Asas Praduga Tak Bersalah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”).
Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sedangkan dalam UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Salah satu buku yang membahas mengenai asas praduga tak bersalah adalah “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan” yang ditulis M. Yahya Harahap, S.H. Dalam buku tersebut, mengenai penerapan asas praduga tak bersalah, Yahya Harahap menulis sebagai berikut (hal. 34):
“Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”
Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sedangkan dalam UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Salah satu buku yang membahas mengenai asas praduga tak bersalah adalah “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan” yang ditulis M. Yahya Harahap, S.H. Dalam buku tersebut, mengenai penerapan asas praduga tak bersalah, Yahya Harahap menulis sebagai berikut (hal. 34):
“Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”
Dasar Hukum Pelaksanaan Rekonstruksi oleh Penyidik
1. Dasar hukum untuk melakukan rekonstruksi adalah Surat
Keputusan Kapolri No. Pol.Skep/1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan
Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, khususnya dalam
bagian Buku Petunjuk Pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana
(“Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana”). Bab III tentang Pelaksanaan, angka 8.3.d Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana menyebutkan bahwa:
“Metode pemeriksaan dapat menggunakan teknik:
(1) interview,
(2) interogasi,
(3) konfrontasi,
(4) rekonstruksi.”
Jadi, rekonstruksi merupakan salah satu teknik dalam
metode pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik dalam proses penyidikan
tindak pidana. Tujuan dari pemeriksaan sendiri dapat disimpulkan dari
pengaturan Bab III angka 8.3.a Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana yang menyebutkan:
“Pemeriksaan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga
kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak
pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan di dalam Berita Acara Pemeriksaan.”
Sedangkan, asas praduga tak bersalah dijumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Mengenai penerapan asas praduga tak bersalah, M. Yahya Harahap dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan” (hlm..134) menjelaskan,
“Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia
yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan
objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana
yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan
tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus
dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai
diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.
Sepanjang rekonstruksi
dilakukan dengan menghormati hak-hak tersangka sebagai seorang manusia
yang memiliki hakikat dan martabat, asas praduga tak bersalah tidak
dilanggar.
Perkembangan Asas Praduga Tak Bersalah
Asas
hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke-11 dikenal di dalam sistem
hukum Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648).
Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik
–liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat
ini.
Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs)
berdasarkan sistem hukum Common Law (sistem adversarial/ sistem
kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan
bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due
process of law).
Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process of law.
Friedman(1994) menegaskan, prinsip ”due process” yang telah melembaga
dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau,
kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial. Di
sektor kesehatan dan ketenagakerjaan, jika distribusi hak rakyat atau
buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut
sebagai melanggar prinsip ”due process of law”.
Bahkan,
prinsip tersebut telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat)
Amerika”, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan
masyarakatnya dan perkembangan internasional yang terjadi sejak
pertengahan abad 19 sampai saat ini. Konsekuensi logis dari asas praduga
tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh
hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan
dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan (the right to remain silent).
Di
dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak
seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika
penyidik memaksa keterangan dari tersangka/terdakwa, maka
tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada
”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari
tersangka/terdakwa.
Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan
Prof.Andi Hamzah telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris”
atau semacam ”examining judges” di dalam sistem hukum acara pidana
Belanda, yang bertugas mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang (abuse of power)
penyidik dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula, dimasukkan ketentuan
di mana penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi
terhadap proses penyidikan oleh penyidik kepolisian. Akan tetapi, di
dalam sistem hukum acara pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib
meminta pertimbangan ”examining judges” untuk memeriksa apakah kasus
pidana tertentu yang bersifat berat, sudah memenuhi persyaratan bukti
yang kuat untuk diajukan ke muka persidangan.Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan
pidana yang berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan
sistem pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam
sistem hukum acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu
sistem organisasi kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah
pengawasan penuntut umum. Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000),
kurang lebih sama dengan sistem hukum acara pidana di Belanda.
Menilik
perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di
atas, tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan
perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif(masyarakat),
sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai suatu kolektivitas,
telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.
Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah
Hak
seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan
pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah)
sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil
maupun sisi materiel. Karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights”
seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan
hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan
Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas
ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang
KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004) dan Penjelasan Umum KUHAP, adalah: ”Setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan
di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Rumusan
kalimat di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas
praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 paragraf 2 Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan
kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.
Kovenan
tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai
dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga
masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas
toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan
seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering
ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”,
yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang
sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan
rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Untuk
mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi
realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas
lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap
tidak bersalah”, yang meliputi delapan hak, yaitu hak untuk
diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan, hak untuk disediakan
waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi
dengan penasehat hukum; hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda; hak untuk
diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan; hak untuk didampingi
penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu; hak untuk diperiksa
dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan; hak
untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan; hak untuk tidak memberikan
keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui
perbuatannya.
