Monday 25 November 2013

Pemberitaan Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Terlalu Vulgar Di Media Masa

Pemberitaan tentang kasus kecelakaan maut yg melibatkan AQJ, anak musisi Ahmad Dhani tidak pernah habis diberitakan oleh sejumlah media. Bahkan, pemberitaan tersebut cenderung sudah sangat vulgar. Pemberitaan media massa terhadap kasus yang menimpa AQJ sudah mengarah kepada bentuk pengadilan semu dan mengarah kepada eksploitasi berantai terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).

Penayangan wajah utuh dan identitas lengkap yang berulang-ulang tentu akan sangat mempengaruhi aspek psikis AQJ dan dampaknya sangat panjang. Bahkan akan menghambat proses rehabilitasi mental AQJ. Bagaimanapun dia masih kategori anak-anak, yang harus menyongsong masa depan yang panjang.

Sepatutnya semua pihak untuk menahan diri dan tetap menghargai hak-hak konstitusi AQJ sebagai anak-anak. Karena itu, Samsul berharap media massa secara perlahan mengurangi ekpose berlebih, serta komentar yang cenderung menghakimi dan hak privasi lainnya.

Karena hal itu jelas-jelas bertentangan dengan hak anak sebagaimana bunyi UU perlindungan anak. Pernyataan ini sebagai bagian komitmen kami dalam penegakan hak-hak anak di Indonesia. Karena dalam perspektif hak anak, sekalipun anak sebagai 'pelaku', namun ia tetaplah disebut korban.

