A.
Latar
Belakang Masalah
Anak adalah amanah dari Tuhan YME yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai
manusia seutuhnya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dalam
pembinaannya untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh dan
berkualitas.Karenanya setiap yang patut dijunjung tinggi .Sebagai salah satu
sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa sudah selayaknya anak
anak yang terlahir harus mendapatkan hak - haknya
tanpa anak tersebut meminta.
Anak merupakan aset bangsa . Sebagai
bagian dari generasi muda anak berperan strategis sebagai successor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia anak adalah
generasi penerus cita- cita perjuangan bangsa.Peran ini telah disadari oleh masyarakat
Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi
anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak- hak
yang dimilikinya.
Selain itu anak merupakan harapan orang
tua, bangsa dan Negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta
memiliki peran strategis yaitu menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan
Negara di masa depan.oleh karna itu anak harus mendapat pembinaan secara dini
dan mendapatkan kesempatan seluas- luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal baik fisik, mental maupun sosial.
Ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child )yang
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 yang kemudian dituangkan dalam UU No 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dan UU No 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak ini mengemukakan prinsip umum perlindungan anak,
yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum secara nasional dan
internasional yang secara universal dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan International of Civil
and Political Right (ICPR). Perbedaan
antara hak asasi anak dan orang dewasa diatur dalam konvensi- konvensi
internasional khusus.
Sebagaimana diutarakan dalam Deklarasi Hak
Anak:“ …..the child ,by reasons of his
physical and mental immaturity needs special safeguardsand care, including
appropriate legal protection, before as well as after birth…” Deklarasi
Wina tahun 1993 yang dihasilkan oleh Konfrensi Dunia tentang Hak- hak Asasi
Manusia (HAM) , kembali menerapkan prinsip “First
Call of Children” yang menekankan pentingnya usaha- usaha nasional dan internasional yang menekankan hak- hak atas
anak “survival protection , development
and participation”.[1]
Namun sepertinya jika dilihat secara
prespektif yuridis hak- hak anak ini ternyata belum mendapatkan perhatian yang
serius baik dari pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat pada umumnya.
Kondisi ini timbul akibat lemahnya penerapan hukum mengenai hak- hak anak yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Mental anak yang masih dalam tahap
pencarian jati diri kadang mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi
lingkungan disekitarnya. Jika lingkungan tempat tinggal dan bersosialisasi
buruk maka akan berpengaruh pada tindakan anak yang melanggar hukum. Hal ini
tentunya akan sangat merugikan anak tersebut serta masyarakat. Tidak sedikit
tindakan tersebut akhirnya menyeret mereka berurusan dengan aparat penegak
hukum.
Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan
ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian . Pada
umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas
sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anaknnya
dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.Sebuah ketidakadilan membiarkan anak
yang berkonflik dengan hukum dimintakan pertanggungjawaban hukum yang melebihi
kemampuan personal anak.
Kematangan moral dan psikologis anak
akan tidak berkembang secara wajar apabila dia berhadapan dengan realitas
penjara dan proses peradilan anak yang hingga kini masih mengandung unsur
kekerasan, isolasi keluarga, tidak dipisahkan dengan tahanan/terpidana dewasa,
dan sejumlah daftar tindakan kontra hak anak dari aparatur penegak hukum.
Seringkali perbuatan yang dilakukan anak
hanya kenakalan saja bukan kejahatan (kriminal). Menurut kamus hukum, kenakalan anak atau Juvenile
Delinquency hanyalah suatu:
”Antisocial
behaviour by a minor; esp…, behaviour that would be criminally punishable if
the actor were an adult, but instead is usu. Punished by special laws
pertaining only to minor”.
Terdapat dua kategori perilaku anak yang
membuatnya berhadapan dengan hukum yakni status offender dan juvenile delinquency. Status offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
orang dewasa tidak termasuk kejahatan. Contohnya tidak menurut, membolos
sekolah, kabur dari rumah. Sedangkan juvenile
delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang
dewasa termasuk kategori kejahatan.[2]
Salah satu bentuk penanganan terhadap
ABH diatur dalam Pasal 16 ayat 3 UU No.23Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir. Pemidanaan bagi
anak merupakan ultimum remedium juga telah diharmonisasikan dalam UU
tentang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999 (Pasal 66 ayat 3 dan 4).
