Friday 10 January 2014

SISTEM ATAU TEORI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

Apabila dikaji lebih jauh makna dari Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia maka pertama kita harus mendefenisikan apa yang dimaksud dengan Sistem kemudian kita juga harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan Pembuktian. Selanjutnya yang ketiga, apa yang dimaksud dengan Hukum Acara Pidana Di Indonesia.
1.        Pengertian System
Menurut The New Webstyer International Dictionary, Sistem Berasal dari Bahasa Yunani yaitu Systema yang berarti sesuatu yang terorganisasi atau Suatu keseluruhan Kompleks. Jadi Sistem mengandung arti terhimpunnya bagian atau komponen yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sistem adalah Perangkat Unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas atau susunan yang teratur dari pandangan, teori dan azas.
Sedangkan Menurut Penulis bahwa Sistem adalah Bagian-bagian yang saling berhubungan didalam satu kesatuan dimana bagian-bagian tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
2.        Pengetian Pembuktian
Kata Dasar dari Pembuktian adalah Bukti, Bukti dapat diartikan sebagai suatu hal yang cukup memperlihatkan kebenaran suatu hal. Jadi Pembuktian adalah suatu tindakan, perbuatan atau kegiatan untuk memberikan bukti.
Selanjutnya kita akan memberikan penjelasan tentang pembuktian apabila ditinjau dari kaca mata Hukum, Pembuktian adalah suatu cara, proses atau perbuatan untuk memberi bukti bahwa seseorang Bersalah atau tidak bersalah dalam suatu peristiwa hukum didalam Proses Peradilan.
Menurut M.Yahya Harahap, Pembuktian adalah Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada si terdakwa.
3.        Pengertian Hukum Acara Pidana  Di Indonesia
Apabila dilihat dari isinya maka Hukum dibedakan menjadi dua, yakni Hukum Materil dan Hukum Formil. Hukum Materil adalah Hukum yang mengatur isi daripada hubungan-hubungan hukum dalam masyarakat. Hubungan-hubungan hukum dalam bidang perdata diatur oleh hukum perdata sedangkan hubungan-hubungan hukum bidang publik diatur oleh hukum publik seperti hukum pidana, dsb.
Hukum Formil adalah Hukum yang mengatur tentang tentang bagaimana caranya mempertahankan dan menegakkan hukum materil. Hukum formil biasa juga disebut dengan hukum acara.
Selanjutnya kita masuk kedalam hukum pidana. Didalam hukum pidana ada juga disebut dengan Hukum Pidana Materil dan ada juga namanya Hukum Pidana Formil.
Hukum Pidana Materil adalah Keseluruhan Kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana dan kepada siapa dapat dijatuhkan pidana  serta hukuman apa yang dapat dijatuhkan kepada yang melakukan tindak pidana tersebut.
Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana adalah Hukum yang mengatur tentang tata cara beracara dalam lingkup hukum pidana. Atau juga dapat diartikan sebagai seperangkat aturan-aturan tentang bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum pidana materil. Lebih jelasnya lagi bahwa hukum pidana formil memuat aturan-aturan tentang bagaimana caranya menerapkan hukum pidana terhadap perkara-perkara pidana. Dalam hukum pidana formil diatur segala sesuatu tentang proses pemeriksaan perkara pidana pada semua tingkatan pemeriksaan di Kepolisian, Di Kejaksaan dan Di Pengadilan.
Berdasarkan tema diatas yakni Hukum Acara Pidana Di Indonesia  maka tentunya kita merujuk kepada Undan-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dimana undang-undang tersebut merupakan hukum positif di Indonesia yang berlaku sejak disahkan pada tahun 1981 sampai dengan adanya perubahan dan/atau penggatian dari pihak yang berwenang dalam hal ini persetujuan eksekutif dan legislatif.  
Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia, sebelum memaparkan penjelasan sistem pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia maka alangkah baiknya kita melihat bagaimana sistem pembuktian pada umumnya.
Bahwa tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari, menemukan dan menggali kebenaran materil (materielle warheid) atau kebenaran yang sesungguh-sungguhnya atau kebenaran hakiki. Dengan demikian dalam hukum acara pidana tidaklah dikenal  adanya kebenaran formal (formeele warheid) yang didasarkan semata-mata ditujukan pada formalitas-formalitas hukum, akan tetapi ternyata usaha mencari kebenaran materil tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang. Mengapa sampai dikatakan demikian, prakteknya memang cukup rumit untuk menemukan kebenaran materil karena hal ini sangat bergantung pada berbagai aspek dan dimensi. Seperti dimensi waktu, dimana suatu peristiwa pada masa lampau atau beberapa bulan yang lalu tidak mungkin dapat diingat seratus persen pada saat sekarang. Makin lama waktu lampau itu maka makin sulit buat para hakim untuk menyatakan kebenaran atas peristiwa peristiwa tersebut oleh karena manusia tidak mampu untuk mengembalikan waktu lampau tersebut.
Dengan pembelajaran tersebut diatas, disinilah hukum acara pidana berperan. Dimana hukum acara pidana  menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati. Agar supaya hakim  bisa mendapatkan keyakinan maka hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi peristiwa-peristiwa yang sudah lampau itu. Dengan pandangan demikian dapatlah disebutkan secara jelas bahwasanya jika hakim telah menetapkan perihal adanya suatu kebenaran maka aspek ini merupakan pembuktian tentang suatu hal. Dan lebih lanjut lagi bahwa pembuktian melalui hukum pembuktian  meliputi beberapa dimensi, seperti :
1.      Penyebutan alat-alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim untuk mendapatkan gambaran dari peristiwa yang sudah lampau.
2.      Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan.
3.      Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.
Selanjutnya dalam rangka menerapkan pembuktian, hakim lalu bertolak pada sistem pembuktian dengan tujuan mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadili. Maka berdasarkan sistem pembuktian pada umumnya dikenal ada tiga teori sistem pembuktian, Yakni :
1.      Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positif Wettelijke Bewijs Theori)
2.      Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim.
3.      Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theori).