AQJ sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tabrakan di jalan tol Jagorawi, hari Minggu lalu. Dalam kecelakaan tersebut, enam orang tewas. Ayah AQJ, Ahmad Dhani sudah berjanji akan memberikan bantuan kepada anak-anak dari korban yang tewas dalam melanjutkan pendidikan.
Arrahmah.com) – Kecelakaan maut di tol Jagorawi yang melibatkan anak musisi Ahmad Dani, Abdul Qodir Jaelani (Dul) beberapa waktu lalu menyisakan cerita yang berimbas pada banyak hal terutama pada masalah kasus pidana anak. Seperti diketahui kecelakaan maut ini menelan korban yang menewaskan 7 orang dan 8 lainnya luka-luka. Bahkan Polisi sudah menetapkan Dul sebagai tersangka kasus kecelakaan ini. Banyak pihak yang menilai status tersangka yang disandang oleh Dul, masih terlalu dini. Banyak yang berharap, jika pihak yang berwajib bisa menemukan solusi lain.
Dikutip dari republika.co.id (Selasa, 17/09/2013) Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kakanwil Kemenkumham Jawa Barat Agus Anwar menyatakan kasus kecelakaan maut di Tol Jagorawi yang melibatkan anak bungsu musisi Ahmad Dhani yaitu Abdul Qodir Jaelani (13 tahun) dan telah mengakibatkan tujuh orang meninggal dunia, tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyantuni keluarga korban semata. Tetapi pidananya harus tetap dipertanggungnjawabkan walaupun perdatanya sudah selesai dengan cara menyantuni keluarga korban.
Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya AKBP Sambodo Purnomo mengatakan Undang-Undang Lalu Lintas dan Jalan tidak mengenal pelimpahan pidana dari anak kepada orang tuanya. Jadi tidak bisa orang tua disalahkan dalam kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anaknya. Yang dianggap bertanggung jawab dan ditetapkan tersangka tetap anaknya meskipun masih di bawah umur.  (antaranews.com, Selasa 17 September 2013)
Komisioner KPAI, Asrorun Niam Sholeh mendorong agar penyelesaian kasus kecelakaan yang melibatkan putra Ahmad Dhani, Dul, di luar peradilan pidana. Cara ini, menurut komisioner KPAI bisa ditempuh jika ada kesepakatan antara pelaku dan korban kecelakaan maut di tol Jagorawi itu. Ini ditujukan untuk semata-mata merealisasikan tujuan hukum, yaitu keadilan dan kemaslahatan anak. Menurut Niam, polisi dapat menggunakan deskresi dan kewenangannya untuk menyelesaikan kasus ini di luar proses hukum formal dan mengesampingkan proses hukum pidana terkait kecelakaan. Jika keluarga korban setuju.
Hal ini kontradiktif dengan fakta yang pernah terjadi di Sumut. Putusan Pengadilan Negeri (PN) Pematangsiantar, Sumatera Utara (Sumut) mengejutkan pemerhati anak dan pejuang HAM. Sebab hakim menjatuhkan vonis 66 hari penjara bagi anak berusia 11 tahun.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma Hal ini bertolak belakang dengan putusan MK tentang batas usia anak (detikcom, Jumat (7/6/2013). Vonis ini dijatuhkan oleh hakim tunggal Roziyanti kepada bocah berusia 11 tahun pada Rabu (5/6). Bocah itu dikenai hukuman 66 hari karena melanggar 363 ayat 1 ke 4 e KUHPidana juncto Pasal 4 UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Menurutnya Hal ini bertentangan dengan putusan MK tertanggal 24 Februari 2011 yang memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun. Seharusnya, jika usia belum 12 tahun maka vonisnya dikembalikan ke orang tua atau dikembalikan ke negara. Dalam hal ini diberikan kepada Kementerian Sosial untuk mendidiknya. Bocah tersebut terlibat pencurian HP dengan temannya yang telah berusia 16 tahun. Roziyanti menjatuhkan lamanya hukuman bagi kedua terdakwa sama. Ini artinya para penegak hukum melanggar hukum. Tidak saja UU, tetapi juga konstitusi.
Buah dari sistem yang salah
Menelaah dari kasus Dul ini dan kasus kriminalitas lainnya ini banyak faktor yang melatarbelakanginya seperti ekonomi, keluarga/lingkungan, dan lain-lain. Dalam kasus Dul ini faktor keluargalah  yang paling mengedepan sehingga kasus ini terjadi, selain itu faktor lingkungan juga sangat berperan sehingga hal ini terjadi. Lingkungan adalah tempat perkembangan sosial, dan pada fase inilah saatnya remaja telah mengalami perkembangan kemampuan untuk memahami orang lain (social cognition) dan menjalin persahabatan. Remaja memilih teman yang memiliki sifat dan kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya, misalnya sama hobi, minat, sikap, nilai-nilai, dan kepribadiannya.
Seperti diketahui bahwa Dul telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan maut ini. Jika dicermati dari fakta di atas dalam menyikap sanksi bagi anak yang melakukan kriminalitas, tidak lain dan tidak bukan bahwa sistem sanksi dalam demokrasi memungkinkan adanya kompromi. Sehingga dapat menimbulkan kontradiksi di antara kasus itu sendiri. Pidana Abdul Qodir Jaelani (Dul) tidak seharusnya berbeda dengan yang terjadi di Sumut, karena pelakunya sama-sama masih ABG. Tapi pemberlakuan hukum yang diterima berbeda. Dalam hal ini harus dilihat secara general, tentang persamaan perlakuan hukum yang ditilik dari usia pelaku meski jenis kasusnya memang berbeda
