Friday 4 October 2013

UU Sistem Peradilan Anak

UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) ini telah disahkan oleh DPR beberapa waktu yang lalu untuk menggantikan UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan saat ini sedang menunggu proses persetujuan dari Presiden. Harus diakui UU ini merupakan buah kemajuan dalam advokasi yang dilakukan oleh banyak pihak bagi anak – anak yang berhadapan dengan hukum.  Dalam UU ini dinyatakan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi dari sebuah tindak pidana (Lihat Pasal 1 angka 2 UU SPPA). Meski berbicara mengenai tiga cabang dari anak yang berhadapan dengan hukum namun secara umum titik berat UU ini adalah pada anak yang berkonflik dengan hukum yang artinya anak yang diduga keras menjadi pelaku dari tindak pidana. Anak dalam posisi sebagai saksi dan/atau korban sendiri diatur dalam Bab VII pada pasal 89 – 91 dari UU SPPA tersebut. Sungguh disayangkan UU ini malah tidak menjelaskan secara detail bagaimana posisi anak sebagai saksi dan/atau korban dalam sebuah tindak pidana, karena mereka juga rentan dalam menerima kekerasan sepanjang proses peradilan pidana tersebut
Catatan Pertama: saat diversi hanya dimaknai sebagai kesepakatan
Salah satu kemajuan terpenting dalam UU SPPA ini sebagaimana diklaim oleh pemerintah dan DPR adalah diakuinya keadilan restoratif bagi anak – anak yang berkonflik dengan hukum melalui diversi atau proses pengalihan penyelesaian perkara anak di luar sistem peradilan pidana. Namun sekali lagi diversi yang dapat dilakukan dalam kerangka UU SPPA bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan Anak; menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Oleh karena itu basis diversi dalam UU ini bukanlah kepentingan terbaik bagi anak namun kesepakatan antara korban dan atau keluarga korban dengan anak yang berkonflik dengan hukum tersebut. Dan kesepakatan diversi hanya bisa dilakukan jika perbuatan anak yang berkonflik dengan hukum tersebut diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Tidak perlunya kesepakatan dengan korban pada diversi hanya bisa dilakukan untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran; tindak pidana ringan; tindak pidana tanpa korban; atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
Sekilas pengaturan ini nampak memadai namun, apakah ancaman pidana penjara dibawah 7 tahun dan kesepakatan itu menjadi hal yang sangat penting mengingat banyak kejahatan yang saat ini diatur dengan ancaman minimum dan maksimum dan bisa jadi juga tanpa korban. Contoh paling konkret adalah UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana paling banyak anak – anak yang terkena tindak pidana ini dijerat dengan Pasal 111 – Pasal 112 dari UU Narkotika yang mengancamkan pidana minimum 4 tahun penjara dan pidana maksimum 12 tahun penjara? Kalaupun ada yang dijerat dengan ketentuan Pasal 127 maka biasanya anak – anak itu juga didakwa dengan ketentuan Pasal 111 UU Narkotika ataupun Pasal 112 UU Narkotika. Kejahatan narkotika adalah kejahatan tanpa korban dan berdasarkan UU Perlindungan Anak, maka anak yang terlibat dalam kejahatan narkotika haruslah dianggap sebagai korban dan bukan pelaku, namun harmonisasi antar UU memang menjadi salah satu problem mendasar dan krusial di negeri ini
Contoh lainnya adalah soal “pencabulan”, harus diakui derasnya informasi tanpa pendidikan seks yang memadai dari orangtua dan sekolah telah menyebabkan banyak anak-anak yang sedang dalam proses pacaran malah terjatuh dalam perbuatan yang mestinya hanya dilakukan oleh orang dewasa. Problem mendasarnya adalah perbuatan tersebut dilakukan oleh anak – anak dan juga tanpa kekerasan ataupun tipu muslihat. Dalam konteks ini seringkali orangtua juga tidak mampu melihatnya secara bijak dan cenderung menggunakan instrumen hukum pidana untuk menjerakan anak, terutama hal ditujukan terhadap anak laki – laki. Pasal 81 dan 82 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak seringkali digunakan untuk menjerat perbuatan “pacaran yang terlarang ini” menurut hukum yang ironisnya dilakukan tanpa kekerasan dan bujuk rayu diancam dengan pidana penjara minimal 3 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara.
Catatan Kedua: Bantuan Hukum kewajiban penting namun dapat terabaikan dengan segera
Hal lain yang menjadi penting adalah dalam soal bantuan hukum. UU SPPA ini menegaskan bahwa pada setiap tingkat pemeriksaan, anak yang berkonflik dengan hukum wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Meski rujukan pemberi bantuan hukum berdasarkan UU SPPA ini adalah UU Bantuan Hukum yang tidak hanya hanya mengakui advokat, namun pada prakteknya masih akan menimbulkan masalah. Beberapa masalah yang diidentifikasi adalah jumlah advokat tidak tersebar di seluruh kabupaten/kota diseluruh Indonesia dan hanya terkonsentrasi di beberapa kota – kota besar yang merupakan pusat – pusat bisnis. Selain itu jumlah fakultas hukum juga tidak tersebar ataupun layanan persebaran dari organisasi – organisasi bantuan hukum juga tidak menjangkau hingga ke polsek – polsek.
