia.
Mengenai masalah keuangan Negara yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2003 adalah mengenai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara (termasuk APBN dan APBD),10 berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dan di bawah pengusaan Pemerintah Pusat yaitu terhadap segala perusahaan Negara yang modalnya dimiliki oleh Pemeritah Pusat dan Pemerintah Daerah yaitu terhadap badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
Perlu dipahami bahwa keuangan Negara adalah merupakan hak Negara untuk melakukan pemungutan pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang serta melakukan pinjaman, dalam hal kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum dari pemerintahan/Negara dan membayar tagihan pihak ketiga, penerimaan Negara, pengeluaran Negara, penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Dimana kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah, termasuk kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum serta kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Kelanjutan dari penjelasan diatas adalah dalam rangka untuk mewujudkan pengelolaan keuangan Negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara perlu dilakukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, sebagaimana telah ditetpakan dalam Pasal 23 E UUD 1945.
Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara, dimana BPK masih berpedoman kepada Instructie En Verdere Bepalingen Voor De Algemene Rekenkamer atau IAR (Staatsblad 1898 No. 9 sebagimana telah diubah terakhir dengan Staatsblad 320).
Dan sampai saat ini BPK yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, masih memiliki landasan operasional yang memadai dalam pelaksanaan tugasnya untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara (yang sebelumnya berpedoman kepada Indische Comotabiliteits Wet atau ICW, Staatsblad 1925 No. 448 jo Lembaran Negara 1968 No. 53).Lingkup pemeriksaan BPK, ditetapkan dan diatur dalam UUD 1945 yang meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan Negara, yang menurut UU No. 17 Tahun 2003, Pasal 2 dimana kewenangannya mencakup tiga jenis pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang dilakukan oleh BPK dalam rangka memberi pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
2. Pemeriksaan kinerja adalah periksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan lagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah, tujuan adalah untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan dengan maksud agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan Negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien serta memenuhi sasarannya secar efektif.
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, diluar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan dan investigative. Permasalah yang timbul akibat pelaku tindak pidana pencucian uang tersebut sangat berpengaruh sekali dengan keuangan negara, dimana pengaturan keuangan negara sangat sensitive sekali peredarannya, dimana keuanggan negara yang harus dikelola tersebut harus terhindar dari uang-uang tidak halal/haram, yang secara tidak senganya atau perlahan-lahan akan mengalami defisit apabila, kegiatan tindak pidana pencucian uang tersebut tidak benar-benar dicegah.
Berdasarkan kegiatan yang bertentangan dengan hukum, maka yang bertugas untuk mengamankan keuangan negara akibat pencucian uang tersebut adalah Pihak keamanan Bank Indonesia dan petugas BPK untuk melakukan pengamanan terhadap keuangan negara dengan tindakan-tindakan pencegahan minimal memperkecil sesuai dengan ketentuan undang-undang Perbankan, undang-undang menteri keuangan maupun undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.
Analisa Secara Faktor Internal.
Dengan berlandasankan kepada undang-undang perbankan dan undang-undang keuangan negara berkaitan serta akibat tindak pidana pencucian uang (monay laundering), dimana analisa penulis secara factor internal terhadap tindak pidana pencucian uang dapat mengganggu stabilitas perekonomian dan keuangan Negara adalah suatu krgiatan atau tindakan yang dilarang oleh undang-undang perbankan maupun undang-undang keuangan negara, karena kegiatan tersebut adalah kegiatan perekonomian yang didapat dari uang tidak halal atau haram yaitu dari hasil perjudian, narkoba, kegiatan yang merupakan perdagangan melalui internet atau pengumpulan dana dari masyarakat yang tidak di izinkan pemerintah atau dilindungi oleh negara. Dimana kegiatan ini, merupakan suatu kegiatan yang penuh rekayasa dan terselubung serta beredar pada Black market.
Sebagai upaya melakukan pencegahan secara factor internal terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang tersebut, pemerintah telah memberlakukan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang yang merupakan sebagai payung hukum dan sebagai kebijakan pemberlakukan, dengan ancaman hukuman pidana dan sangsi hukuman dengan denda. Akan tetapi menurut penulis mengenai sangsi pidana dan sangsi hukuman denda tersebut masih dianggap terlalu kesil, mengingan kegiatan pencucian uang tersebut berlangsung secara kontinyu dan dalam skala jutaan dollar bahkan milyatan dollar, yang tidak disadari oleh Pemerintah Indonesuia dan memang kegiatan pencucian uang ini sangat sulit dilacak secara internal. Apabila kegiatan pencucian uang yang berada didalam negara Indonesia, dengan media yayasan, perusahaan atau lain-lainnya yang mengenai data-data tentang yayasan atau perusahaan tersebut sebenarnya fiktif belaka atau hanya nama samaran saja untuk mempermudah pengalihan peredaran uang tidak halal tersebut kebank-bank Internasional.
Analisa Secara Faktor Eksternal, begitu pula sebaliknya berdasarkan factor eksternal, dimana kegiatan tindak pidana pencucian uang (money laundering), berdasarkan factor eksternal untuk melakukan pencegahan tindaka pinada ini, perlu dilakukan konsolidasi antara pemerintah luar negeri dalam hal ini perbankan Internasiona, agar dapat dengan mudah untuk mengindetifikasi tindak pidana pencucian uang tersebut, yang masuk dari bank Internasional kewilah hukum Negara Indonesia. Dimana proses pencucian uang tersebut pada awalnya masuk melalui system perbankan dengan tahapan kegiatan pencucian secara internal melalui yayasan dan perushaan yang identitasnya disamarkan.
Berdasarkan anlisa penulis disini, terhadap tindak pidana pencucian uang (money laundering) baik secara internal maupun secara eksternal adalah suatu kegiatan pencucian uang yang masuk kesistem perbankan yang dapat mengganggu satabilitas dan keamanan system perbankan dan keuangan negara dalam hal yang berkaitan dengan asset-asset negara Indonesia.Oleh karenanya perlu suatu payung hukum yang mencegah dan membatasi tindak pidana pencucian (money laundering) yang masuk kedalam system perbangkan baik secara kegiatan internal maupun secara kegiatan eksternal, yang harus pula perlunya kerja sama antar negara-negara Internasional, khususnya bank-bank Internasional.
Kesimpulan :
1. Dengan berlandaskan kebijakan dasar yaitu UUD 1945 Pasal 33 yang pada dasarnya meningkatkan taraf kemidupan masyarakat dapat hidup tentram dan damai didalam melakukan transaksi perekonomian, dengan dilandasi oleh kebijakan pemberlakuan yaitu UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia dan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang (Monay Laundering).
2. Undang-Undang Bank Indonesia atau undang-undang perbankan dan undang-undang Menteri Keuangan adalah sebagai undang-undang yang membatasi atau koridor terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang, karena jika tidak ada payang hukum yang merupakan sebagai kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan yang diawasi secara internal, akan dapat lebih efektif pemberlakuannya. Mengingat tindak pidana pencucian uang adalah suatu perbuatan atau kegiatan yang merupakan kejahatan yang dilakukan secara samar-samar/tidak terlihat dan berada dilungkungan/tergolong dalam transaksi black market.
3. Dengan pemberlakuan UU No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang (monay laundering) adalah sebagai kebijakan pemberlakuan yang juga berfungsi sebagai payung hukum dengan sangsi hukuman badan maupun sanksi hukumnan denda, baik yang dilakukan pelaku tindak pidana secara internal maupun secara eksternal.
4. Pencegahan tindak pidana pencucian uang (manoy laundering) secara eksternal sangat sulit dilacak, karena pelaku tindak kejahatan ini dilakukan oleh badan hukum yang nama indentitasnya disamarkan (badan hukum tersebut sebenarnya tidak ada), hal ini yang menyulitkan petugas untuk melacak kegiatan badan hukum tersebut (perusahaan atau yayasan). Untuk melakukan pencegahan kegiatan tersebut yang secar eksternal perlunya ada kerja sama antara Pemeritah Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Bank Indonesia dengan Pemerintah Luar Negeri dalam hal ini diwakili oleh Bank Internasional.
Saran :
1. Berdasarkan analisa dan kesimpulan penulis secara faktor internal bahwa terhadap kebijakan pemberlakuan yaitu UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia dan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang (Monay Laundering) masih terlihat adanya pertentangan antar kebijakan tersebut, terlihat bahwa kebijakan pemberlakukan UU No. 3 Tahun 2004 telah mengatur mengenai sangsi hukuman baik berupa hukuman badan dan sangsi administratif, terlihat dalam pemberian sangsi tersebut tidak ada keseragaman dengan pemberian sangsi yang berdasarkan kebijakan pemberlakukan UU No. 15 Tahun 2004 tersebut. Atas dasar tersebut penulis menyarankan bahwa mengenai pengaturan sangsi pidana baik hukuman badan, denda maupun sangsi Administratif harus ada keseragaman dalam menjatuhkan sangsi tersebut, serta juga harus melihata kepada sangsi yang diatur oleh KUHPidana dan yang perlu diperhatikan dengan seksama didalam KUH Pidana hanya mengatur tentang kejahatan saja, tidak memperinci apakah kejahatan tersebut termasuk kejahatan Monay Laudering (kejahatan pencucian uang).
2. Berdasarkan analisa dan kesimpulan penulis secara faktor eksternal bahwa terhadap kedua kebijakan pemberlakuan tersebut diatas, juga harus memperhatikan kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakukan dunia Internasional, yang telah melakukan perjanjian kesepakatan/resolusi baik antara negara-negara berkembang maupun negara maju, mengingat kerja sama antara negara internasional adalah sangat diperlukan agar kegiatan kejahatan pencucian uang (monay laundering) tersebut dapat dicegah semaksimal mungkin.
3. Perlunya kesungguhan dari Pemerintah untuk melakukan pencegahan terhadap kejahatan pencucian uang (monay laudering), dengan mengupayakan suatu kebijakan pemberlakuan yang mengatur secara khusus tentang kejahatan pencucian uang, dengan memuat pasal-pasal mengatur tentang Petugas yang berwenang secara khusus, sangsi hukumannya, dan pasal-pasal yang mengatur hubungan antara negara Internasional, dan menghindarkan benturan-benturan kebijakan antara yang satu dengan lain terutama kebijakan secara internal. Tujuan tersebut adalah untuk mendapat kepercayaan dunia Internasional dan adanya kepastian hukum yang pasti.