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2013/09/20/anak-berlaku-kriminal-bertanggungjawab.html#sthash.2rROBsKV.dpuf
Arrahmah.com) – Kecelakaan maut di tol Jagorawi yang melibatkan anak musisi Ahmad Dani, Abdul Qodir Jaelani (Dul) beberapa waktu lalu menyisakan cerita yang berimbas pada banyak hal terutama pada masalah kasus pidana anak. Seperti diketahui kecelakaan maut ini menelan korban yang menewaskan 7 orang dan 8 lainnya luka-luka. Bahkan Polisi sudah menetapkan Dul sebagai tersangka kasus kecelakaan ini. Banyak pihak yang menilai status tersangka yang disandang oleh Dul, masih terlalu dini. Banyak yang berharap, jika pihak yang berwajib bisa menemukan solusi lain.
Dikutip dari republika.co.id (Selasa, 17/09/2013) Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kakanwil Kemenkumham Jawa Barat Agus Anwar menyatakan kasus kecelakaan maut di Tol Jagorawi yang melibatkan anak bungsu musisi Ahmad Dhani yaitu Abdul Qodir Jaelani (13 tahun) dan telah mengakibatkan tujuh orang meninggal dunia, tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyantuni keluarga korban semata. Tetapi pidananya harus tetap dipertanggungnjawabkan walaupun perdatanya sudah selesai dengan cara menyantuni keluarga korban.
Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya AKBP Sambodo Purnomo mengatakan Undang-Undang Lalu Lintas dan Jalan tidak mengenal pelimpahan pidana dari anak kepada orang tuanya. Jadi tidak bisa orang tua disalahkan dalam kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anaknya. Yang dianggap bertanggung jawab dan ditetapkan tersangka tetap anaknya meskipun masih di bawah umur.  (antaranews.com, Selasa 17 September 2013)
Komisioner KPAI, Asrorun Niam Sholeh mendorong agar penyelesaian kasus kecelakaan yang melibatkan putra Ahmad Dhani, Dul, di luar peradilan pidana. Cara ini, menurut komisioner KPAI bisa ditempuh jika ada kesepakatan antara pelaku dan korban kecelakaan maut di tol Jagorawi itu. Ini ditujukan untuk semata-mata merealisasikan tujuan hukum, yaitu keadilan dan kemaslahatan anak. Menurut Niam, polisi dapat menggunakan deskresi dan kewenangannya untuk menyelesaikan kasus ini di luar proses hukum formal dan mengesampingkan proses hukum pidana terkait kecelakaan. Jika keluarga korban setuju.
Hal ini kontradiktif dengan fakta yang pernah terjadi di Sumut. Putusan Pengadilan Negeri (PN) Pematangsiantar, Sumatera Utara (Sumut) mengejutkan pemerhati anak dan pejuang HAM. Sebab hakim menjatuhkan vonis 66 hari penjara bagi anak berusia 11 tahun.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma Hal ini bertolak belakang dengan putusan MK tentang batas usia anak (detikcom, Jumat (7/6/2013). Vonis ini dijatuhkan oleh hakim tunggal Roziyanti kepada bocah berusia 11 tahun pada Rabu (5/6). Bocah itu dikenai hukuman 66 hari karena melanggar 363 ayat 1 ke 4 e KUHPidana juncto Pasal 4 UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Menurutnya Hal ini bertentangan dengan putusan MK tertanggal 24 Februari 2011 yang memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun. Seharusnya, jika usia belum 12 tahun maka vonisnya dikembalikan ke orang tua atau dikembalikan ke negara. Dalam hal ini diberikan kepada Kementerian Sosial untuk mendidiknya. Bocah tersebut terlibat pencurian HP dengan temannya yang telah berusia 16 tahun. Roziyanti menjatuhkan lamanya hukuman bagi kedua terdakwa sama. Ini artinya para penegak hukum melanggar hukum. Tidak saja UU, tetapi juga konstitusi.
Buah dari sistem yang salah
Menelaah dari kasus Dul ini dan kasus kriminalitas lainnya ini banyak faktor yang melatarbelakanginya seperti ekonomi, keluarga/lingkungan, dan lain-lain. Dalam kasus Dul ini faktor keluargalah  yang paling mengedepan sehingga kasus ini terjadi, selain itu faktor lingkungan juga sangat berperan sehingga hal ini terjadi. Lingkungan adalah tempat perkembangan sosial, dan pada fase inilah saatnya remaja telah mengalami perkembangan kemampuan untuk memahami orang lain (social cognition) dan menjalin persahabatan. Remaja memilih teman yang memiliki sifat dan kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya, misalnya sama hobi, minat, sikap, nilai-nilai, dan kepribadiannya.
Seperti diketahui bahwa Dul telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan maut ini. Jika dicermati dari fakta di atas dalam menyikap sanksi bagi anak yang melakukan kriminalitas, tidak lain dan tidak bukan bahwa sistem sanksi dalam demokrasi memungkinkan adanya kompromi. Sehingga dapat menimbulkan kontradiksi di antara kasus itu sendiri. Pidana Abdul Qodir Jaelani (Dul) tidak seharusnya berbeda dengan yang terjadi di Sumut, karena pelakunya sama-sama masih ABG. Tapi pemberlakuan hukum yang diterima berbeda. Dalam hal ini harus dilihat secara general, tentang persamaan perlakuan hukum yang ditilik dari usia pelaku meski jenis kasusnya memang berbeda
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2013/09/20/anak-berlaku-kriminal-bertanggungjawab.html#sthash.2rROBsKV.dpuf

No comments:

Post a Comment