UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)
ini telah disahkan oleh DPR beberapa waktu yang lalu untuk menggantikan
UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan saat ini sedang menunggu
proses persetujuan dari Presiden. Harus diakui UU ini merupakan buah
kemajuan dalam advokasi yang dilakukan oleh banyak pihak bagi anak –
anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam UU ini dinyatakan bahwa anak
yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum,
anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi dari
sebuah tindak pidana (Lihat Pasal 1 angka 2 UU SPPA). Meski berbicara
mengenai tiga cabang dari anak yang berhadapan dengan hukum namun secara
umum titik berat UU ini adalah pada anak yang berkonflik dengan hukum
yang artinya anak yang diduga keras menjadi pelaku dari tindak pidana.
Anak dalam posisi sebagai saksi dan/atau korban sendiri diatur dalam Bab
VII pada pasal 89 – 91 dari UU SPPA tersebut. Sungguh disayangkan UU
ini malah tidak menjelaskan secara detail bagaimana posisi anak sebagai
saksi dan/atau korban dalam sebuah tindak pidana, karena mereka juga
rentan dalam menerima kekerasan sepanjang proses peradilan pidana
tersebut
Catatan Pertama: saat diversi hanya dimaknai sebagai kesepakatan
Salah satu kemajuan terpenting dalam UU
SPPA ini sebagaimana diklaim oleh pemerintah dan DPR adalah diakuinya
keadilan restoratif bagi anak – anak yang berkonflik dengan hukum
melalui diversi atau proses pengalihan penyelesaian perkara anak di luar
sistem peradilan pidana. Namun sekali lagi diversi yang dapat dilakukan
dalam kerangka UU SPPA bertujuan untuk mencapai perdamaian antara
korban dan Anak; menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat
untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Oleh karena itu basis diversi dalam UU ini bukanlah kepentingan terbaik
bagi anak namun kesepakatan antara korban dan atau keluarga korban
dengan anak yang berkonflik dengan hukum tersebut. Dan kesepakatan
diversi hanya bisa dilakukan jika perbuatan anak yang berkonflik dengan
hukum tersebut diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;
dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Tidak perlunya kesepakatan dengan korban
pada diversi hanya bisa dilakukan untuk tindak pidana yang berupa
pelanggaran; tindak pidana ringan; tindak pidana tanpa korban; atau
nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.
Sekilas pengaturan ini nampak memadai
namun, apakah ancaman pidana penjara dibawah 7 tahun dan kesepakatan itu
menjadi hal yang sangat penting mengingat banyak kejahatan yang saat
ini diatur dengan ancaman minimum dan maksimum dan bisa jadi juga tanpa
korban. Contoh paling konkret adalah UU No 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dimana paling banyak anak – anak yang terkena tindak pidana
ini dijerat dengan Pasal 111 – Pasal 112 dari UU Narkotika yang
mengancamkan pidana minimum 4 tahun penjara dan pidana maksimum 12 tahun
penjara? Kalaupun ada yang dijerat dengan ketentuan Pasal 127 maka
biasanya anak – anak itu juga didakwa dengan ketentuan Pasal 111 UU
Narkotika ataupun Pasal 112 UU Narkotika. Kejahatan narkotika adalah
kejahatan tanpa korban dan berdasarkan UU Perlindungan Anak, maka anak
yang terlibat dalam kejahatan narkotika haruslah dianggap sebagai korban
dan bukan pelaku, namun harmonisasi antar UU memang menjadi salah satu
problem mendasar dan krusial di negeri ini
Contoh lainnya adalah soal “pencabulan”,
harus diakui derasnya informasi tanpa pendidikan seks yang memadai dari
orangtua dan sekolah telah menyebabkan banyak anak-anak yang sedang
dalam proses pacaran malah terjatuh dalam perbuatan yang mestinya hanya
dilakukan oleh orang dewasa. Problem mendasarnya adalah perbuatan
tersebut dilakukan oleh anak – anak dan juga tanpa kekerasan ataupun
tipu muslihat. Dalam konteks ini seringkali orangtua juga tidak mampu
melihatnya secara bijak dan cenderung menggunakan instrumen hukum pidana
untuk menjerakan anak, terutama hal ditujukan terhadap anak laki –
laki. Pasal 81 dan 82 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
seringkali digunakan untuk menjerat perbuatan “pacaran yang terlarang
ini” menurut hukum yang ironisnya dilakukan tanpa kekerasan dan bujuk
rayu diancam dengan pidana penjara minimal 3 tahun penjara dan maksimal
15 tahun penjara.