Wednesday 25 December 2013

Tindak Pidana Narkotika Dalam Hukum Positif Indonesia

Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya, saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat semakin maraknya pemakaian secara tidak sah bermacam-macam narkotika dan psikotropika.


Kekhawatiran ini semakin dipertajam akibat meluasnya peredaran gelap narkotika dan psikotropika yang telah merebak di segala lapisan masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara selanjutnya, karena generasi muda adalah penerus cita-cita bangsa dan negara pada masa mendatang.

Terkait hal-hal tersebut, fokusnya adalah :
penyalahgunaan narkotika dewasa ini telah mencapai situasi yang mengkhawatirkan sehingga menjadi masalah Nasional maupun Internasional yang mendesak. Indonesia saat ini bukan hanya merupakan daerah transit tetapi sudah menjadi daerah pemasaran. Hal ini sangat memprihatinkan sekali karena korban penyalahgunaan narkotika di Indonesia akhir-akhir ini cenderung meningkat dan mencakup tidak hanya terbatas pada kelompok masyarakat yang mampu tetapi juga telah merambah ke kalangan masyarakat yang kurang mampu baik di kota maupun di pedesaan. Kasus-kasus narkotika saat ini sangat mengejutkan karena korbannya sebagian besar generasi muda yang masih sangat produktif sehingga ancaman rusaknya generasi penerus bangsa ada di depan mata. Penyalahgunaan narkotika saat ini tidak hanya melibatkan pelajar SMU dan mahasiswa tetapi sudah merambah pelajar setingkat Sekolah Dasar (SD).1
Pada dasarnya narkotika di Indonesia merupakan obat yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan, sehingga ketersediannya perlu dijamin. Di lain pihak narkotika dapat menimbulkan ketergantungan apabila disalahgunakan, sehingga dapat mengakibatkan gangguan fisik, mental, sosial, keamanan dan ketertiban masyarakat yang pada akhirnya menganggu ketahanan nasional. Oleh karena sifat-sifat yang merugikan tersebut, maka narkotika harus diawasi dengan baik secara nasional maupun internasional.

Dapat dikatakan bahwa pada saat ini Indonesia sedang dilanda penyalahgunaan narkotika yang sangat serius karena mengancam generasi muda. Remaja2 merupakan golongan yang rentan terhadap penyalahgunaan narkotika karena selain memiliki sifat dinamis, energik, selalu ingin mencoba mereka juga mudah tergoda dan mudah putus asa sehingga mudah jatuh pada masalah penyalahgunaan narkotika.
Bahaya yang akan ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika ini sangat besar seperti yang dikemukakan oleh Kepala SMU 34 Jakarta. Dra. Ny. Nannies Boedimoeljonopada Lokakarya Anti Narkotika di Jakarta pada tanggal 27 Maret 1999, yang berbunyi sebagai berikut :
Kekhawatiran orang terhadap bahaya Narkotika tak beda dengan bahaya senjata nuklir, kedua-duanya mematikan dan memusnahkan. Hal ini karena narkotika telah menjadi bahaya internasional, bersaing dengan bahaya nuklir, bahkan kalau ditilik dari waktu daya pemusnahannya, saat ini narkotika telah mengirim jutaan manusia ke alam baka dengan cara-cara tidak terhormat.3

Oleh sebab itu, problem penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks karena sudah menjadi penyakit masyarakat yang sulit untuk diberantas, karena masalah narkotika bukanlah semata-mata merupakan masalah hukum (perbuatan yang melanggar hukum) yang menjadi tanggung jawab pihak Kepolisian dan Pemda saja, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat sebab perkembangan, peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika sudah memasuki fase yang sangat membahayakan dan merupakan ancaman strategis bagi kelangsungan kehidupan bangsa dan Negara ; Yang justru dengan peran serta masyarakat secara keseluruhan, tugas aparat penegak hukum menjadi mudah dan agak ringan sehingga komitmen dalam rangka perang melawan narkotika dapat berjalan dengan baik.
Penanganan masalah narkotika di Indonesia menjadi tanggung jawab pemerintah, (penegak hukum), masyarakat dan instansi yang terkait sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, dimana mewajibkan masyarakat untuk ikut aktif dalam memerangi kejahatan narkotika. Undang-undang tersebut juga memberikan perlindungan istimewa terhadap si pelapor, saksi-saksi yang tercantum dalam pasal 57 , 58 dan 59.4

Dalam rangka memberikan efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana narkotika, perlu diterapkan ancaman pidana yang lebih berat, mengingat bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika sangat mengancam ketahanan dan keamanan nasional.
Dasar-dasar hukum yang diterapkan dalam menghadapi pelaku tindak pidana narkotika sebagai berikut :

· UU RI No. 7 Tahun 1997 tentang pengesahan United Nation Convention Against Llicit Traffict In Narcotict Drug And Psycotropict Substances Tahun 1998 (Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Tentang Peredaran Gelap Narkotika Dan Psikotropika Tahun 1998).
· UU RI  No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika sebagai pengganti Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1976. 5

Ancaman hukuman terhadap orang yang menyalahgunakan narkotika dapat berupa :
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara seumur hidup
3. Hukuman tertinggi 20 tahun dan terendah 1 tahun
4. Hukuman kurungan
5. Hukuman denda dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupah) sampai dengan Rp. 7.000.000.000,- (tujuh milyar rupiah)

Untuk pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika, hal ini dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu perbuatannya untuk orang lain dan untuk diri sendiri.

1. Tindak pidana penyalahggunaan narkotika terhadap orang lain diatur dalam pasal 84 UU Narkotika yang berbunyi sebagai berikut :
Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum :
a)  Menggunakan narkotika terhadap oarang lain atau memberikan narkotika golongan I, untuk digunakan oarang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
b)  Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II, untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
c)   Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan III, untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).