Sejalan
dengan Kovenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan,
selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh
hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama
itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah telah selesai
dipenuhi. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah
yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan
kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan
hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.
Perkembangan tafsir di Belanda dan Perancis
Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”, paradigma yang menjiwai penyusunan
KUHAPerancis (UU tahun 2000, tertanggal 31 Mei) ternyata lebih
progresif dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan
KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981). HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.
Pasal 1. butir II HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The
judicial authorities watches over the investigation and guarantee of
the victim’s rights during the whole of the criminal procedure”. Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis menegaskan: ”Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established.” (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).
Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tersebut, sebagaimana disebutkan:
“Measures of constraint that this person can be subjected to are taken
by a decision, or under the effective control, of the judicial
authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure,
proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack
the dignity of the person”.
Perbedaan
perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis
dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara
substansi memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang
yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi
masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi (Braithwaite, 1989).
Berkaitan dengan pemaknaan tersebut, sering timbul diskursus mengenai
sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi
sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa
maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang
merasa diperlakukan tidak adil.
Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka konsep tersebut menganut paradigma individualistik yang melindungi hak dan kepentingan pelaku kejahatan (offender-based protection) dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan itu.
Konsep
praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tersebut tidak menempatkan
kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum di atas, sehingga
memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”.
Sesungguhnya,
Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam
pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Begitu pula, di Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa,
setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu –masyarakat demokratis.
Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip ”due process of law”,
yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggris dan
dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat
(Anglo-saxon), justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia.
Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip itu mengandung sifat ’contradictio in terminis” karena selain mengandung prinsip ”fair and impartial trial” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , ”unfair dan partial trial”
terhadap pihak korban kejahatan. Prinsip ”praduga tak bersalah”
sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama
menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban
fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus
kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak
pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan
transnasional.
Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah
Merujuk
kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru
konsep HAM Indonesia tidak murni menganut paham individualistik
melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan
setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan
harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata
demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak individu. Dalam
konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia,
terminologi ”aku” dan ”engaku”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan
Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan
kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.
Analisis
tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap
landasan pemikiran asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”due process of law”
di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis
hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip ”praduga tak bersalah”
tersebut, maka sepatutnya asas ”praduga tak
bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia,
ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma
mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari
paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht” kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”.
Tafsir
terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang sejalan dengan perubahan
paradigma tersebut di atas adalah, negara wajib memberikan dan
memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu
tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses
penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat
pertama dan pada tingkat banding.
Praduga
tersebut selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana
sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses
pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa
dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga
kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di
persidangan dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah
memunculkan keyakinan hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya
korban baik kerugian materiel maupun imateriel. Status terdakwa yang
dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan
pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa
mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.
Asas praduga tak bersalah seharusnya berbunyi: ”seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan sebaliknya”
Penegasan
asas praduga tak bersalah ini juga terkait dengan pendapat Cooter dan
Ulen, yang membandingkan bagaimana sistem hukum ”Common Law” dengan
sistem hukum ”Civil Law” menempatkan standar pembuktian. Dikatakannya
bahwa, sistem hukum yang pertama menempatkan standar yang tinggi untuk
pembuktian, sedangkan sistem hukum kedua tampak moderat dalam hal
tersebut.
Standar
yang tinggi dimaksud tampak jelas dari pandangan, menuntut seseorang
yang tidak bersalah sangat buruk tampaknya dibandingkan dengan kegagalan
menuntut seseorang yang bersalah; atau dengan adagium yang terkenal,
”lebih baik seratus orang yang bersalah dibebaskan dari pada seseorang
yang tidak bersalah dihukum”. Standar tinggi sistem pembuktian tersebut
justru untuk menempatkan keseimbangan bagi kepentingan
tersangka/terdakwa.
Sebaliknya
sistem hukum kedua (Civil Law), berpandangan prinsipnya
tersangka/terdakwa sudah dinyatakan bersalah kecuali dibuktikan
sebaliknya. Rasio dari pandangan tersebut adalah negara (jaksa penuntut
umum) tidak akan membawa seseorang tersangka/terdakwa ke hadapan
pengadilan kecuali telah yakin akan kesalahan mereka. Secara lebih jelas, dikatakannya, ”The
rationale for the presumption of guilt is that the state would not
bring charges unless it were certain of the defendant’s guilt. In this
approach, the prosecutor helps strike the balance between convicting the
innocent and failing to convict the guilty. Selanjutnya ditegaskan pula
bahwa,”the Court acknowledge its confidence in the prosecutor by
proceeding under the a presumption that the prosecutor was right unless
the defendant prove otherwise”.