Mengacu pada UU No 39/ 1999 tentang HAM
dan UU No 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak serta secara konkrit diwujudkan
dalam UU No 3/1997 tentang Peradilan Anak, semestinya proses hukum bagi
anak-anak yang berkonflik dengan hukum
masuk dalam sistem peradilan pidana terpadu yang mengutamakan pemenuhan dan
perlindungan hak-hak anak.
Namun pada kenyataannya, sebagian besar
anak yang berkonflik dengan hukum masih sedikit yang mendapatkan bantuan hukum
sejak awal proses hukum. Kasus-kasus anak pun masih ditangani oleh penyidik
umum, di luar unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Oleh karenanya, perlu
dihindari penghukuman tidak manusiawi yang menjatuhkan martabat anak dan
penjara sebagai upaya terakhir (Pasal 16 UU Perlindungan Anak).
Seorang anak sesuai sifatnya masih
memiliki daya nalar yang belum cukup untuk membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak umumnya adalah merupakan
proses meniru atau terpengaruh oleh hal-hal yang ada disekitarnya yang
dilakukan orang dewasa baik dilihat secara langsung maupun lewat televisi.
Banyak
anak yang melakukan kejahatan ringan kemudian dipenjara seperti hebohnya
dunia hukum anak di Indonesia pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan adalah
1. Kasus
Raju., anak berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari untuk menjalani proses
hukum yang menimbulkan trauma.
2. Kasus
pencurian voucher pulsa Rp. 10.000 yang dilakukan oleh anak laki-laki
kelas 1 SMP menjalani proses hukum dan dituntut Pasal 362 KUHP dan diancam
penjara selama 7 tahun.[3]
3. Begitupula
dengan kasus pencurian sandal jepit yang
dilakukan oleh seorang anak yang berinisial AL di Palu yang kemudian diproses
secara hukum formal dan diperhadapkan di meja hijau.
Maraknya kasus hukum yang menimpa anak-
anak di Indonesia bukan berarti mereka sama seperti orang dewasa yang sudah
mempunyai akal dan pengalaman. Perilaku ironi anak- anak disebabkan lingkungan
sosial, keluarga dan gagalnya tanggung jawab negara untuk memenuhi hak- hak
mereka. Posisi anak- anak dalam instrument HAM Nasional dan Internasional
ditempatkan sebagai kelompok yang rentan yang harus diberlakukan istimewa,
mempunyai hak istimewa dan negara mempunyai tanggung jawab untuk menjamin
kebutuhan hak- hak istimewa tersebut.
Sistem peradilan formal pada akhirnya
akan menempatkan anak pada status narapidana membawa konsekuensi yang cukup
besar dalam hal pertumbuhan dan perkembangan anak.Proses penghukuman yang diberikan
kepada anak melalui sistem peradilan formal yaitu dengan memasukan anak ke
dalam penjara ternyata tidaklah memberikan efek jera pada si anak tersebut.
Penjara justru semakin membuat anak tersebut menjadi lebih professional dalam
melakukan tindak kejahatan.
Anak yang ditempatkan bersama dengan
orang dewasa di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dapat menimbulkan beban
psikologi tersendiri bagi anak , karena menganggap dirinya sama jahatnya dengan
orang- orang dewasa yang melakukan tindak pidana, sehingga mereka dicap dan
diberi label sebagai anak nakal ataupun anak pidana.
Menurut teori Labeling, label atau cap dapat
memperbesar penyimpangan tingkah laku (kejahatan) dan dapat membentuk karier
kriminal seseorang. Seseorang yang telah memperoleh cap atau label dengan
sendirinya akan menjadi perhatian orang- orang disekitarnya.Apalagi jika hal
itu terjadi dengan anak-anak.
Dari kasus- kasus di atas, menunjukkan bahwa masih banyak anak di
Indonesia yang berkonflik dengan hukum dan dihadapkan pada mekanisme peradilan
pidana anak. Tentu saja semua ini butuh perhatian yang serius dari semua pihak
karena mengingat anak merupakan penerus generasi bangsa yang punya masa depan
dan harapan untuk meneruskan estafet kepemimpinan bangsa ini.[4]
Anak bukanlah miniature orang dewasa,
anak mempunyai karakteristik tersendiri, sehingga harus diperlakukan secara
berbeda (istimewa) pula, harus diperhatikan hak- haknya, kelangsungan hidupnya
dimasa depan dan juga memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
Melihat prinsip perlindungan yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak
maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau
biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk
menyelesaikan permasalahan anak . Oleh karena itulah mengapa
diversi khususnya melalui konsep Restorative
Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan
perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Sebagian peraturan yang berkaitan dengan
penahanan ABH sebenarnya sudah berupaya menerapkan keadilan restoratif,
walaupun belum secara komprehensif. Kelompok
Kerja Peradilan Anak PBB mendefinisikan Restorative
Justice sistem sebagai suatu proses di mana semua pihak yang berhubungan
dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan
memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang.