2. Tindak pidana penyalahggunaan narkotika untuk diri sendiri diatur dalam pasal 85 UU Narkotika yang berbunyi sebagai berikut :
Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum : 
a) Menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri, dipidana   dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
b) Menggunakan narkotika golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
c) Menggunakan narkotika golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.6

3. Sebagai produsen dikenakan ketentuan tindak pidana berdasarkan pasal 81 dan pasal 82 dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara/seumur hidup/hukuman mati ditambah denda.
Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak ditentukan berdasarkan umur anak yaitu bagi anak yang masih di awah 8 tahun sampai dengan 12 tahun hanya dikenakan tindakan seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial atau diserahkan kepada negara, sedangkan anak yang telah mencapai usia diatas 12 (dua belas) tahun dijatuhkan pidana.

Fotenote :
1 http://www.info@islam.or.id, “Narkoba Hari Madat Sedunia”, 06-28-2002 html.
2 http://www.e_psikologi.com, “Remaja & Napza”, Html.
3 Ny. Nannies Boedimoeljono, “Dari Seminar Anti Narkotika”, Sinar Harapan (Jakarta), 8 Maret 1998, hal. 11.
4 Sekretariat sub dit bin tibmas dit bimas POLRI, “Penanggulangan Penyalahgunaan Bahaya Narkotika”, H. 26.
5 Ibid.
6 Gatot Supramono, SH, “Hukum Narkoba Indonesia”, Penerbit, Djambatan, Jakarta,Edisi Revisi, 2004.

Tuesday 24 December 2013

Kejahatan Korporasi Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Kriminologi

Pemikiran tentang kejahatan korporasi[2], banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli hukum, khususnya hukum pidana. Di dalam hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin universitas delinguere non potest yaitu korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana, ini dipengaruhi oleh pemikiran yang menyatakan bahwa keberadaan korporasi dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum, sehingga tidak mempunyai nilai moral yang diisyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik (tindak pidana) mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus).[3]
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengaan timbulnya kerugian, yang kemudian mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban atau criminal liability. Yang pada akhirnya mengundang perdebatan adalah bagaimana korporasi mempertanggungjawabkan atau corporate liability mengingat bahwa dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subjek hukum pidana adalah orang perorangan dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.[4]
Terlepas dari apa yang diuraikan di atas, kejahatan sesungguhnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, kejahatan bukanlah sebagai suatu variabel yang berdiri sendiri atau dengan begitu saja jatuh dari langit. Semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul ke permukaan. Begitulah setidaknya, ketika umat manusia belum menemukan alat canggih seperti komputer, maka yang namanya kejahatan komputer tidak pernah dikenal. Baru setelah komputer merajelela di berbagai belahan dunia, maka orangpun lalu disibukkan dan direpotkan pula dengan efek samping yang ditimbulkannya yaitu berupa kejahatan komputer.
Demikian pula halnya dengan corak kejahatan di bidang perbankan, kejahatan terhadap pencemaran lingkungan hidup, money laundering,[5] kejahatan di bidang ekonomi; korupsi dan lain-lain, semua kejahatan ini lahir dan tumbuh seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh manusia. Kejahatan-kejahatan ini adalah termasuk dalam kategori kejahatan kelas “elite”. Dikatakan “elite”, karena tidak semua orang dapat melakukannya. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana mungkin preman, orang yang belakangan ini diuber-uber oleh aparat keamanan, dapat melakukan kejahatan komputer, kejahatan alam maya (internet) atau money laundering misalnya, yang nota bene membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tertentu.
Kejahatan kelas “elite” ini tidak membutuhkan tenaga fisik yang banyak. Kemampuan pikir merupakan faktor yang penting untuk mencapai hasil yang berlipat ganda.
Namun sayang, kejahatan jenis ini seringkali tidak terpantau dan bahkan dalam banyak hal aparat penegak hukum justru kalah terampil dari pelakunya, baik itu yang berkenaan dengan objek yang menjadi sasaran kejahatan maupun masalah pembuktian dalam proses peradilan.
Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka persoalan yang akan dikedepankan dalam konteks tulisan ini adalah, bahwa terdapatnya perubahan (pergeseran) wajah pelaku kejahatan di Indonesia, yang disebabkan oleh perkembangan pembangunan nasional kita. Pergeseran dimaksud adalah tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Pelaku kejahatan di sini bukanlah manusia, tetapi adalah suatu kesatuan yang disamakan dengan manusia.[6]

