Penyelesaian
secara Restorative Justice berbeda
dengan proses peradilan konvensional. Pengadilan konvensional merupakan pengadilan yang
menentukan kesalahan dan mengusrus kerusakan
/ penderitaan yang dialami seseorang atau beberapa orang dalam sebuah
forum antara pelaku tindak pidana dan Negara yang dilangsungan dengan aturan
yang sistemik.
Dalam
penanganan kasus anak yang berhadapan dengan hukum bentuk Restorative Justice merupakan
proses penyelesaian yang dilakukan di luar system peradilan pidana ( Criminal Justice System) dengan
menggunakan reparative board / youth panel, yaitu suatu penyelesaian perkara
tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban ,
masyarakat, mediator dan aparat penegak hukum yang berwenang secara bersama
merumuskan sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau
masyarakat untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian. Mediasi sebagai salah satu sarana penerapan
restorative justice dalam perkara
anak perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas. Diperlukan peningkatan
sumber daya manusia aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH
melalui sosialisasi, pendidikan dan pelatihan khusus agar mereka dapat memahami
wujud dari peradilan anak dan hak-hak anak yang tertuang dalam Undang-Undang
Pengadilan Anak sehingga hak hak anak pelaku tindak pidana dapat dilindungi dan
ditegakkan.
Syarat
utama dari penyelesaian melalui mediasi adalah
a. Adanya pengakuan dari pelaku
b. Adanya
persetujuan dari pelaku beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaikan
perkara melalui muyawarah pemulihan, proses peradilan baru berjalan.
c. Persetujuan
dari pihak aparat penegak hukum.
d. Dukungan
dari masyarakat.
Dampak yang ditimbulkan dalam mediasi sangat signifikan dalam proses penegakan,
walaupun mungkin menyimpang dari prosedur legal
system. Penyelesaian perkara pidana melalui mediasi tidak dapat dilepaskan
dari cita hukum yang didasarkan pada landasan filsafat hukum yaitu keadilan (law is justice), dan asas hukum proses
penyelesaian perkara yang mengacu pada sumber hukum tertulis dan sumber hukum
tidak tertulis.
Oleh karena itu pola mediasi yang
diterapkan harus mengacu pada nilai-nilai keadilan, nilai kepastian hukum dan
kemanfaatan. Sedangkan norma hukum yang diterapkan harus mempertimbangkan
landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Hal- hal yang perlu
dipertimbangkan dalam untuk menerapakan Restorative
Justice adalah
a. Kasus
anak yang melakukan tindak pidana tersebut bukan merupakan suatu hal yang
mengorbankan kepentingan orang banyak
b. Bukan merupakan pelanggaran lalulintas
c. Baru
pertama kali dilakukan dan tidak menyebabkan hilangnya nyawa orang atau cacat
d. Bukan
merupakan kejahatan seksual misalnya perkosa
Adapun sebagai mediator dalam musyawarah
dapat diambil dari tokoh masyarakat yang terpercaya dan jika kejadiannya di
sekolah, dapat dilakukan oleh kepala sekolah atau guru.
Restorative
Justice adalah sebuah teori yang
menekankan pada pemulihan kerugian yang disebabkan atau ditimbulkan oleh
perbuatan pidana. Pemulihan kerugian ini akan tercapai dengan adanya proses- proses
kooperatif yang mencakup semua stakeholder
(pihak yang berkepentingan). Tindakan –tindakan dan program-program yang
merefleksikan tujuan restorative akan
dapat menyelesaikan kejahatan dengan cara:
a. Mengidentifikasi
dan mengambil langkah- langkah untuk memulihkan kerugian.
b. Melibatkan
semua stakeholder.
c. Merubah
hubungan tradisional antara masyarakat
dan pemerintah dalam mengatasi kejahatan.
Konsep- konsep tersebut merupakan bagian dari prinsip Restorative Justice yang dituangkan
dalam Declaration of Basic Principles of
Justice of Crime and Abuse of Power 1985.Prinsip tersebut kemudian
dikembangkan oleh The UN Commissionson
Crime Prevention and Criminal Justice sebagai paduan internasional untuk
membentuk negara- negara yang mnenjalankan program Restorative Justice.
Dengan menggunakan metode restorative justice, hasil yang
diharapkan ialah:
a. Berkurangnya
jumlah anak anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara.
b. Menghapuskan
stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat
berguna kelak di kemudian hari.
c. Pelaku
pidana anak dapat menyadari kesalahannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya
d. Mengurangi
beban kerja Polisi, Jaksa, Rutan, Pengadilan dan Lapas
e. Menghemat
keuangan negara dan tidak menimbulkan rasa dendam karna pelaku telah dimaafkan oleh korban.
John Braitwhite berpandangan bahwa Restorative Justice adalah proses di
mana semua pihak yang terlibat pelanggaran tertentiu bersama- sama memecahkan
secara kolektif bagaimana untuk menghadapi akibat pelanggaran dan implikasinya
untuk waktu yang akan datang. Tujuannya adalah untuk memulihkan harmoni atau keseimbangan
karna hukum telah ditegakkan.[1]
Restorative
Justice dapat dilihat dan dirasakan dalam bentuk :
a.
Hadirnya kelembagaan baru
melengkapi lembaga yang sudah ada.
b.
Cara pandang, motivasi,
semangat yang tumbuh dikalangan pelaksana peradilan.
c. Peraturan, regulasi atau
manual yang baru atau khusus.