Problem dasarnya apakah dengan kewajiban bantuan hukum ini dan apabila kewajiban bantuan hukum ini diabaikan atau malah dimanipulasi oleh aparat penegak hukum sanksi apakah yang akan dijatuhkan? Sebagai catatan, meski Jakarta Selatan menjadi kota yang tertinggi memiliki jumlah advokat namun tidak semua anak yang berkonflik dengan hukum didampingi di setiap tingkat pemeriksaan.
Mestinya UU ini mendorong kewajiban bantuan hukum dengan cara membatalkan semua proses pidana yang dilakukan tanpa kehadiran Advokat/pemberi bantuan hukum lainnya. Hanya dengan cara ini, maka negara akan mampu menghadirkan akses terhadap keadilan terhadap anak – anak yang berkonflik dengan hukum tersebut.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah bagaimana jika pemberi bantuan hukum tersebut ternyata tidak nyata – nyata hadir secara fisik pada saat pemeriksaan? Atau bagaimana jika pemberi bantuan hukum tersebut hanya menjalankan kewajiban tersebut secara pro forma atau sekedar memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU? Oleh karena itu penting kiranya agar Mahkamah Agung benar – benar memperhatikan ketentuan kewajiban bantuan hukum ini. Jika tidak nasib ketentuan bantuan hukum yang merupakan tinta emas ini akan segera diabaikan sama seperti nasib dari ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP.
Catatan Ketiga: Bukannya mengecualikan namun membolehkan upaya penahanan
Paradigma dasar dari UU SPPA ini terkait dengan penahanan bukanlah sebagai pengecualian yang berarti secara prinsip penahanan terhadap anak haruslah dihindari, namun UU SPPA ini membolehkan penahanan sampai dengan adanya upaya penangguhan penahanan dari orang tua anak yang berkonflik dengan hukum tersebut.
Paradigma ini akan membawa masalah mendasar karena dengan upaya penahanan dalam konteks anak yang berkonflik dengan hukum haruslah menjadi upaya terakhir dan merupakan pengecualian hanya terhadap tindak pidana tertentu dan dalam situasi tertentu.
Penahanan di Indonesia telah lama menjadi sumber masalah, karena selain intepretasinya yang beragam antar para penegak hukum dan penempatan tahanan di tempat – tempat penyidikan telah menjadi salah satu sumber kerentanan terjadinya penyelewenangan hukum dan penyalahgunaan. Tak heran bila Elsam sendiri melaporkan bahwa Polisi menduduki tempat teratas sebagai pelaku penyiksaan. Meski KUHAP sendiri tak pernah mensyaratkan bahwa penahanan haruslah dalam bentuk penahanan di rumah tahanan, namun pada prakteknya setiap aparat penegak hukum lebih memilih menempatkan tahanan di rumah – rumah tahanan.
Meski UU SPPA mensyaratkan anak dapat ditahan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) namun UU SPPA ini sama sekali tidak mengharamkan penahanan anak di ruang – ruang tahanan yang terdapat di kepolisian. Penempatan penahanan anak di LPAS atau LPKS bukanlah kewajiban namun dinyatakan sebagai dapat yang berarti membuka ruang untuk penempatan anak yang ditahan di ruang – ruang tahanan yang dikelola oleh Kepolisian. Belum lagi sudah sejak lama rumah – rumah tahanan ataupun LP di Indonesia sudah kelebihan kapasitas, oleh karena itu semestinya UU SPPA ini mengharamkan tindakan penahanan kepada anak kecuali dalam kondisi tertentu dan sangat khusus. Bagaimanapun juga menempatkan anak – anak di balik terali besi bukanlah alternatif yang baik untuk anak.
Transisi 5 Tahun, Cukupkah?
UU SPPA ini mensyaratkan adanya masa transisi selama 5 tahun dimana pemerintah dan Pengadilan diminta untuk menyesuaikan diri dengan UU terbaru ini  dalam waktu 5 tahun. Masalahnya seperti yang biasa disaksikan adalah bagaimana jika masa transisi ini terlewati. Sebagai contoh saja, untuk jumlah Bapas untuk seluruh Indonesia hingga Desember 2011 adalah sejumlah 62 Bapas. Jika dihitung sejak disahkannya UU No 3 Tahun 1997 maka kenaikan jumlah Bapas sangat tidak signifikan, apalagi UU ini membebankan bahwa di tiap kota/kabupaten harus dibangun Bapas dalam jangka waktu 5 tahun yang artinya pada 2017 ratusan jumlah Bapas harus dibangun oleh pemerintah. Begitu juga masalah infrastruktur SDM di Pengadilan, UU ini mewajibkan agar ada Hakim Anak di setiap PN yang ada di Indonesia. Namun apakah penyediaan hakim anak ini dapat terselesaikan dalam waktu 5 tahun, mengingat untuk menjadi hakim anak mestinya diperlukan kualifikasi khusus dan operasional termasuk syarat telah mengikuti pendidikan tentang peradilan anak.
Transisi 5 tahun ini sangat diragukan dapat dilewati dengan baik jika tidak hendak mengatakannya sebagai dilewati begitu saja. UU ini mestinya sekali lagi mendorong bahwa syarat transisi ini menjadi syarat penentu apakan hukum acara yang telah digariskan dalam UU ini telah dilakukan dengan baik atau tidak. Mestinya ketika masa transisi ini usai dan pemerintah dan lembaga – lembaga negara belum lagi dapat menjalankan kewajibannya sesuai dengan UU, maka proses penuntutan terhadap anak mestinya dihentikan demi hukum karena sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian pada masa transisi ini, pemerintah dan lembaga – lembaga negara lainnya dipaksa oleh hukum untuk segera memenuhi kewajiban – kewajiban hukumnya jika tidak ingin perkaranya diputus karena tidak sesuai lagi dengan hukum acara yang berlaku


No comments:

Post a Comment