B. Korporasi

Istilah korporasi merupakan sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtsperson atau yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.[7]
Istilah badan hukum itu sendiri, sebenarnya terjadi tiada lain sebagai akibat dari perkembangan modernisasi. Ketika dalam alam yang masih primitif, suatu keadaan masyarakat yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan usaha hanya dijalankan secara perorangan. Namun dalam perkembangannya kemudian, tumbuh kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usaha itu secara bekerjasama dengan beberapa orang (atau dengan orang lain), yang mungkin atas dasar pertimbangan agar dapat terhimpun modal yang lebih banyak, atau mungkin pula mempunyai maksud, dengan tergabungnya keterampilan akan lebih berhasil dari pada jika dilaksanakan atau dijalankan hanya dengan seorang diri. Mungkin pula atas dasar pertimbangan dengan cara demikian mereka dapat membagi risiko terhadap kerugian yang mungkin timbul dalam proses kegiatan kerjasama tersebut.
Menurut Chidir Ali seperti dikutip oleh Erman Rajagukguk[8] mengatakan, bahwa manusia yang mempunyai kepentingan bersama, memperjuangkan suatu tujuan atau kepentingan tertentu, berkumpul dan mempersatukan diri. Mereka menciptakan suatu organisasi, memiliki pengurus yang akan mewakili mereka. Mereka memasukan dan mengumpulkan harta kekayaan, mereka menetapkan peraturan-peraturan tingkah laku untuk mereka dalam hubungannya satu dengan yang lain. Adalah tidak mungkin dalam tiap-tiap hal mereka bersama-sama melakukan tindakan-tindakan itu dalam rangka mencapai tujuan bersama tersebut. Pergaulan antar manusia dalam kehidupannya menganggap perlu, bahwa dalam suatu kerja sama itu semua anggota bersama-sama merupakan satu kesatuan yang baru. Suatu kesatuan yang mempunyai hak-hak sendiri terpisah dari hak-hak para anggotanya secara pribadi. Kesatuan yang mempunyai kewajiban sendiri terpisah dari kewajiban-kewajiban para anggota secara individual. Subjek hukum yang baru dan berdiri sendiri inilah yang dimaksudkan dengan badan hukum.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, tidak jarang kerja sama tersebut terjadi bukan hanya sekedar dengan beberapa orang saja, melainkan dapat pula terjadi diantara beberapa ratus atau bahkan ribuan orang, sebagaimana wujudnya sekarang yang dapat dilihat perkembangannya di negara kita yaitu, dengan semakin menjamurnya Perseroan-perseroan Terbatas (PT) yang telah menawarkan saham-sahamnya kepada khalayak masyarakat lewat kebijakan go public-nya. Dan dalam perkembangannya yang terkini, bahkan telah pula dilakukan dalam bentuk saling menggabungkan diri untuk selanjutnya melakukan kerjasama dalah satu kesatuan yang baru, yaitu apa yang sering dinamakan dengan merger. Hal ini terjadi yaitu dengan tergabungnya dua atau lebih Perseroan Terbatas (PT) misalnya, atau badan hukum lain.
Apa yang disebut dengan badan hukum itu sebenarnya tiada lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap badan ini diberi status sebagai subjek hukum.[9] Sehingga subjek hukum secara singkat dapat diartikan, yaitu mereka yang mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum yaitu manusia (natuurlijk person) dan sesuatu yang menurut kebutuhan masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang terakhir ini disebut badan hukum.
Manusia sebagai subjek hukum (dalam arti sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum) sudah mulai ada sejak manusia itu masih dalam kandungan sampai ia meninggal. Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) menyebutkan:
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Namun jika anak itu mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah ada”.
Dalam hubungan ini, misalnya, seorang ibu yang hamil, kemudian suaminya meninggal dunia, hal ini dapat menimbulkan pemecahan warisan. Anak itu walaupun masih berada kandungan ia dianggap mendapat warisan. Oleh karenanya dapat dikatakan kemampuan seseorang untuk menjadi subjek hukum, mampu menjadi pendukung hak dan kewajiban adalah mulai dari seseorang itu masih berada dalam kandungan dan berakhir dengan kematiannya.
Diciptakannya pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu badan, namun dianggap badan ini dapat menjalankan segala tindakan hukum dengan segala risiko yang timbul, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya, dalam hal ini mempunyai latar belakang pemikiran tersendiri. Adapun latar belakang pemikiran penetapan Badan Hukum sebagai subyek hukum, mengutip pendapat Rudhi Prasetya,[10] menyebutkan:
“bahwa terjadinya penetapan tersebut tiada lain sekedar untuk mempermudah menunjuk siapa subyek hukumnya yang harus bertanggung jawab diantara sedemikian banyak orang-orang yang terhimpun dalam badan tersebut, andaikata terjadi akibat hukum, yaitu yang secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk “badan” itu adalah sebagai subjek hukum yang harus bertangung jawab.[11]
Badan hukum sebagai salah satu subjek hukum memiliki berbagai teori. Dari berbagai teori tersebut, menurut Erman Rajagukguk[12] dapat digolongkan dalam dua bagian besar, yaitu:
Pertama: mereka yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata, dianggap mempunyai “panca indra” sendiri seperti manusia. Akibatnya, badan hukum itu disamakan dengan orang atau manusia.
Kedua adalah, mereka yang menganggap badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Di belakang badan hukum itu sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya, kalau badan hukum itu membuat kesalahan, maka kesalahan itu adalah merupakan kesalahan manusia yang berdiri di belakang badan hukum itu secara bersama-sama tersebut.
Perbedaan teori mengenai badan hukum ini mempunyai implikasi yang besar terhadap pemisahan pertanggung jawaban antara badan hukum dan orang-orang yang berada dibelakang badan hukum tersebut.
Pemahaman badan hukum demikian itu adalah merupakan pengertian umum. Badan hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk. Ada yang dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT), dalam bentuk perkumpulan tertentu; ada pula yang berbentuk koperasi, dan BUMN dan lain sebagainya.
Lebih lanjut Erman Rajagukguk[13] menjelaskan tentang kapan suatu perkumpulan dapat disebut sebagai suatu badan hukum. Suatu perkumpulan dapat disebut sebagai suatu badan hukum adalah apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat dimaksud dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu:
1.      Syarat-syarat menurut doktrin, yaitu:
Menurut Meyers, sesuatu baru dapat dikatakan badan hukum jika terpenuhi 4 (empat) unsur, yaitu:
a.       Adanya kekayaan perkumpulan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya.
b.      Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum, dan kepentingan yang dilindungi itu harus bukan kepentingan satu orang atau beberapa orang saja.
c.       Kepentingan tersebut harus untuk jangka waktu yang panjang.
d.      Harus ada kekayaan yang terpisah tidak saja untuk menjaga kepentingan-kepentingan anggotanya, melainkan juga kepentingan-kepentingan tertentu yang terpisah dari kepentingan-kepentingan anggota-anggotanya.
Paham lain menambahkan, disamping 4 (empat) unsur tersebut di atas, yaitu adanya organisasi yang teratur, badan hukum sebagai subjek hukum merupakan kesatuan sendiri dengan organ-organnya melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Tentang tata cara bagaimana organ badan hukum yang terdiri dari manusia-manusia itu bertindak, dipilih, diganti dan sebagainya, ditentukan oleh Anggaran Dasar dan peraturan-peraturan lainnya.
2.      Syarat-syarat menurut peraturan perundang-undangan, yaitu:
a.       Dinyatakan dengan tegas bahwa suatu organisasi mempunyai status badan hukum, misalnya Perseroan Terbatas (PT) adalah suatu badan hukum. Undang-undang juga mengatakan bahwa Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah merupakan dan berstatus sebagai suatu badan hukum, dan lain sebagainya.
b.      Tidak dinyatakan secara tegas. Namun dapat ditarik kesimpulan dari peraturan yang bersangkutan, bahwa badan itu adalah badan hukum, misalnya suatu perkumpulan untuk dapat diakui sebagai badan hukum harus mendapat pengakuan dari Departemen Kehakiman dan HAM atau oleh pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman HAM.
3.      Syarat-syarat menurut kebiasan dan Yurisprudensi (keputusan-keputusan pengadilan).
Pertumbuhan korporasi di Indonesia (terutama dalam pengertian peraturan perundang-undangan tersebut di atas) semakin berkembang dengan pesat, baik dalam jumlahnya maupun dalam wujud macam bidang usaha yang dikelolanya. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan dan pertumbuhan industri yang bergerak diberbagai bidang seperti pertanian, kehutanan, makanan, pharmasi, perbankan, elektronika, otomotif, perumahan, konstruksi, transportasi, hiburan, dan masih banyak lagi. Setiap hari kita dibanjiri dengan produk-produk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga untuk “investasi”. Hampir seluruh kebutuhan kita seperti diuraikan di atas, dapat dilayani oleh korporasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sejak dalam kandungan hingga ke liang kubur kita di bawah kekuasaan korporasi. Untuk penyediaan keperluan semua ini, korporasi menyerap banyak tenaga kerja, sehingga dengan keberadaan korporasi yang sedemikian ini tentunya ikut mengurangi angka pengangguran, meski perlu diingat bahwa dengan munculnya industri maka ribuan orang juga akan kehilangan pekerjaannya. Belum lagi sumbangan yang dihasilkan baik berupa pajak maupun devisa, sehingga korporasi nampak sangat positif. Namun di sisi lain kita juga menyaksikan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh korporasi seperti pencemaran, pengrusakan sumber daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang membahayakan kesehatan pemakainya serta penipuan terhadap konsumen.[14]
Kendatipun korporasi disamping bercorak positif, tapi di lain pihak juga memberikan efek negatif yang sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat, namun pertumbuhan dan peranan korporasi tetap eksis dan semakin membesar sehingga menjadikan masyarakat yang konsumtif semakin tergantung pada keberadaan korporasi tersebut. korporasi tumbuh bagai raksasa yang mengangkangi banyak segi kehidupan masyarakat, sehingga mempunyai konsekuensi terhadap keberadaan korporasi secara ekonomi, politik dan kekuasaan semakin menguat.[15]
C.       Kejahatan
Memberi definisi yang seragam memang sulit didapat dalam Ilmu Pengetahuan Sosial, oleh karena setiap sarjana mempunyai pendapat masing-masing. Demikian pula halnya dengan masalah pendefinisian tentang apa itu kejahatan.
Penjelasan mengenai perilaku kriminal (kejahatan) menurut I. S. Susanto[16] tidaklah berdiri sendiri atau berbeda dari penjelasan mengenai perilaku kriminal. Secara umum usaha untuk memformulasikan teori-teori tentang perilaku kriminal telah dilakukan melalui ilmu-ilmu lain, seperti biologi, kedokteran, psikiatri, psikologi, psikologi sosial dan sosiologi. Namun suatu teori hanya dapat dipandang dan dipahami melalui kerangka acuan intelektual dan kultural yang melatarbelakanginya.
Meskipun demikian perlu dicatat, bahwa dari hasil usaha yang selama ini dilakukan harus diakui bahwa kita masih saja belum dapat memahami sepenuhnya perilaku manusia. Tidak ada konsep-konsep teoretis yang dapat menjelaskan kompleksitas dan secara penuh dari perilaku manusia.
Kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang sudah terlampau tua usianya dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan pertumbuhan penduduk, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh J. E. Sahetapy[17]
“bahwa kejahatan erat hubungannya dan menjadi bagian dari hasil budaya itu sendiri, ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya”.
Permasalahan tentang apa yang dinamakan kejahatan (dalam pengertian konvensional) adalah setua usia peradaban manusia itu sendiri, yaitu bergantung pada persepsi dan keyakinan, dapatlah dikatakan berbeda dengan paham dan istilah theologia Adam dan Hawa sudah melakukan apa yang dinamakan kejahatan, karena mereka telah melanggar perintah Tuhan, yaitu dengan memakan buah yang sebelumnya telah dilarang untuk didekati dan apalagi sampai memakannya. Terlepas dari persepsi dan keyakinan, bahwa perbuatan mereka adalah merupakan dosa, jadi (mungkin) bukan kejahatan jika mengacu pada konteks peraturan perudang-undangan. Namun kejahatan, seperti kejahatan penganiayaan dan pembunuhan yang dikenal sekarang dalam rumusan peraturan perundang-undangan pada mula pertama, seperti diuraikan dalam Al Qur’an, telah dilakukan oleh Qabil dengan melakukan kejahatan pembunuhannya terhadap adiknya, Habil.