Catatan Kedua: Bantuan Hukum kewajiban penting namun dapat terabaikan dengan segera
Hal lain yang menjadi penting adalah
dalam soal bantuan hukum. UU SPPA ini menegaskan bahwa pada setiap
tingkat pemeriksaan, anak yang berkonflik dengan hukum wajib diberikan
bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau
pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Meski rujukan pemberi bantuan hukum berdasarkan UU SPPA ini adalah UU
Bantuan Hukum yang tidak hanya hanya mengakui advokat, namun pada
prakteknya masih akan menimbulkan masalah. Beberapa masalah yang
diidentifikasi adalah jumlah advokat tidak tersebar di seluruh
kabupaten/kota diseluruh Indonesia dan hanya terkonsentrasi di beberapa
kota – kota besar yang merupakan pusat – pusat bisnis. Selain itu jumlah
fakultas hukum juga tidak tersebar ataupun layanan persebaran dari
organisasi – organisasi bantuan hukum juga tidak menjangkau hingga ke
polsek – polsek.
Problem dasarnya apakah dengan kewajiban
bantuan hukum ini dan apabila kewajiban bantuan hukum ini diabaikan
atau malah dimanipulasi oleh aparat penegak hukum sanksi apakah yang
akan dijatuhkan? Sebagai catatan, meski Jakarta Selatan menjadi kota
yang tertinggi memiliki jumlah advokat namun tidak semua anak yang
berkonflik dengan hukum didampingi di setiap tingkat pemeriksaan.
Mestinya UU ini mendorong kewajiban
bantuan hukum dengan cara membatalkan semua proses pidana yang dilakukan
tanpa kehadiran Advokat/pemberi bantuan hukum lainnya. Hanya dengan
cara ini, maka negara akan mampu menghadirkan akses terhadap keadilan
terhadap anak – anak yang berkonflik dengan hukum tersebut.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah
bagaimana jika pemberi bantuan hukum tersebut ternyata tidak nyata –
nyata hadir secara fisik pada saat pemeriksaan? Atau bagaimana jika
pemberi bantuan hukum tersebut hanya menjalankan kewajiban tersebut
secara pro forma atau sekedar memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh
UU? Oleh karena itu penting kiranya agar Mahkamah Agung benar – benar
memperhatikan ketentuan kewajiban bantuan hukum ini. Jika tidak nasib
ketentuan bantuan hukum yang merupakan tinta emas ini akan segera
diabaikan sama seperti nasib dari ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP.
Catatan Ketiga: Bukannya mengecualikan namun membolehkan upaya penahanan
Paradigma dasar dari UU SPPA ini terkait
dengan penahanan bukanlah sebagai pengecualian yang berarti secara
prinsip penahanan terhadap anak haruslah dihindari, namun UU SPPA ini
membolehkan penahanan sampai dengan adanya upaya penangguhan penahanan
dari orang tua anak yang berkonflik dengan hukum tersebut.
Paradigma ini akan membawa masalah
mendasar karena dengan upaya penahanan dalam konteks anak yang
berkonflik dengan hukum haruslah menjadi upaya terakhir dan merupakan
pengecualian hanya terhadap tindak pidana tertentu dan dalam situasi
tertentu.
