Tuesday 1 October 2013

KEADILAN PEMULIHAN (RESTORATIVE JUSTICE) SEBAGAI BAGIAN DARI PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI INDONESIA



A.    Latar Belakang Masalah
Anak adalah  amanah dari Tuhan YME yang dalam dirinya melekat  harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dalam pembinaannya untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh dan berkualitas.Karenanya setiap yang patut dijunjung tinggi .Sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa sudah selayaknya anak  anak yang terlahir harus mendapatkan  hak  - haknya tanpa anak tersebut meminta.
Anak merupakan aset bangsa . Sebagai bagian dari generasi muda anak berperan strategis sebagai successor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia anak adalah generasi penerus cita- cita perjuangan bangsa.Peran  ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak- hak yang dimilikinya.
Selain itu anak merupakan harapan orang tua, bangsa dan Negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis yaitu menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara di masa depan.oleh karna itu anak harus mendapat pembinaan secara dini dan mendapatkan kesempatan seluas- luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial.

Ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child )yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keppres  Nomor 36 Tahun 1990 yang kemudian  dituangkan dalam UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU  No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini mengemukakan prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum secara nasional dan internasional yang secara universal dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan International of Civil and Political Right  (ICPR). Perbedaan antara hak asasi anak dan orang dewasa diatur dalam konvensi- konvensi internasional khusus.
 Sebagaimana diutarakan dalam Deklarasi Hak Anak:“ …..the child ,by reasons of his physical and mental immaturity needs special safeguardsand care, including appropriate legal protection, before as well as after birth…” Deklarasi Wina tahun 1993 yang dihasilkan oleh Konfrensi Dunia tentang Hak- hak Asasi Manusia (HAM) , kembali menerapkan prinsip “First Call of Children” yang menekankan pentingnya usaha- usaha nasional dan  internasional yang menekankan hak- hak atas anak “survival protection , development and participation”.[1]
Namun sepertinya jika dilihat secara prespektif yuridis hak- hak anak ini ternyata belum mendapatkan perhatian yang serius baik dari pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat pada umumnya. Kondisi ini timbul akibat lemahnya penerapan hukum mengenai hak- hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Mental anak yang masih dalam tahap pencarian jati diri kadang mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan disekitarnya. Jika lingkungan tempat tinggal dan bersosialisasi buruk maka akan berpengaruh pada tindakan anak yang melanggar hukum. Hal ini tentunya akan sangat merugikan anak tersebut serta masyarakat. Tidak sedikit tindakan tersebut akhirnya menyeret mereka berurusan dengan aparat penegak hukum.
Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian . Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anaknnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.Sebuah ketidakadilan membiarkan anak yang berkonflik dengan hukum dimintakan pertanggungjawaban hukum yang melebihi kemampuan personal anak.
Kematangan moral dan psikologis anak akan tidak berkembang secara wajar apabila dia berhadapan dengan realitas penjara dan proses peradilan anak yang hingga kini masih mengandung unsur kekerasan, isolasi keluarga, tidak dipisahkan dengan tahanan/terpidana dewasa, dan sejumlah daftar tindakan kontra hak anak dari aparatur penegak hukum.
Seringkali perbuatan yang dilakukan anak hanya kenakalan saja bukan kejahatan (kriminal).  Menurut kamus hukum, kenakalan anak atau Juvenile Delinquency hanyalah suatu:
 Antisocial behaviour by a minor; esp…, behaviour that would be criminally punishable if the actor were an adult, but instead is usu. Punished by special laws pertaining only to minor”.
Terdapat dua kategori perilaku anak yang membuatnya berhadapan dengan hukum yakni status offender dan juvenile delinquency. Status offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan. Contohnya tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah. Sedangkan juvenile delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan.[2]
Salah satu bentuk penanganan terhadap ABH diatur dalam Pasal 16 ayat 3 UU No.23Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.  Pemidanaan bagi anak merupakan ultimum remedium juga telah diharmonisasikan dalam UU tentang Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999 (Pasal 66 ayat 3 dan 4).
Mengacu pada UU No 39/ 1999 tentang HAM dan UU No 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak serta secara konkrit diwujudkan dalam UU No 3/1997 tentang Peradilan Anak, semestinya proses hukum bagi anak-anak  yang berkonflik dengan hukum masuk dalam sistem peradilan pidana terpadu yang mengutamakan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak.
Namun pada kenyataannya, sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum masih sedikit yang mendapatkan bantuan hukum sejak awal proses hukum. Kasus-kasus anak pun masih ditangani oleh penyidik umum, di luar unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Oleh karenanya, perlu dihindari penghukuman tidak manusiawi yang menjatuhkan martabat anak dan penjara sebagai upaya terakhir (Pasal 16 UU Perlindungan Anak).
Seorang anak sesuai sifatnya masih memiliki daya nalar yang belum cukup untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak umumnya adalah merupakan proses meniru atau terpengaruh oleh hal-hal yang ada disekitarnya yang dilakukan orang dewasa baik dilihat secara langsung maupun lewat televisi.
Banyak  anak  yang melakukan kejahatan  ringan kemudian dipenjara seperti hebohnya dunia hukum anak di Indonesia pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan adalah