Demikianlah apa yang dapat dinamakan kejahatan dalam bentuk primordial, kini masih selalu menampakkan diri dalam keadaan segar bugar secara mondial. Kejahatan, apakah itu dalam bentuk pembunuhan, makar, pencurian, penipuan, pemerasan, penggelapan, perkosaan, aborsi ataupun dengan penamaan baru seperti korupsi, pembajakan pesawat udara, dan subversi, terorisme, setiap orang dapat menyaksikan akibatnya secara riil dan kongkrit; setiap orang dapat merasakan dan mengalaminya dan bahkan dapat pula melakukannya sendiri.
Persepsi tentang apa itu yang dinamakan kejahatan, menurut J. E. Sahetapy,[18] tidak dapat tidak pasti akan merupakan bahan debat yang kontroversial. Seperti juga apa yang dinamakan cantik atau kecantikan, bisa menimbulkan, bukan saja suatu perdebatan, bahkan permasalahan itu dalam praktek dapat juga menimbulkan keretakan rumah tangga. Bukankah seperti dikatakan: “Beauty is the eye of the beholder”, kecantikan seseorang ada dimata anda sendiri tidak atau belum tentu dimata orang lain.
Apa yang diuraikan di atas adalah merupakan gejala sosial yang disebut kejahatan dengan pelaku kongkrit dengan akibat-akibatnya pun bersifat riil, jelas dan tertentu. Akan tetapi konstruksi yuridis akan menjadi lain dan malah sekarang belum memperoleh perumusan yang pas (?) untuk menjaring pelaku kejahatan yang justru abstrak dan kompleks sifatnya, tetapi mempunyai dampak dan akibat yang riil, dan bahkan jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan konvensional, inilah seperti yang sudah disinggung pada awal tulisan yang disebut dengan kejahatan korporasi.
Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka pemahaman tentang (causa) kejahatan dalam konteks kekinian sudah bukan pada tempatnya lagi untuk menggunakan logika-logika atau teori-teori Kriminologi klasik, oleh karena itu aliran pemikiran kriminologi ini menurut I. S. Susanto[19] adalah mendasarkan pada pandangan bahwa inteligensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok. Intelegensi membuat manusia mampu mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti dia adalah penguasa dari nasibnya, pemimpin dari jiwanya, makhluk yang mampu memahami dirinya dan bertindak untuk mencapai kepentingan dan kehendakanya. Ini merupakan kerangka pemikiran dari semua pemikiran klasik seperti dalam filsafat, psikologi, politik, hukum dan ekonomi. dalam konsep yang sedemikian maka masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang dikehendaki. Kunci kemajuan menurut pemikiran ini adalah kemampuan, kecerdasan atau akal yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu mengontrol nasibnya sendiri baik sebagai seorang individu maupun sebagai bagian masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan di dalam kerangka pemikiran ini, lazimnya kejahatan dan penjahat dilihat semata-mata dari sudut batasan undang-undang. Kejahatan didefinisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang pidana; dan penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan. Kejahatan dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari individu dalam menilai untung ruginya melakukan kejahatan.
Sekarang, zaman sudah semakin berkembang dan kehidupan masyarakat sudah sedemikian kompleksnya, oleh karena itu pemahaman tentang suatu kejahatanpun juga harus bergeser dari pandangan lama (klasik) tersebut. Tidak dapat dibayangkan bagaimana mungkin konsep dengan kaca mata klasik digunakan untuk memotret terhadap gejala-gejala yang timbul dan terjadi di dalam kehidupan masyarakat yang sudah semakin canggih dan modern ini. Apalagi untuk memotret pelaku kejahatan yang sekarang berkembang sehingga meliputi bukan hanya dalam wujud manusia dalam arti bukan lagi kejahatan konvensional, sekarang sudah bergeser, disamping dilakukan oleh subjek hukum manusia, namun juga dapat dilakukan oleh pelaku yang disamakan dengan manusia yaitu korporasi. Dengan demikian tentu saja kaca mata lama sudah tidak mengena pada sasaran lagi jika tetap bersikukuh untuk digunakan pada masa sekarang. Maka mau tidak mau fokus kajian kriminologi harus mengembangkan diri yaitu lewat telaah kritis terhadap berbagai bentuk fenomena dalam kehidupan masyarakat yang serba modern.
Saat ini, kejahatan yang sangat meresahkan dan merugikan serta membahayakan kehidupan masyarakat adalah kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Memahami korporasi dengan segala proses kerjanya seluruh komponen-komponen yang ada di dalamnya, adalah jauh lebih sulit dari pada memahami kejahatan dengan manusia sebagai pelakunya, baik secara tunggal maupun yang terdiri dari beberapa orang pelaku, baik pemahaman dalam artian teoretis dan lebih-lebih lagi pemahaman untuk keperluan praktis.
D.       Kejahatan Korporasi
Adalah merupakan realitas bahwa korporasi semakin memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang perekonomian. Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, sudah bergeser. Keberadaan korporasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti dikatakan oleh I. S. Susanto,[20] telah memberikan sumbangan yang besar baik berupa pajak maupun devisa, sehingga korporasi nampak sangat positif. Namun di sisi lain kita juga menyaksikan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh korporasi seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang membahayakan kesehatan pemakainya serta penipuan terhadap konsumen. Diantara perilaku-perilaku seperti inilah yang kemudian oleh pakar disebut sebagai kejahatan atau tindak pidana korporasi.
Tugas kriminologi dalam konteks yang demikian itu seperti yang diutarakan oleh I. S. Susanto[21] adalah menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi ilmiah terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial, dan kultur. Oleh karena kriminologi positivis dalam bekerjanya menghadapi kesulitan untuk menggunakan batasan undang-undang, sebab undang-undang seringkali membedakan perbuatan legal dan ilegal atas dasar batas-batas yang sangat tajam (“teknis”) yang tidak ada hubungannya dengan ide sebab-sebab sehingga cendrung memberikan berbagai “batasan alamiah” terhadap kejahatan, yang lebih diarahkan pada ciri-ciri perilaku itu sendiri daripada perilaku yang didefinisikan oleh peraturan perundang-undangan pidana. Misalnya Mannheim membela pandangan bahwa kriminologi harus mempelajari seluruh perbuatan anti sosial, baik yang menurut undang-undang dinyatakan sebagai kejahatan maupun yang tidak dinyatakan. Sementara Sutherland dalam studinya terhadap kejahatan White Collar Criminality (WCC) menganggap kejahatan sebagai perbuatan yang merugikan masyarakat, baik yang diatur dalam undang-undang pidana maupun perdata, administrasi dan perundang-undangan yang lain. Sedangkan Schwendingers memandang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Dalam perkembangan lebih lanjut, pandangan terhadap (sebab) kejahatan mengalami pergeseran. Menurut kriminologi kritis maka tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Maka oleh karena itu, tugas kriminologi kritis adalah menganalisa proses-proses bagaimana cap jahat itu diterapkan terhadap tindakan tertentu dan orang-orang tertentu. Ini mengandung arti, bahwa untuk memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang yakni dijadikannya perbuatan tertentu sebagai tindak pidana maupun dalam bekerjanya hukum yakni proses-proses yang menjadikan orang atau orang-orang tertentu sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan proses bekerjanya hukum adalah bagaimana aparat penengak hukum menyikapi suatu perilaku tertentu dalam konteks kehidupan masyarakat.
Namun yang jelas bahwa saat ini belum begitu banyak masyarakat yang mengetahui termasuk aparat penengak hukum, oleh karena terpaku pada pandangan yang sempit dalam memandang kejahatan, yaitu hanya bersifat yuridis formal bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang serius, bahkan lebih serius ketimbang kejahatan perampokan dan penipuan. Hal ini disebabkan oleh karena dalam kejahatan perampokan dan penipuan itu, korban yang terkena hanya terbatas pada korban yang berhadapan langsung dengan pelaku, atau dengan kata lain bahwa pelaku yang terkena kejahatan tersebut adalah tertentu dan terbatas sifatnya. Dampak kejahatannya tidak mesti mengambil orang-orang (masyarakat) tertentu sebagai korban.
Kemudian, dalam hal kejahatan perampokan dan penipuan yang menimbulkan kerugian, jumlah kerugian yang diderita oleh korban hanya terbatas dalam jumlah tertentu, sejumlah nilai uang tertentu yang masih dapat diperkirakan. Sedangkan dalam hal kejahatan korporasi yang juga menimbulkan kerugian, akan tetapi jumlah kerugian yang diderita oleh korban tidak terbatas dan tidak dapat dihitung secara pasti. Bahkan dalam kejahatan korporasi banyak hal-hal yang merugikan tanpa dapat disangka dan diduga, seperti polusi udara, pencemaran lingkungan hidup, hasil produk yang membahayakan kesehatan maupun keyakinan agama dan lain-lain.
Lalu apakah korporasi yang demikian itu bisa dipidana ?[22] Atau suatu keraguan yang masih saja muncul yang mempertanyakan: benarkah atau mungkinkah suatu korporasi dapat melakukan kejahatan ? Keraguan dan pertanyaan seperti ini adalah sebagai suatu hal yang wajar muncul ke permukaan, karena alam pikiran yang masih diselimuti oleh sosok yang kongkrit yang selama ini tergambar dalam benak seseorang, dan sekaligus konstruksi yuridis selama ini berkembang hanya merumuskan manusialah yang dapat disebut sebagai subjek hukum dan sekaligus sebagai pelaku kejahatan. Pertanyaan di atas dijawab dengan cara yang sangat sederhana oleh J. E. Sahetapy[23] dengan merumuskan pertanyaan secara analogi, dapatkah suatu korporasi melakukan suatu perbuatan atau suatu tindakan hukum, terlepas dari apakah itu bertentangan atau tidak dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Akan menimbulkan suatu perasaan yang aneh dan secara logika adalah suatu kontradiksi bilamana suatu korporasi dapat melakukan suatu perbuatan atau tindakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tetapi pada pihak lain tidak mungkin suatu korporasi melakukan suatu tindak pidana.
Apa yang diuraikan di atas agaknya sudah cukup jelas, oleh karena memang keberadaan (eksistensi) korporasi sebagai subjek hukum (pidana) itu ditentukan dan didasarkan atas kekuatan peraturan perundang-undangan, suatu karya yang diciptakan oleh hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, sehingga sungguh tidak masuk akal jika korporasi hanya dapat melakukan tindakan yang melulu sesuai dengan aturan undang-undang (hukum) yang berlaku. Manusia sendiri sebagai subjek hukum alamiah (natuurlijke persoon) dalam beberapa hal juga melakukan pelanggaran hukum apalagi badan hukum (korporasi) yang seperti diketahui berorientasi pada profit (laba/keuntungan), maka adalah mustahil dalam aktifitas kegiatannya yang mengutamakan keuntungan itu tidak pernah melakukan pelanggaran hukum.
Namun sebelum beranjak lebih jauh, jika kita sudah sepakat bahwa korporasi benar-benar dapat melakukan tindak pidana atau kejahatan, maka persoalan yang menarik untuk dikedepankan adalah: apakah yang dimaksud dengan kejahatan korporasi itu sesungguhnya ? Atau apakah yang menjadi ruang lingkup kejahatan yang dapat dilakukan oleh suatu korporasi?
Mengutip pendapat Mardjono Reksodiputro[24] yang mengatakan, bhwa tindak pidana korporasi adalah merupakan sebagian dari “White Collar Criminality” (WCC). Istilah WCC dilontarkan di Amerika Serikat dalam tahun 1939 dengan batasan: “suatu pelanggaran hukum pidana oleh seseorang dari kelas sosial ekonomi atas, dalam pelaksanaan kegiatan jabatannya”.
Perdebatan ilmiah yang kemudian timbul, antara lain menyangkut pengertian tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan “Crime Of Corporations” karena dalam rumusan di atas yang dimaksud dengan: “…oleh seseorang … dalam pelaksanaan kegiatan dalam jabatannya” adalah pengurus perusahaan. Meskipun WCC ditujukan kepada pelaku manusia (Natuurlijk person), namun pada akhirnya yang dinggap melakukan perbuatan tercela dan karena itu harus dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah perusahaan atau korporasi tempat manusia yang bersangkutan bekerja. Rumusan pengertian WCC di atas kemudian ditambah dengan unsur “penyalahgunaan kepercayaan” (violation of trust). Yang dimaksud dengan kepercayaan ini adalah yang diberikan oleh masyarakat. Suatu perusahaan dianggap telah menerima kepercayaan masyarakat, untuk melakukan kegiatannya (dalam bidang perekonomian) secara jujur dan bertikad baik. Ini yang dinamakan etika bisnis yang baik. Perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat (misalnya penipuan dan kolusi), telah menyalahgunakan kepercayaan tersebut dan kegiatannya termasuk dalam pengertian WCC.
