Thursday 7 November 2013

Implementasi pelaksanaan konsep keadilan pemulihan (Restorative Justice ) sebagai bagian dari perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.


   Penahanan yang Selalu Dilakukan Terhadap ABH
    Penahanan pada tersangka anak hanya merupakan upaya terakhir (ultimum remidium) sebagai mana tertuang dalam Undang- Undang no 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang- Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Konvensi hak Anak. Di sana penangkapan, penahanan dan atau pemidanaan penjara bagi tersangka anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dilaksanakan sebagai upaya hukum terakhir dan sesingkat- singkatnya. Jika penahanan dilakukan , penyidik wajib memisahkan anak dari tahanan dewasa dan tetap memenuhi hak- hak anak.
       Pada setiap surat perintah penahanan yang disampaikan penyidik, umumnya perintah penahanan didasarkan pada tiga alasan yaitu:
a.       Dikhawatirkan tersangka akan melarikan diri.
b.      Tersangka dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti.
c.       Tersangka dikhawatirkan akan mengulangi lagi tindak pidana.
                Ketiga alasan ini menjadi alasan umum yang berdasar pada KUHAP pasal 21 ayat (1). Kenyataannya penangguhan penahanan terhadap tersangka anak yang melakukan tindak pidana sangat sulit, meskipun ada jaminan dari pengacara dan orang tua.
    Penahanan bagi anak juga mengakibatkan cidera fisik, psikis dan sosial.
a.       Cidera fisik
Terjadi akibat penganiayaan oleh sesame tahanan karena tahanan anak dicampur dengan tahanan dewasa. anak- anak sering menjadi objek kekerasan fisik dan bahkankekerasan seksual. Ruang tahanan yang sempit dan sangat jauh dari standar kesehatan yang layak semakin memperparah kondisi fisik anak. Anak- anak gampang tertular penyakit dari tahanan lain.
b.      Cidera psikis
Penanahan membuat anak menjadi stress, depresi dan mengalami tekanan psikis.
c.       Cidera sosial
Cidera sosial terjadi ketika anak- anak yang pernah masuk penjara sulit diterima masyarakat. Masyarakat cenderung akan mengucilkan dan menstigma anak sebagai orang jahat yang perlu untuk dijauhi.

        Penahanan terhadap anak bermasalah dengan hukum juga harus mempertimbangkan kepentingan anak- anak dan masyarakat. Tempat tahanan anak harus dipisahkan dengan tempat tahanan orang dewasa. Selama dalam masa tahanan , kebutuhan jasmani, rohani dan social anak harus tetap terpenuhi. Penahanan terhadap anak paling lama adalah 15 hari. Jika dibutuhkan lagi demi kepentingan pemeriksaan bias dilakukan perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 30 hari. Jika dalam penambahan waktu hakim belum memutuskan maka anak yang bermasalah tersebut harus dikeluarkan.
       Setiap anak yang ditangkap dan ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum. Pejabat yang melakukan penangkapan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua , wali atau orang tua asuh mengenai hak memperoleh bantuan hukum dan juga berhak untuk berhubungan langsung dengan penasehat hukum
       Instrumen  Undang- Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebenarnya mempunyai tujuan mulia untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Namun undang- undang ini masih mempunyai problem serius, secara substantive masih terikat pada KUHP dan menyatakan hanya pasal 45- 47 saja yang tidak berlaku.
        Secara yuridis pasal- pasal lain yang mengatur tentang ketentuan pidana (pasal 10-43), ketentuan tentang percobaan (pasal 53 dan 54), tentang penyertaan (pasal 55-56), tentang concursus, alasan penghapus pidana, alasan hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana masih berlaku. Apalagi dalam Buku II dan Buku III KUHP yang didalamnya ada ketentuan tentang pengulangan (recidive) tetap berlaku karna ketentuan itu memang tidak diatur dalam Undang- Undang No 3 Tahun 1997. Kelemahan mendasar dari Undang- Undang No 3 Tahun 1997 adalah tidak adanya pengaturan tentang diversi.

Kewenangan Diskresi dan Diversi
Kata Restorative dapat diartikan sebagai obat yang menyembuhkan atau menyegarkan. Sedangkan Restorative Justice dimaknai sebagai penyelesaian suatu tindak pidana tertentu yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya di masa datang.
Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi dan diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.
 Program diversi dapat menjadi bentuk  restoratif  justice jika :
a.       Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
b.      Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban.
c.       Memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses.
d.      Memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga.
e.       Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
  Prinsip- prinsip dasar Diversi :
a.       Anak tidak boleh dipaksa bahwa ia telah melakukan tindakan tertentu.
b.      Program diversi hanya dilakukan terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan, namun tidak boleh adanya suatu pemaksaan.
c.       Pemenjaraan tidak dapat menjadi bagian dari diversi karena mekanisme dan strukturnya tidak memperbolehkan pencabutan  kebebasan dalam segala bentuk.
d.      Adanya kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan bila tidak ada solusi yang dapat diambil.
e.       Anak tetap dapat mempertahankan haknya untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali.
f.       Tidak boleh adanya diskriminasi.
  Pelaksanaan metode sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, diversi tersebut berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch)
Walaupun penanganan anak yang berhadapan dengan hukum belum sensitive terhadap hak- hak anak secara keseluruhan, namun beberapa hal di atas telah menunjukkan bahwa institusi kepolisian telah membuat sedikit langkah maju dibanding kejaksaan dan pengadilan. Hal ini terbukti dengan adanya hal yang sempat penulis catat yaitu :
a.       Tahun 2004 Mabes Polri bekerjasama dengan UNICEF menyusun Manual Pelatihan untuk Polisi dalam Penanganan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
b.      Tahun 2006 Kapolri mengeluarkan perintah kepada seluruh Kapolda melalui TR No. Pol. 1124/XI/2006 tentang penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum di tingkat penyidik. Penyidik dalam hal ini diharapkan mengedepankan azas kepentingan terbaik bagi anak dan sebisa mingkin menjauhkan anak dari proses hukum formal.
c.       Instruksi lesan dari Kapolri bahwa diskresi kepada para pengguna narkoba anak- anak , jangan diperlakukan sebagai tersangka, karna mereka lebih layak disebut korban.

No comments:

Post a Comment