Berangkat
dari pendapat dan pandangan kedua sistem hukum tersebut di atas, maka
rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah yang disarankan penulis
di atas masuk akal, proporsional, serta sesuai dengan prinsip keadilan
yang bersifat distributif dan komutatif serta sejalan dengan
perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini. Di
Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan, selain kepada
tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi
terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. UU tersebut sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.
Perubahan
kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan,
yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie”
(transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan
itu, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah
seseorang tersangka kejahatan serius didakwa di muka sidang pengadilan,
kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6 (enam) tahun.
Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah
membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan tersangka
atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi
objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tersebut kepada
negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian
yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.
Perubahan
konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada
keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi
pihak yang dirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh
penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan. Selain itu
juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan
restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU
Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Menurut Pasal 66 KUHAP, “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.” Yahya berkomentar mengenai pasal ini (hlm. 42) sebagai berikut:
“Penuntut umumlah yang dibebani
kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa. Atau penyidiklah yang
berkewajiban bertugas mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan
membuktikan kesalahan tersangka.”
Karena tersangka tidak dibebani kewajiban untuk
membuktikan kesalahan, ia dapat menolak untuk melakukan rekonstruksi.
Hal ini juga sejalan dengan pengaturan Bab III angka 8.3.e.6 Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan:
“Pada waktu dilakukan pemeriksaan, dilarang menggunakan kekerasan atau penekanan dalam bentuk apapun dalam pemeriksaan.”
Jika tersangka menolak untuk melakukan rekonstruksi,
penyidik dilarang untuk menggunakan kekerasan atau penekanan dalam
bentuk apapun untuk memaksa tersangka melakukannya.
Hal ini juga berhubungan dengan asas non-self incrimination, yaitu
seseorang tersangka/terdakwa berhak untuk tidak memberikan keterangan
(termasuk dalam bentuk rekonstruksi) yang akan memberatkan/merugikan
dirinya di muka persidangan.
Hak untuk Mungkir
Dalam pemeriksaan, terdakwa berhak untuk memberi keterangan dengan bebas. Hal tersebut, menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan”
berarti, terdakwa berhak untuk memberi keterangan yang dianggap
terdakwa paling menguntungkan baginya. Jadi, seorang terdakwa berhak
untuk membantah dalil-dalil yang diajukan dalam dakwaan dan memberikan
keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Dalam teori hukum pidana,
asas ini disebut non self incrimination, yaitu seorang terdakwa berhak untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan.
Hak di atas juga diatur dalam Pasal 175 KUHAP.
Pasal ini menyatakan, jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak
untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang
menganjurkan terdakwa untuk menjawab, dan setelah itu pemeriksaan
dilanjutkan. Jadi, terdakwa diperbolehkan untuk tidak menjawab atau
menolak menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Dalam hal ini
terjadi, hakim ketua sidang menganjurkan pada terdakwa agar menjawab.
Tidak ada sanksi bagi terdakwa yang menolak menjawab demikian.
Sebenarnya dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan pidana, seorang hakim dilarang untuk
menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang mengenai
keyakinannya apakah terdakwa bersalah atau tidak. Hal ini diatur dalam pasal 158 KUHAP.
Pada proses peradilan pidana,
seorang terdakwa yang dimintai keterangan tidak disumpah terlebih
dahulu. Adapun yang disumpah sebelum diambil keterangannya adalah saksi
dan ahli. Jadi, apakah seorang terdakwa berbohong atau tidak, tidak ada
pengaruhnya pada sumpah dalam pengadilan, karena ia tidak disumpah
sebelumnya.
Dasar hukum:
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3. Sesuai pengaturan Bab III angka 8.3.d jo. angka 8.3.a Bujuklak Penyidikan Tindak Pidana, hasil
pemeriksaan rekonstruksi dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan
(BAP). Mengenai BAP ini Yahya menjelaskan (hlm. 137), jika suatu BAP
adalah hasil pemerasan, tekanan, ancaman, atau paksa. BAP yang diperoleh
dengan cara seperti ini tidak sah. Cara yang dapat ditempuh untuk
menyatakan keterangan (dan rekonstruksi) itu tidak sah, dengan jalan
mengajukan ke praperadilan atas dasar penyidik telah melakukan cara-cara
pemeriksaan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, dalam arti
pemeriksaan telah dilakukan dengan ancaman kekerasan atau penganiayaan
dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa
terhadap BAP hasil dari rekonstruksi dapat dilakukan upaya praperadilan,
misalnya dalam hal BAP merupakan hasil pemerasan, tekanan, ancaman,
atau paksaan.
No comments:
Post a Comment