Atas dasar pemikiran seperti inilah agakanya Marshall B. Clinard[25] mengatakan bahwa, kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah putih, namun ia tampil dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati ke dalam bentuk kejahatan terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga dapat berbentuk korporasi yang merupakan perusahaan keluarga. Namun semuanya masih dalam rangkaian bentuk kejahatan kerah putih.
Kejahatan kerah putih timbul dari pemikiran dan paham ilmuwan sosioeconomic yang berpendapat bahwa secara struktural kejahatan yang dilakukan oleh upper class adalah lebih berbahaya ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh lower class. Maka konsekuensinya adalah, bahwa pemidanaan terhadap kejahatan kerah putih harus dilakukan secara ketat dan tepat, atau dalam pemikiran yang relatif, perlu adanya teori kriminologi yang baru yang membahas kejahatan kerah putih.
Menurut Sutherland, maka kejahatan kerah putih adalah “sebuah perilaku kriminal atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang memiliki keadaan sosio-ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan aktifitas pekerjaannya”. Selanjutnya dijelaskan, bahwa kejahatan kerah putih (WCC) sebagian besar berkaitan dengan kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada. Kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada ini, secara lebih luas dibagi dalam dua bagian atau tipe. Tipe pertama, ialah penyajian atau pengambaran yang keliru, dan yang kedua adalah duplikasi atau perbuatan bermuka dua. Tipe yang pertama berhubungan erat dengan penipuan, pengecohan atau diperbudaknya seseorang. Sedangkan tipe kedua berkaitan secara langsung dengan pengkhianatan kepercayaan maupun penipuan yang secara langsung dilakukan tetapi tidak kentara; tidak terlihat secara kasat mata, yaitu dengan cara mengelabui korbannya. Prinsip yang utama dari tipe yang kedua ini adalah dengan membuat sebuah penampilan yang baik (bonafide) kepada calon korban, menampilkan diri sebagai seorang yang profesional atau bisnismen (usahawan) namun dibalik itu adalah bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyakanya dari calon korban, bagai musang berbulu domba.
Selanjutnya, bahwa kegiatan yang dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana korporasi, yang menimbulkan keresahan luas dalam masyarakat, adalah tindak pidana yang menimbulkan kerugian besar. Kerugian ini tidak saja yang dapat dihitung dengan uang, tetapi juga yang tidak dapat dihitung, yaitu misalnya hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem perekonomian yang berlaku. Semua yang dilakukan dalam konteks ini harus berhubungan dengan kegiatan ekonomi (perekonomian) dan atau berkaitan dengan dunia bisnis.
Terlepas dari apa yang diuraikan di atas, dilain pihak dari literatur-literatur yang ada, dijelaskan adanya dua tipe dari kejahatan korporasi yaitu pertama Occupational Crime dan kedua Corporate Crime. Occupational Crime adalah bentuk perbuatan seseorang sekelompok orang yang berhubungan dengan pekerjaan. Misalnya saja seorang majikan terhadap buruhnya, seorang dokter dengan pekerjaannya, seorang lawyer terhadap kliennya, dan lain-lain. Occupational Crime juga dapat terjadi apabila seseorang melakukan penggelapan (kejahatan) pajak yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Corporate Crime adalah bentuk kejahatan yang berkaitan dengan korporasi. memang agak membingungkan antara keberadaan kejahatan korporasi dengan kejahatan occupational. Namun apabila seseorang melakukan pekerjaannya dalam sebuah korporasi dan melakukan penyimpangan dalam korporasi tersebut, maka itu adalah kejahatan korporasi, namun sebaliknya apabila ia melakukan penyimpangan semata-mata dalam pekerjaannya, maka itu adalah occupationl crime. Dalam konteks ini yang disorot adalah kejahatan yang dilakukan oleh korporasi yakni corporate crime.
Keberadaan korporasi sebagai pelaku bisnis sudah dikenal beberapa abad yang lampau, meski pada mulanya lebih ditekankan pada kerja sama (asosiasi) daripada tujuan untuk pemanfaatan terhadap penyediaan modal (berupa saham) seperti pada umumnya.
Munculnya industri telah mendorong semakin berkembangnya korporasi sebagai badan hukum dan badan ekonomi. Barangkali V. O. C. yang didirikan oleh belanda pada tahun 1602 dapat dipandang sebagai perintis korporasi (bisnis) modern yang dibangun dengan modal (saham) yang tetap.[26]
Namun dalam konteks korporasi sebagai pelaku bisnis dikaitkan dengan kejahatan yang dilakukannya, penulis dalam hal ini mengikuti pendapat Mardjono Reksodiputro[27] yang mengatakan, bahwa tindak pidana korporasi harus dilihat sebagai bagian dari WCC, seperti yang telah diuraikan di atas, adalah dalam rangka untuk membedakannya dari pelanggaran hukum pidana atau ketentuan pidana yang dilakukan oleh perusahaan atau usaha dagang yang berlingkup kegiatan ekonomi atau bisnis dengan skala kecil atau terbatas. Tidak ingin dimasukkan dalam pengertian tindak pidana korporasi dalam rangka tulisan ini, misalnya penipuan atau perbuatan membahayakan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor yang berskala kecil. Permasalahan hukum pidana yang timbul sehubungan dengan pertanggung jawaban dan kesalahan jusrtu ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan berskala kegiatan besar. Dalam kegiatan pembangunan perekonomian kita selama dua dasawarsa yang lalu, yang telah menumbuhkan berbagai perusahan besar, maka hukum, termasuk hukum pidana dituntut untuk turut berkembang agar dapat mengantisipasi penyalahgunaan kemajuan yang telah dicapai itu yang berakibat merugikan masyarakat dan negara.
Permasalahan hukum pidana menghadapi kejahatan korporasi ini adalah justru disebabkan oleh karena perbuatan pidana korporasi itu selalu dilakukan secara rahasia, sukar untuk diketahui dan dideteksi dan bahkan sering kali para korbanpun tidak mengetahui kerugian yang sebenarnya dialaminya. Apa yang biasanya terlihat hanyalah “puncak gunung es” saja. Karena hanya sedikit kasus-kasus tindak pidana korporasi yang diungkapkan untuk diajukan ke pengadilan, maka menuntut pertanggung jawaban korporasi akan memberikan efek pencegahan yang lebih besar ketimbang meminta pertanggung jawaban dari pengurusnya. Tentunya tidak menutup kemungkinan untuk secara bersama juga menuntut orang yang langsung bertanggung jawab atas perbuatan korporasi tersebut.
Keterlambatan kita dalam menghadapi kejahatan korporasi, seperti diuraikan di atas mengutip pendapat I. S. Susanto[28] mengatakan ini tiada lain akibat “kebodohan kita bersama”. Penelitian-penelitian tentang kejahatan korporasi mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat kurang mengenal terhadap kejahatan korporasi atau bahkan seringkali kurang menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Akar ketidaktahuan masyarakat ini antara lain dikarenakan oleh ketidakanampakan kejahatan korporasi yang disebabkan oleh kompleksnya kecanggihan perencanaan dan pelaksanaannya, oleh karena tidak adanya atau lemahnya penegakkan dan pelaksanaan hukum, dan oleh lenturnya sanksi hukum dan sanksi sosial, sehingga gagal dalam menguatkan dan menegakkan kembali sentimen kolektif terhadap ikatan moral.
Namun di lain segi juga menggambarkan bahwa penelitian mengenai kejahatan korporasi termasuk juga di dalamnya penelitian terhadap tindak pidana korupsi, selalu akan membentur tembok bisu yang menakutkan. Ditambah dengan pers yang hanya “hari-hari omong kosong”, maka sukarlah sekali untuk mengungkapkan kejahatan korupsi dan pelaku kejahatan korporasi. Maka oleh sebab itu, benarlah secara kriminologis, bahwa “anjing-anjing tidak pernah saling menggigit”. Anjing besar hanya akan menggigit si pembongkar kebusukan. Dan anjing-anjing kecil hanyalah melolong belaka berhadapan dengan anjing besar. Jadi ungkapan “anjing-anjing besar tidak saling menggigit” dan “hukum pidana ibarat air mengalir ke bawah” perlu ditelaah kembali dalam mengkaji ulang kejahatan korporasi dan korupsi sebagai kejahatan yang termasuk dalam kelompok WCC.[29]
Korporasi seperti diuraikan di atas, mempunyai ruang lingkup yang bersifat komplek baik ditilik dari sudut proses bekerjanya maupun dampak atau akibat yang ditimbulkan yang merugikan masyarkat, sehingga konsekuensinya, penanganan melalui sarana hukum pidana juga harus mengalami pergeseran konstruksi yuridis. Maka dengan demikian apabila kita masih menggunakan pendekatan yang bersifat tradisional (fundamental approach) maka fungsi hukum pidana akan selalu diarahkan terutama untuk mempertahankan dan melindungi nilai-nilai moral. Dalam hal ini kesalahan (guilt) akan selalu merupakan unsur utama dalam syarat pemidanaan dan biasanya hal ini akan berkaitan erat dengan teori pemidanaan yang bersifat retributif.
Dalam perkembangan kemudian, menurut Muladi[30] yang mengatakan bahwa pendekatan yang bersifat tradisional tersebut mulai bergeser kearah pendekatan utilitarian (utilitarian approach) dan dalam hal yang terakhir ini hukum pidana dan sanksi pidana dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana yang oleh masyarakat dapat digunakan untuk melindungi dirinya dari perilaku yang dapat membahyakan masyarakat tersebut. Kegunaan sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan kondisi yang lebih baik. Apabila pandangan fundamentalis menitikberatkan pada ancaman terhadap perasaan moral masyarakat sebagai alasan pembenar terhadap pengguanaan sanksi pidana, maka pandangan uitilitarian melihat public order sebagai sarana perlindungan.
Dalam proses modernisasi dan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat, muncul perkembangan baru dalam kaitannya dengan ruang lingkup dan fungsi hukum pidana dan sanksi pidana. Hukum pidana dalam hal ini dijadikan/digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab negara dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Sanksi pidana antara lain digunakan secara maksimal untuk mendukung norma hukum administrtif dalam berbagai hal. Inilah yang dinamakan dengan administrative penal law yang termasuk dalam ruang lingkup public welfare offenses.
Dalam hal tindak pidana semacam ini, pemidanaan dilakukan atas dasar tingkat kesalahan subyektif, dan dalam konteks ini muncul bentuk pertanggug jawaban dalam hukum pidana yang disebut strict (absolut) liability yang meninggalkan asas mensrea, sebagai refleksi kecenderungan untuk menjaga keseimbangan kepentingan sosial.
E.       Kesimpulan
Kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang besar dan sangat berbahaya sekaligus merugikan kehidupan masyarakat, kendatipun di pihak lain ia juga memberi kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat dan negara. Dikatakan “besar”, oleh karena kompleksnya komponen-komponen yang bekerja dalam satu kesatuan korporasi, sehingga metode pendekatan yang dilakukan terhadap korporasi tidak bisa lagi dengan menggunakan metode pendekatan tradisional yang selama ini berlaku dan dikenal dengan metode pendekatan terhadap kejahatan konvensional, melainkan harus disesuaikan dengan kecanggihan dari korporasi itu sendiri, demikian pula dengan masalah yang berkenaan dengan konstruksi yuridisnya juga harus bergeser dari asas-asas yang tradisional kearah yang lebih dapat menampung bagi kepentingan masyarakat luas, yaitu dalam rangka memberikan perlindungan terhadap masyarakat.
Kejahatan terorganisir, yang dalam literatur mendapat tempat dalam klasifikasi tersendiri, tapi sebenarnya dalam pengertian yang lebih luas adalah merupakan bagian dari kejahatan korporasi, oleh karena seperti dikatakan oleh I. S. Susanto[31] bahwa korporasi adalah suatu organisasi, suatu bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi atau bisnis, maka pertama-tama kita harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang bersifat organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks dan harapan-harapan diantara dewan direksi, eksekutif dan manejer disuatu pihak dan diantara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang pada pihak lain.
Kendatipun demikian, tidak berarti lalu kejahatan “warungan” tidak mendapat perhatian lagi, akan tetapi harus terdapat pemikiran yang proporsionalitas dalam penanganan, sehingga tidak memberi kesan adanya ketidakadilan penanganan. Artinya, kejahatan yang begitu membahayakan dan merugikan masyarakat luas yang ditimbulkan oleh korporasi, namun tidak mendapat penanganan sebagaimana mestinya, tapi dilain pihak, seperti yang selama ini terjadi, kejahatan “warungan” justru mendapat perhatian secara serius dan sungguh-sungguh.

