Saturday 30 November 2013

Tentang Keberadaan Penjara Anak

KASUS kecelakaan yang dialami AQJ alias Dul (13), anak bungsu musisi Ahmad Dhani menggulirkan berbagai perspektif hukum. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berpandangan bahwa kasus Dul lebih baik tidak diproses ke pengadilan.
Kalau pun dihukum, Dul tak perlu dipenjara lebih baik ditempatkan di panti rehabilitasi. KPAI mempertimbangkan aspek psikologis tumbuh kembang anak ke depan. Bahkan, KPAI berwacana lebih baik keberadaan penjara anak dibubarkan.
Wacana itu mengundang banyak pertanyaan, mengapa KPAI baru kali ini berbicara pembubaran penjara anak? Ketika kasus pidana anak-anak lainnya, yang bukan anak seorang tokoh terkenal atau selebritas, KPAI tak begitu berbicara banyak ke media.
Jauh-jauh hari sudah disampaikan termasuk perubahan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak,
kasus hukum pada anak berbeda penanganannya dengan kasus orang dewasa. Bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, sebaiknya menggunakan sistem restorative justice (bersifat pemulihan), bukan retributive justice (bersifat pembalasan). Dengan restorative justice, penyelesaian masalah dilakukan antara kedua belah pihak yaitu pelaku dan korban.
Seorang anak melakukan tindak pidana, tidak serta merta dilihat sebagai pelaku. Tapi dia juga seorang korban dari kondisi keluarga atau lingkungannya.
Ada pun berkaitan dengan penjara anak, hal itu lebih bersifat pembalasan, bukan pembinaan pada anak. Dalam undang-undang sudah jelas disebutkan, adanya lembaga khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Dalam ketentuan undang-undang masih mengatur adanya pidana anak. Sepanjang itu masih ada, maka tetap ada penjara anak.
Penjara anak berbeda dengan yang lain, karena di dalamnya ada unsur pembinaan, seperti hak bersekolah mulai SD sampai SMA melalui tempat kegiatan belajar mengajar (TKBM).  Sejauh ini, anak-anak yang masuk lapas karena kasus pencurian, narkotika, dan ada pula kasus pembunuhan.
Apakah hukum Indonesia mengatur sanksi kerja sosial bagi anak-anak ketimbang hukuman penjara? Hal itu memang bisa dilakukan, tapi saat ini belum bisa berjalan.  Tapi, ada beberapa narapidana anak yang dimasukkan ke pondok pesantren atau panti rehabilitiasi karena pidana bersyarat. Untuk mengurangi jumlah narapidana anak, pihaknya juga mengeluarkan remisi. Diharapkan anak tidak tinggal lama di penjara, karna sejatinya pendidikan terbaik untuk anak itu adalah keluarga.
Bagi anak-anak yang bermasalah hukum perlu mempertangungjawabkan perbuatannya di dalam lapas. Penjara anak masih diperlukan, tapi harus ada mekanisme lain. Ada sistem yang aman dan proses rehabilitasi yang lebih baik. Sebaiknya tidak terlalu latah dengan wacana pembubaran itu. Dikarenakan, kata dia, tidak setiap kasus pidana anak harus diselesaikan secara restorative justice.
Dalam kasus pidana anak, perlu melihat sisi korban. Jika suatu perbuatan menimbulkan korban jiwa, perlu ada ganti rugi baik secara materiil maupu immateriil. Yang agak susah adalah bagaimana mengembalikan kerugian immateriil itu.


No comments:

Post a Comment