Restorative justice pada dasarnya dapat dilakukan dengan diskresi
dan diversi. Diskresi merupakan kewenangan kepolisian secara legal untuk
meneruskan atau menghentikan suatu perkara. Sedangkan Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga
telah melakukan tindak pidana. Tujuan memberlakukan Diversi adalah menghindarkan proses penahanan terhadap anak dan
pelabelan anak sebagai penjahat. Anak didorong untuk bertanggung jawab atas
kesalahannya.
Penerapan Restorative Justice
menekankan pada kemauan murni dari pelaku untuk memperbaiki kerugian yang telah
ditimbulkannya sebagai bentuk rasa tanggung jawab. Untuk menghasilkan kesepakatan
para pihak perlu melakukan dialog-dialog
informal seperti mediasi dan musyawarah. Keterlibatan anggota komunitas yang
relevan dan berminat secara aktif sangat penting dalam bagian ini sebagai upaya
penerimaan kembali si anak dalam masyarakat.
Restorative Justice memang masih kurang
terdengar gaungnya di masyarakat. Masih jarang metode ini diterapkan pada
penyelesaian kasus-kasus pidana yang mendudukan anak-anak sebagai pelaku.
Selama ini anak yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan
secara pidana , yakni dengan pemenjaraan. Padahal, metode pemenjaraan sejauh
ini tidak selalu berhasil memberi efek jera pada diri anak-anak. Di samping
itu, pemenjaraan telah memasung sebagian besar hak anak.
Pada intinya, fokus Restorative Justice
adalah memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan
pemulihan bagi korban dan masyarakat, serta mengembalikan pelaku kepada
masyarakat. Upaya ini membutuhkan kerja sama semua stakeholders (pihak yang
berkepentingan) dan aparat penegak hukum dalam rangka perlindungan hak-hak
anak yang berhadapan dengan hukum.
Melihat prinsip perlindungan yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak
maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau
biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk
menyelesaikan permasalahan anak .Oleh karena itulah mengapa diversi khususnya
melalui konsep Restorative Justice
menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara
pidana yang dilakukan oleh anak.
Begitu banyaknya
kesenjangan antara situasi dan kondisi serta
kelemahan yang terkandung dalam peraturan-peraturan yang terkait dengan
penanganan ABH itu sendiri. Undang-Undang Pengadilan Anak juga belum memberikan alternative
mekanisme penerapan keadilan restoratif (seperti diversi atau mediasi) yang jelas untuk pedoman bagi aparat penegak hukum .
Hal inilah yang membuat penulis merasa tergerak untuk
melakukan penelitian yang tertuang dalam karya tulis dengan judul “Keadilan Pemulihan (Restorative Justice)
Sebagai Bagian Dari Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum di
Indonesia”
A.
Pembatasan
Masalah
Pembatasan masalah ini dilakukan guna mendapatkan hasil
yang lebih intensif, dan karya tulis ini tidak menyimpang dari judul yang telah
ditetapkan. Mengingat luasnya permasalahan maka dalam penelitian ini dilakukan
pembatasan masalah sepanjang menyangkut Restorative
Justice sebagai bagian dari perlindungan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum khususnya anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia.
B.
Perumusan
Masalah
1. Bagaimana
perumusan konsep keadilan pemulihan (Restorative
Justice) dalam hukum pidana di Indonesia?
2. Bagaimanakah
implementasi pelaksanaan konsep keadilan pemulihan (Restorative Justice) sebagai bagian dari perlindungan terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum di Indonesia?
3. Apa
saja yang menjadi hambatan dalam implementasi pelaksanaan konsep Restorative
Justice sebagai bagian dari perlindungan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum di Indonesia ?
[1] Harkristuti
Harkrisnowo , Tantangan dan Agenda Hak-
hak Anak , Newsletter Komisi Hukum Nasional edisi Februari 2002 , Jakarta ,
hal 4
[2] Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT Reflika
Aditama Bandung , hal 11
[4]
Nugraheni. (2009). Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak sebagai Pelaku
Tindak Pidana. Semarang: Undip.
No comments:
Post a Comment