Dari apa yang diuraikan di atas adalah merupakan tantangan dan sekaligus menjadi arah bagi pengembangan kriminologi dan Ilmu Hukum Pidana Indonesia di masa mendatang.


Daftar Rujukan
Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003.
Chidir Ali. Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1999.
Erman Rajagukguk. Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum. Makalah disampaikan pada Mitra Management Centre, Kanindo Plaza Lt. 5 Jl. Gatot Subroto Kav. 23 Jakarta Selatan 1989.
H. Setiyono. Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang: Averroes Press, 2002.
I. S. Susanto. Kecenderungan-kecenderungan dalam Ancangan Kriminologis VI “NATIONAL TRENDS IN CRIME”. Diselenggarakan atas kerja sama FH UNDIP, ASPEHUPIKI Dan Program Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Semarang, 16-18 September 1991.
______. Aliran Pemikiran Dalam Kriminologi Dan Pengaruhnya Terhadap Orientasi Studi Kejahatan. Makalah disampaikan pada penataran Nasionl Hukum Pidana dan Kriminologi pada tanggal 8-23 November 1993.
______. Kejahatan Korporasi. Semarang Badan Penerbit Universitas Diponegoro 1995 cetakan I.
J. E. Sahetapy. Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologi. Bandung: Alumni 1981.
______. Pisau Analisa Kriminologi, Pidato Pengukuhan Diucapkan Pada Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Mata Pelajaran Kriminologi pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya pada tanggal 30 Juli 1983.
______. Kejahatan Korporasi Di Indonesia Suatu Pendekatan Intereksionistis. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi Semarang 23- 24 November 1989.
Mardjono Reksodiputro. Tindak pidana korporasi dan Pertanggungjawabannya, Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan Di Indonesia. Pidato Dies Natalis Ke47 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Juni 1993.
______. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (D/H) Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Jakarta 1984.
Marshall B. Clinard, Peter C. Yeager. Korporasi dan Perilaku Illegal (Hasil Saduran Bebas dari Penulis Sendiri).
Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991.
Muladi. Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi Semarang 23-24 November 1989.
N. H. T. Siahaan. Money Laundering, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Rudhi Prasetya. Perkembangan Korporasi Dalam Proses Modernisasi Dan Penyimpangan-Penyimpangannya, Makalah disampaikan pada seminar nasional “Kejahatan Korporasi” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNDIP di Semarang pada tanggal 23-24 Nopember 1989.
Soedjono Dirdjosisworo. Anatomi Kejahatan Di Indonesia (Gelagat dan Proyeksi Antisipasinya Pada Awal Abad Ke 21), Jakarta: PT Granesia, 1996.