1.      Kasus Raju., anak berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma.
2.      Kasus pencurian voucher pulsa Rp. 10.000 yang dilakukan oleh anak laki-laki kelas 1 SMP menjalani proses hukum dan dituntut Pasal 362 KUHP dan diancam penjara selama 7 tahun.[3]
3.      Begitupula dengan  kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan oleh seorang anak yang berinisial AL di Palu yang kemudian diproses secara hukum formal dan diperhadapkan di meja hijau.

Maraknya kasus hukum yang menimpa anak- anak di Indonesia bukan berarti mereka sama seperti orang dewasa yang sudah mempunyai akal dan pengalaman. Perilaku ironi anak- anak disebabkan lingkungan sosial, keluarga dan gagalnya tanggung jawab negara untuk memenuhi hak- hak mereka. Posisi anak- anak dalam instrument HAM Nasional dan Internasional ditempatkan sebagai kelompok yang rentan yang harus diberlakukan istimewa, mempunyai hak istimewa dan negara mempunyai tanggung jawab untuk menjamin kebutuhan hak- hak istimewa tersebut.
Sistem peradilan formal pada akhirnya akan menempatkan anak pada status narapidana membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal pertumbuhan dan perkembangan anak.Proses penghukuman yang diberikan kepada anak melalui sistem peradilan formal yaitu dengan memasukan anak ke dalam penjara ternyata tidaklah memberikan efek jera pada si anak tersebut. Penjara justru semakin membuat anak tersebut menjadi lebih professional dalam melakukan tindak kejahatan.
Anak yang ditempatkan bersama dengan orang dewasa di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dapat menimbulkan beban psikologi tersendiri bagi anak , karena menganggap dirinya sama jahatnya dengan orang- orang dewasa yang melakukan tindak pidana, sehingga mereka dicap dan diberi label sebagai anak nakal ataupun anak pidana.
Menurut teori Labeling, label atau cap dapat memperbesar penyimpangan tingkah laku (kejahatan) dan dapat membentuk karier kriminal seseorang. Seseorang yang telah memperoleh cap atau label dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang- orang disekitarnya.Apalagi jika hal itu terjadi dengan anak-anak.
Dari kasus- kasus di atas,  menunjukkan bahwa masih banyak anak di Indonesia yang berkonflik dengan hukum dan dihadapkan pada mekanisme peradilan pidana anak. Tentu saja semua ini butuh perhatian yang serius dari semua pihak karena mengingat anak merupakan penerus generasi bangsa yang punya masa depan dan harapan untuk meneruskan estafet kepemimpinan bangsa ini.[4]
Anak bukanlah miniature orang dewasa, anak mempunyai karakteristik tersendiri, sehingga harus diperlakukan secara berbeda (istimewa) pula, harus diperhatikan hak- haknya, kelangsungan hidupnya dimasa depan dan juga memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
Melihat prinsip perlindungan yang  mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah  jalan  untuk  menyelesaikan  permasalahan anak . Oleh karena itulah mengapa diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Sebagian peraturan yang berkaitan dengan penahanan ABH sebenarnya sudah berupaya menerapkan keadilan restoratif, walaupun belum secara komprehensif. Kelompok Kerja Peradilan Anak PBB mendefinisikan Restorative Justice sistem sebagai suatu proses di mana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang.
Restorative justice  pada dasarnya dapat dilakukan dengan diskresi dan diversi. Diskresi merupakan kewenangan kepolisian secara legal untuk meneruskan atau menghentikan suatu perkara. Sedangkan Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana. Tujuan memberlakukan Diversi adalah menghindarkan proses penahanan terhadap anak dan pelabelan anak sebagai penjahat. Anak didorong untuk bertanggung jawab atas kesalahannya.