Sistem /teori pembuktian formal (formele bewijstheorie) : pembuktiannya hanya berdasarkan pada undang-undang, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat buktti yang di sebut undang-undang  keyakinan hakim tidak di perlukan sama sekali dan dahullu sempat di anut di eropa.
  • Sistem /teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim(conviction intime) : teori pembuktian ini di dasarkan pada keyakinan hati nurani hakim itu sendiri. Sistem ini di anut oleh pengadilan juri di prancis. Menurut Wirdjono Prodjodikoro, sistem ini pernah dianut di Indonesia, yaitu pada Pengadilan Distrik dan Pengadilan Kabupaten. Dalam sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.
  • Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee) : sebagai jalan tengah munculah Teori yang disebut pembuktian yang berdasr keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, dan keyakinan tersebut didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian  disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan –peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan motivasi. Teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya. (vrijebewijstheorie).
Sistem atau Teori Pembuktian ini terpecah menjadi 2 (dua) jurusan Yaitu :
  1. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee).
  2. Teori Pembuktian berdasarkan UU secara negatif (negatief  wettelijk bewijstheorie). dalam sistem atau teori pembuktian ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubble en gronslag) yaitu:  1). Berdasarkan alat bukti yang sah sekurang-kurangnya 2 alat bukti; 2) adanmya keyakinan hakim; yang mana kedua harus terpenuhi. Lihat Pasal 183 KUHAP. Dan Pasal 294 ayat (1) HIR.
Wirdjono Prodjodikoro berpendapat bahwa : sistem pembuktian ini sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan :
  • Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
  • Berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan.
Persamaan keduanya adalah sama berdasarkan keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin  dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah, sedangkan perbedaanya :
  • Bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim. Tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusive) yang logis, yang tidak didasarkan kepada UU, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri.
  • Sedangkan yang kedua perbedaannya adalah, berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh UU, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.
Alat-alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian :
Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah :
  1. Keterangan Saksi;
  2. Keterangan Ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk;
  5. Keterangan Terdakwa.
Jika dibandingkan dengan HIR, maka dalam KUHAP ada penambahan alat bukti baru, yaitu keterangan ahli. Dan juga perubahan alat bukti yaitu “pengakuan terdakwa” yang dengan sendirinya maknanya menjadi lain.
A. Keterangan Saksi :
Syarat-Syarat seorang saksi
pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualiaan menjadi saksi berdasarkan Pasal 186 KUHAP sbb:
  1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
  2. Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yg mempunyai  hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
  3. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan kekecualian untuk memberikesaksian di bawah sumpah ialah :
  1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
  2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. (keterangannya hanya dapat diambil sebagai petunjuk saja)
1.        Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang secara positif (Positif Wettelijke Bewijs Theori)
Berdasarkan teori ini, Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif tergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut limitatif dalam undang-undang. Konkretnya, Undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut  dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Dalam aspek ini hakim terikat pada pepatah kalau alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan undang-undang, hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim berkeyakinan bahwa sebenarnya terdakwa  tidak bersalah. begitupun sebaliknya jika tidak dapat dipenuhi cara mempergunakan alat-alat bukti sebagaimana ditetapkan undang-undang, hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun menurut keyakinannya sebenarnya terdakwa bersalah.
2.        SistemPembuktian Menurut Keyakinan Hakim
Pada sistem  pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, maka hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (Conviction Intime). Dalam perkembangannya lebih lanjut, sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai dua bentuk yaitu Conviction Intime dan Conviction Raisonce. Melalui sistem pembuktian conviction intime maka kesalahan terdakwa bergantung pada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan. Dengan demikian putusan hakim disini tampak timbul nuansa subjektif. .
Penerapan sistem pembuktian Conviction intime mempunyai bias subyektif, yaitu “sistem pembuktian conviction intime menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah. Dalam sistem ini keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan lansung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction intime ini sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat-alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana Yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction intime sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim, sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa, seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini”.
Sedangkan pada sistem pembuktian conviction raisonce pada dasarnya identik dengan sistem conviction intime, lebih lanjut pada sistem pembuktian conviction raisonce keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa akan tetapi penerapan keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan yang jelas dan rasional dalam mengambil keputusan,
3.             Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara negatif  (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie).
Pada prinsipnya sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari Aspek historis ternyata sistem pembuktian menurut undag-undang secara negatif hakikatnya merupakan peramuan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara pofitif (Positif Wettelijke Bewijz Theorie) dan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction Intime/Conviction Raisonce). Dengan peramuan ini maka substansi sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijz Theorie) tentulah melekat adanya anasir-anasir sebagai berikut yaitu :
·                Prosedural  dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana limitatif ditentukan undang-undang dan
·                Terhadap alat-alat bukti tersebut, hakim yakin baik secara materil maupun secara prosedural.
Selanjutnya perpaduan antara sistem pembuktian negatif dan keyakinan Hakim melekat pula adanya unsur-unsur obyektif dan subyektif dalam menentukan terdakwa bersalah atau tidak.
Setelah mendapatkan gambaran tentang bagaimana sistem pembuktian pada umumnya maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah Sistem Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijs Theori) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Yang berbunyi sebagai berikut :
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

No comments:

Post a Comment