Hampir setiap hari kita mendengar adanya berita kasus korupsi di
televisi. Seakan kasus ini sudah menjadi berita “wajib” bagi masyarakat.
Berbagai macam kasus dan model korupsi semakin lama semakin marak saja.
Apakah di negri ini sudah tidak ada orang baik? Rasanya tidak juga.
Hanya saja persentasenya memang lebih sedikit. Melihat kasus korupsi
yang semakin hari semakin bervariasi, maka muncul sebuah penyataan bahwa
hukuman yang pantas bagi korupsi adalah sebuah hukuman mati.
Hukuman mati mungkin bisa jadi alternatif untuk mengatasi korupsi yang begitu parah di Indonesia. Ada aktivis yang berpendapat, para koruptor kelas kakap sudah sepatutnya dihukum mati. Namun, para aktivis HAM menolak hukuman mati terhadap koruptor.
Seorang megakoruptor lebih jahat dari tentara ataupun polisi yang membunuh demonstran. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan sistematis.
Hukuman mati mungkin bisa jadi alternatif untuk mengatasi korupsi yang begitu parah di Indonesia. Ada aktivis yang berpendapat, para koruptor kelas kakap sudah sepatutnya dihukum mati. Namun, para aktivis HAM menolak hukuman mati terhadap koruptor.
Seorang megakoruptor lebih jahat dari tentara ataupun polisi yang membunuh demonstran. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi: meluas dan sistematis.
Pelanggaran HAM di
berbagai tempat meninggalkan dampak meluas dan jejak yang sistematis.
Begitu pula, para koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
telah menghancur perekonomian negara. Buntutnya, masyarakat yang tidak
menikmati malah ikut menanggung derita.para koruptor yang harus dihukum mati adalah para koruptor yang
'merampok' uang negara miliaran rupiah, seperti kasus dana BLBI. Jadi,
bukan kelas teri, seperti karyawan yang mencuri di kantornya.Banyak megakoruptor yang merugikan negara ratusan miliar rupiah akhirnya
divonis bebas. Contohnya, para terdakwa kasus Bank Bali (Djoko S.
Tjandra, Pande Lubis, Syahril Sabirin), BLBI bank Modern (Samadikun
Hartono), Dana BPUI (Sudjiono Timan). Para koruptor itu tetap bisa
bergentayangan bebas, lepas dari jerat hukum.
Namun, para aktivis di
bidang penegakan HAM menentang hukuman mati, termasuk terhadap para
koruptor kakap sekalipun. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati
bertentangan dengan HAM, UUD 1945, dan Pancasila.
Bahkan mereka secara terang-terangan mengusulkan agar
hukuman mati dicabut. Alasannya, penghapusan hukuman mati sudah menjadi
gerakan internasional. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
pada 1966 yang berlaku sejak 1976, antara lain menyebutkan larangan
hukuman mati dan memberikan hak untuk hidup.
Hingga 9 Desember 2002,
tercatat telah 149 negara melakukan ratifikasi terhadap kovenan ini.
Khusus terhadap penghapusan hukuman mati, 49 negara telah pula melakukan
ratifikasi/aksesi terhadap Second Optional Protocol of ICCPR (1990) Aiming of The Abolition of Death Penalty.
Selain itu, hukuman
mati dinilai bertentangan dengan Pancasila sila kedua, "Kemanusian yang
adil dan beradab." Selain itu, hukuman mati juga tidak taat dengan Pasal
28A dan 28 I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun.
Ancaman
hukuman mati lebih banyak kepada alasan pembalasan dendam kepada
penjahat yang telah membunuh dengan sadis. Namun, hukuman mati tidak
akan memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana lainnya. Tidak ada korelasi langsung antara hukuman mati dengan efek jera di
masyarakat. Belum terbukti, negara yang menerapkan hukuman mati, paling sedikit
korupsinya. Tidak ada itu korelasinya. Korelasinya adalah pada
pengawasan dan pertanggungjawaban. Di negeri China setiap tahun, 50 hingga 60 orang dihukum mati di China.
Tapi buktinya, China tetap masuk sebagai negara yang masuk sepuluh besar
paling korupsi di dunia.
Sejak
1999, Cina memang mengkampanyekan pemberantasan kasus-kasus tindak
pidana korupsi. Pada akhir 2000, Cina telah membongkar jaringan
penyelundupan dan korupsi yang melibatkan 100 pejabat Cina di Propinsi
Fujian, Cina Tenggara. Sebanyak 84 orang di antaranya terbukti bersalah
dan 11 orang dihukum mati.
Pada
9 Maret 2001 nasib buruk menimpa Hu Changqing yang dieksekusi mati
hanya 24 jam setelah permohonan kasasinya ditolak oleh MA. Wakil
Gubernur Propinsi Jiangxi ini dihukum mati setelah terbukti bersalah
menerima suap senilai AS$660.000 serta sogokan properti senilai
AS$200.000. Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Hu Changqing kemudian dijadikan semacam shock therapy oleh pemimpin-pemimpin Cina.
Tampaknya, Indonesia belum akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Selain
komitmen pemerintah yang rendah dalam penegakan hukum, aparat penegak
hukum juga masih setengah hati dalam menindak para koruptor.
Belum lagi, masih ada beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati.
Fenomena korupsi yang sepertinya sudah tidak terbendung lagi di
negeri kita ini sudah merugikan masyarakat dengan kerugian yang luar
biasa banyak. Lalu, bagaimana
dengan pendapat anda?Belum lagi, masih ada beberapa kalangan yang menolak adanya hukuman mati.
No comments:
Post a Comment