Penahanan di Indonesia telah lama
menjadi sumber masalah, karena selain intepretasinya yang beragam antar
para penegak hukum dan penempatan tahanan di tempat – tempat penyidikan
telah menjadi salah satu sumber kerentanan terjadinya penyelewenangan
hukum dan penyalahgunaan. Tak heran bila Elsam sendiri melaporkan
bahwa Polisi menduduki tempat teratas sebagai pelaku penyiksaan. Meski
KUHAP sendiri tak pernah mensyaratkan bahwa penahanan haruslah dalam
bentuk penahanan di rumah tahanan, namun pada prakteknya setiap aparat
penegak hukum lebih memilih menempatkan tahanan di rumah – rumah
tahanan.
Meski UU SPPA mensyaratkan anak dapat
ditahan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) atau Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) namun UU SPPA ini sama
sekali tidak mengharamkan penahanan anak di ruang – ruang tahanan yang
terdapat di kepolisian. Penempatan penahanan anak di LPAS atau LPKS
bukanlah kewajiban namun dinyatakan sebagai dapat yang berarti membuka
ruang untuk penempatan anak yang ditahan di ruang – ruang tahanan yang
dikelola oleh Kepolisian. Belum lagi sudah sejak lama rumah – rumah
tahanan ataupun LP di Indonesia sudah kelebihan kapasitas, oleh karena
itu semestinya UU SPPA ini mengharamkan tindakan penahanan kepada anak
kecuali dalam kondisi tertentu dan sangat khusus. Bagaimanapun juga
menempatkan anak – anak di balik terali besi bukanlah alternatif yang
baik untuk anak.
Transisi 5 Tahun, Cukupkah?
UU SPPA ini mensyaratkan adanya masa
transisi selama 5 tahun dimana pemerintah dan Pengadilan diminta untuk
menyesuaikan diri dengan UU terbaru ini dalam waktu 5 tahun. Masalahnya
seperti yang biasa disaksikan adalah bagaimana jika masa transisi ini
terlewati. Sebagai contoh saja, untuk jumlah Bapas untuk seluruh
Indonesia hingga Desember 2011 adalah sejumlah 62 Bapas. Jika dihitung
sejak disahkannya UU No 3 Tahun 1997 maka kenaikan jumlah Bapas sangat
tidak signifikan, apalagi UU ini membebankan bahwa di tiap
kota/kabupaten harus dibangun Bapas dalam jangka waktu 5 tahun yang
artinya pada 2017 ratusan jumlah Bapas harus dibangun oleh pemerintah.
Begitu juga masalah infrastruktur SDM di Pengadilan, UU ini mewajibkan
agar ada Hakim Anak di setiap PN yang ada di Indonesia. Namun apakah
penyediaan hakim anak ini dapat terselesaikan dalam waktu 5 tahun,
mengingat untuk menjadi hakim anak mestinya diperlukan kualifikasi
khusus dan operasional termasuk syarat telah mengikuti pendidikan
tentang peradilan anak.
Transisi 5 tahun ini sangat diragukan
dapat dilewati dengan baik jika tidak hendak mengatakannya sebagai
dilewati begitu saja. UU ini mestinya sekali lagi mendorong bahwa syarat
transisi ini menjadi syarat penentu apakan hukum acara yang telah
digariskan dalam UU ini telah dilakukan dengan baik atau tidak. Mestinya
ketika masa transisi ini usai dan pemerintah dan lembaga – lembaga
negara belum lagi dapat menjalankan kewajibannya sesuai dengan UU, maka
proses penuntutan terhadap anak mestinya dihentikan demi hukum karena
sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
Dengan demikian pada masa transisi ini, pemerintah dan lembaga – lembaga
negara lainnya dipaksa oleh hukum untuk segera memenuhi kewajiban –
kewajiban hukumnya jika tidak ingin perkaranya diputus karena tidak
sesuai lagi dengan hukum acara yang berlaku.
No comments:
Post a Comment