Penerapan Restorative Justice menekankan pada kemauan murni dari pelaku untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya sebagai bentuk rasa tanggung jawab. Untuk menghasilkan kesepakatan para pihak  perlu melakukan dialog-dialog informal seperti mediasi dan musyawarah. Keterlibatan anggota komunitas yang relevan dan berminat secara aktif sangat penting dalam bagian ini sebagai upaya penerimaan kembali si anak dalam masyarakat.
Restorative Justice memang masih kurang terdengar gaungnya di masyarakat. Masih jarang metode ini diterapkan pada penyelesaian kasus-kasus pidana yang mendudukan anak-anak sebagai pelaku. Selama ini anak yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan secara pidana , yakni dengan pemenjaraan. Padahal, metode pemenjaraan sejauh ini tidak selalu berhasil memberi efek jera pada diri anak-anak. Di samping itu, pemenjaraan telah memasung sebagian besar hak anak.
Pada intinya, fokus Restorative Justice adalah memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan masyarakat, serta mengembalikan pelaku kepada masyarakat. Upaya ini membutuhkan kerja sama semua stakeholders (pihak yang berkepentingan) dan aparat penegak hukum dalam rangka perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum.
Melihat prinsip perlindungan yang  mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak .Oleh karena itulah mengapa diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Begitu banyaknya kesenjangan antara situasi dan kondisi  serta kelemahan yang terkandung dalam peraturan-peraturan yang terkait dengan penanganan ABH itu sendiri. 
 Undang-Undang Pengadilan Anak   juga belum memberikan alternative
mekanisme penerapan keadilan restoratif (seperti diversi atau mediasi) yang jelas untuk  pedoman bagi aparat penegak hukum  .
Hal inilah yang  membuat penulis merasa tergerak untuk melakukan penelitian yang tertuang dalam karya tulis dengan judul “Keadilan Pemulihan (Restorative Justice) Sebagai Bagian Dari Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum di Indonesia”

A.    Pembatasan Masalah
Pembatasan  masalah ini dilakukan guna mendapatkan hasil yang lebih intensif, dan karya tulis ini tidak menyimpang dari judul yang telah ditetapkan. Mengingat luasnya permasalahan maka dalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah sepanjang menyangkut Restorative Justice sebagai bagian dari perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum khususnya anak sebagai pelaku tindak pidana di Indonesia.

B.     Perumusan Masalah
1.      Bagaimana perumusan konsep keadilan pemulihan (Restorative Justice) dalam hukum pidana di Indonesia?
2.      Bagaimanakah implementasi pelaksanaan konsep keadilan pemulihan (Restorative Justice) sebagai bagian dari perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia?
3.      Apa saja yang menjadi hambatan dalam implementasi pelaksanaan  konsep Restorative Justice sebagai bagian dari perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di Indonesia ?


 


[1] Harkristuti Harkrisnowo , Tantangan dan Agenda Hak- hak Anak , Newsletter Komisi Hukum Nasional edisi Februari 2002 , Jakarta , hal  4
[2] Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT Reflika Aditama  Bandung , hal 11
[3] Fokus Pagi di Indosiar tanggal 29 April 2011 pukul 7.50 WITA
[4] Nugraheni. (2009). Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana. Semarang: Undip.

 

No comments:

Post a Comment