[1] Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru 
[2] Sebagai bahan perbandingan berkaitan dengan kejahatan korporasi ini, baca lebih lanjut, H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang: Averroes Press, 2002 !
[3] Pertanggungjawaban Korporasi, http://www.wikimediaindonesia, diakses terakhir tanggal 3 Februari 2010.
[4] Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya http://www.google.com,diakses terakhir tanggal 5 Februari 2010.
[5] Tentang Money Laundering ini, baca: N. H. T. Siahaan, Money Laundering, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002; dan Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 159 dan seterusnya !
[6] Baca lebih lanjut, Soedjono Dirdjosisworo, Anatomi Kejahatan Di Indonesia (Gelagat dan Proyeksi Antisipasinya Pada Awal Abad Ke 21), Jakarta: PT Granesia, 1996
[7] Rudhi Prasetya, Perkembangan Korporasi Dalam Proses Modernisasi Dan Penyimpangan-Penyimpangannya, Makalah disampaikan pada seminar nasional”Kejahatan Korporasi”yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNDIP di Semarang pada tanggal 23-24 Nopember 1989.
[8] Erman Rajaguguk, Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum, Jakarta: Mitra Management Centre, tanpa tahun terbit, hal. 2
[9] Tentang Badan Hukum ini, baca lebih lanjut, Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1999 !
[10] Rudhi Prasetya, Op. Cit., hal. 3
[11] Tentang masalah pertanggungjawaban korporasi ini baca juga lebih lanjut, Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 223 et seq. !
[12] Erman Rajaguguk, Op. Cit., hal. 2
[13] Ibid., hal. 4.
[14] I. S. Susanto, Kriminologi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hal. 1
[15] Marshall B. Clinard, Peter C, Yeager. Korporasi dan Perilaku Illegal, 1980, hal. 3 (Hasil Saduran Bebas dari Penulis Sendiri).
[16] I. S. Susanto, Aliran Pemikiran Dalam Kriminologi Dan Pengaruhnya Terhadap Orientasi Studi Kejahatan. Makalah disampaikan pada Penataran Nasionl Hukum Pidana dan Kriminologi pada tanggal 8-23 November 1993.
[17] J. E. Sahetapy, Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologi. Bandung: Alumni 1981, hal. 91.
[18] J. E. Sahetapy, Pisau Analisa Kriminologi (Pidato pengukuhan diucapkan pada penerimaan jabatan guru besar dalam mata pelajaran Kriminologi pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya pada tanggal 30 Juli 1983), Bandung: Armico,1984 hal. 9.
[19] I. S. Susanto, 1993 Op. Cit., hal. 12
[20] I. S. Susanto, Kejahatan Korporasi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hal. 1.
[21] I. S. Susanto, 1993. Op. Cit., hal. 14.
[22] Masalah ini, baca lebih lanjut, Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991 !
[23] J. E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi Di Indonesia Suatu Pendekatan Interaksionistis. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional”Kejahatan Korporasi”yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNDIP, Semarang 23- 24 November 1989.
[24] Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h) Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994, hal. 103.
[25] Marshall B. Clinard, Op. Cit., hal. 16.
[26] I. S. Susanto, 1995. Op. Cit., hal. 15.
[27] Mardjono Reksodiputro, 1994. Op. Cit., hal. 105.
[28] I. S. Susanto, 1995. Op. Cit., hal. 1.
[29] J. E. Sahetapy, 1989. Op. Cit., hal. 45.
[30] Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional”Kejahatan Korporasi”Semarang 23-24 November 1989. hal. 4.
[31] I. S. Susanto, 1995. Op. Cit., hal. 27.