Penahanan yang Selalu Dilakukan Terhadap ABH
Penahanan pada tersangka anak hanya
merupakan upaya terakhir (ultimum
remidium) sebagai mana tertuang dalam Undang- Undang no 39 Tahun 1999
tentang HAM, Undang- Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Konvensi hak Anak. Di sana penangkapan, penahanan dan atau pemidanaan penjara
bagi tersangka anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan
hanya dilaksanakan sebagai upaya hukum terakhir dan sesingkat- singkatnya. Jika
penahanan dilakukan , penyidik wajib memisahkan anak dari tahanan dewasa dan
tetap memenuhi hak- hak anak.
Pada setiap surat perintah penahanan yang
disampaikan penyidik, umumnya perintah penahanan didasarkan pada tiga alasan
yaitu:
a.
Dikhawatirkan tersangka akan melarikan
diri.
b.
Tersangka dikhawatirkan akan
menghilangkan barang bukti.
c.
Tersangka dikhawatirkan akan mengulangi
lagi tindak pidana.
Ketiga alasan ini menjadi alasan umum yang berdasar pada KUHAP pasal 21
ayat (1). Kenyataannya penangguhan penahanan terhadap tersangka anak yang
melakukan tindak pidana sangat sulit, meskipun ada jaminan dari pengacara dan
orang tua.
Penahanan bagi anak juga mengakibatkan
cidera fisik, psikis dan sosial.
a.
Cidera fisik
Terjadi akibat
penganiayaan oleh sesame tahanan karena tahanan anak dicampur dengan tahanan
dewasa. anak- anak sering menjadi objek kekerasan fisik dan bahkankekerasan seksual.
Ruang tahanan yang sempit dan sangat jauh dari standar kesehatan yang layak
semakin memperparah kondisi fisik anak. Anak- anak gampang tertular penyakit
dari tahanan lain.
b.
Cidera psikis
Penanahan
membuat anak menjadi stress, depresi dan mengalami tekanan psikis.
c.
Cidera sosial
Cidera sosial
terjadi ketika anak- anak yang pernah masuk penjara sulit diterima masyarakat.
Masyarakat cenderung akan mengucilkan dan menstigma anak sebagai orang jahat
yang perlu untuk dijauhi.
Penahanan
terhadap anak bermasalah dengan hukum juga harus mempertimbangkan kepentingan
anak- anak dan masyarakat. Tempat tahanan anak harus dipisahkan dengan tempat
tahanan orang dewasa. Selama dalam masa tahanan , kebutuhan jasmani, rohani dan
social anak harus tetap terpenuhi. Penahanan terhadap anak paling lama adalah
15 hari. Jika dibutuhkan lagi demi kepentingan pemeriksaan bias dilakukan
perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 30 hari. Jika
dalam penambahan waktu hakim belum memutuskan maka anak yang bermasalah
tersebut harus dikeluarkan.
Setiap anak yang
ditangkap dan ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih
penasehat hukum. Pejabat yang melakukan penangkapan wajib memberitahukan kepada
tersangka dan orang tua , wali atau orang tua asuh mengenai hak memperoleh
bantuan hukum dan juga berhak untuk berhubungan langsung dengan penasehat hukum
Instrumen Undang- Undang No 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak sebenarnya mempunyai tujuan mulia untuk memberikan perlindungan
khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Namun undang- undang ini
masih mempunyai problem serius, secara substantive masih terikat pada KUHP dan
menyatakan hanya pasal 45- 47 saja yang tidak berlaku.
Secara
yuridis pasal- pasal lain yang mengatur tentang ketentuan pidana (pasal 10-43),
ketentuan tentang percobaan (pasal 53 dan 54), tentang penyertaan (pasal
55-56), tentang concursus, alasan penghapus pidana, alasan hapusnya kewenangan
menuntut dan menjalankan pidana masih berlaku. Apalagi dalam Buku II dan Buku
III KUHP yang didalamnya ada ketentuan tentang pengulangan (recidive) tetap berlaku karna ketentuan
itu memang tidak diatur dalam Undang- Undang No 3 Tahun 1997. Kelemahan
mendasar dari Undang- Undang No 3 Tahun 1997 adalah tidak adanya pengaturan
tentang diversi.
Kata Restorative dapat diartikan sebagai obat yang menyembuhkan atau
menyegarkan. Sedangkan Restorative
Justice dimaknai sebagai penyelesaian suatu tindak pidana tertentu yang
melibatkan semua pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama mencari pemecahan
dan sekaligus mencari penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya
tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya di masa datang.
Proses ini pada dasarnya dilakukan
melalui diskresi dan diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana ke
luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui
musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di
Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua
perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan
keseimbangan atau pemulihan keadaan.
Program diversi
dapat menjadi bentuk restoratif
justice jika :
a.
Mendorong anak untuk bertanggung
jawab atas perbuatannya.
b.
Memberikan kesempatan bagi anak
untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si
korban.
c.
Memberikan kesempatan bagi si
korban untuk ikut serta dalam proses.
d.
Memberikan kesempatan bagi anak
untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga.
e.
Memberikan kesempatan bagi
rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak
pidana.
Prinsip- prinsip dasar
Diversi :
a.
Anak tidak boleh dipaksa bahwa
ia telah melakukan tindakan tertentu.
b.
Program diversi hanya dilakukan
terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan, namun
tidak boleh adanya suatu pemaksaan.
c.
Pemenjaraan tidak dapat menjadi
bagian dari diversi karena mekanisme dan strukturnya tidak memperbolehkan
pencabutan kebebasan dalam segala
bentuk.
d.
Adanya kemungkinan penyerahan
kembali ke pengadilan bila tidak ada solusi yang dapat diambil.
e.
Anak tetap dapat mempertahankan
haknya untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali.
f.
Tidak boleh adanya
diskriminasi.
Pelaksanaan
metode sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya demi mencapai
kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
Dengan kata lain, diversi tersebut berdasarkan pada perlindungan anak dan
pemenuhan hak-hak anak (protection child
and fullfilment child rights based approuch)
Walaupun penanganan anak yang berhadapan dengan hukum belum
sensitive terhadap hak- hak anak secara keseluruhan, namun beberapa hal di atas
telah menunjukkan bahwa institusi kepolisian telah membuat sedikit langkah maju
dibanding kejaksaan dan pengadilan. Hal ini terbukti dengan adanya hal yang
sempat penulis catat yaitu :
a.
Tahun 2004 Mabes Polri
bekerjasama dengan UNICEF menyusun Manual Pelatihan untuk Polisi dalam
Penanganan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
b.
Tahun 2006 Kapolri mengeluarkan
perintah kepada seluruh Kapolda melalui TR No. Pol. 1124/XI/2006 tentang
penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum di tingkat penyidik. Penyidik
dalam hal ini diharapkan mengedepankan azas kepentingan terbaik bagi anak dan
sebisa mingkin menjauhkan anak dari proses hukum formal.
c.
Instruksi lesan dari Kapolri
bahwa diskresi kepada para pengguna narkoba anak- anak , jangan diperlakukan
sebagai tersangka, karna mereka lebih layak disebut korban.
No comments:
Post a Comment