Restorative justice dapat
diimplementasikan dalam penyelesaian perkara melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR adalah tindakan
memberdayakan penyelesaian alternatif di luar pengadilan melalui upaya damai
yang lebih mengedepankan prinsip win-win solution, dan dapat dijadikan sarana
penyelesaian sengketa disamping penyelesaian sengketa di pengadilan.
Dalam proses peradilan harus berjalan proses
yang diharapkan adalah proses yang dapat memulihkan, artinya perkara betul
betul ditangani oleh aparat penegak hukum yang mempunyaai niat, minat,
dedikasi, memahami masalah anak dan telah mengikuti pelatihan restorative justice serta penahanan
dilakukan sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar
dan konvensi tentang Hak - hak Anak yang telah diadopsi kedalam undang-undang
perlindungan anak.
Perlu kita pikirkan bersama bahwa persoalan pemidanaan anak sangat
serius karena :
a.
Dalam
proses peradilan cenderung terjadi pelanggaran hak asasi manusia bahkan banyak
bukti menunjukkan ada praktek kekerasan dan penyiksaan terhadap anak yang masuk
dalam mesin peradilan.
b.
Perspektif
anak belum mewarnai proses peradilan.
c.
Penjara
yang menjadi tempat penghukuman anak terbukti bukan merupakan tempat yang tepat
untuk membina anak mencapai proses pendewasaan yang diharapkan.
d.
Selama
proses peradilan anak yang berhadapan dengan hukum kehilangan hak-hak dasarnya
seperti komunikasi dengan orang tua, hak memperoleh pendidikan, dan hak
kesehatan.
e.
Ada
stigma yang melekat pada anak setelah selesai proses peradilan sehingga akan
menyulitkan dalam perkembangan psikis dan sosial ke depannya.
Restorative justice dianggap sebagai cara
berfikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan
oleh seorang dengan menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam
keterlibatan yang langsung dari para pihak sehungga korban mampu untuk untuk
mengembalikan unsur control, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung
jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh
tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya.
Keterlibatan
komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas
akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama
sehingga dapat secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat
komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar
sesama . Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses
peradilan sekarang ini .
Penegakan hukum merupakan rangkaian
proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak menjadi tujuan
hukum secara konkrit. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral,
seperti keadilan dan kebenaran.
Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas
dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat
merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka lama mereka.
Di samping itu
juga mengupayakan untuk merestore keamanan
korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.
Manfaat
penerapan Restorative Justice ini
bagi pelaku adalah :
a. Tidak
terampas kemerdekaannya
b. Tidak
di cap buruk oleh lingkungan
c. Pelaku
dapat bertanggungjawab untuk kerugian yang ditimbulkan
d. Pelaku
memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri
e. Pelaku
dapat selalu berhubungan dengan orang tua / tidak terpisah dari orang tuanya
f.
Pelaku dapat tetap bersekolah dan melanjutkan
pendidikannya
g. Pelaku
dapat terhindar dari kemungkinan pengaruh yang lebih buruk apabila melalui
system peradilan pidana.
Manfaat Restorative Justice bagi korban adalah :
a. Korban
dapat ilut serta dalam mengambil keputusan
b. Kerugian
dapat segera dipulihkan
c. Terhindar
dari pemberitaan
Manfaat Restorative Justice bagi masyarakat :
a. Masyarakat
dapat ikut serta dalam mengambil keputusan
b. Dapat
membina anak nakal di daerahnya sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat
c. Dapat
menghindarkan konflik yang berkepanjangan antar warga
d. Dapat
menyampaikan dan mewujudkan kepentingannya
Manfaat Restorative Justice bagi aparat penegak hukum adalah dapat
mengurangi pekerjaan sehingga berkas tidak menumpuk dan menghemat dana
operasional penanganan perkara.
Proses Restorative Justice :
a.
Ketika ada laporan kepada aparat
pemerintah (RT,RW,aparat desa atau Kelurahan) tentang kasus pelanggaran oleh
anak, aparat menentukan dan menghubungi fasilitator yang dianggap cakap dalam
memfasilitasi penyelesaian kasus.
b.
Fasilitator dapat juga ditentukan ketika
kasus pelanggaran sudah diproses melalui hukum formal baik penangkapan,
penyidikan, penuntutan maupun persidangan.
c.
Fasilitator mencari informasi lengkap
tentang kasus baik dari korban maupun saksi.
d.
Fasilitator memastikan pelaku mengakui
tindakan pelanggaran yang dilakukan.
e.
Fasilitator merancang situasi dan waktu
yang tepat untuk menyelenggarakan musyawarah.
f.
Fasilitator mengundang para pihak.
g.
Fasilitator memfasilitasi jalannya
musayawarah sehingga ada perdamaian dan
dicapai kata sepakat dari korban dan pelaku.
h.
Adanya monitoring dan evaluasi sebagai
mekanisme pelaksanaan kesepakatan dan kemajuan perilaku anak.
i.
Fasilitator melakukan monitoring dan
evaluasi.
j.
Jika hasil dari monitoring dan evaluasi
tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan baik maka fasilitator mengambil
tindakan musyawarah untuk mengambil upaya tindak lanjut.
k.
Fasilitator membuat laporan dan
menyampaikannya pada semua pihak yang bermusyawarah.
Menurut
penulis jika Restorative Justice
diterapkan di peradilan Indonesia maka ada beberapa hal yang perlu untuk
diperhatikan yaitu :
a.
Korban atau keluarga korban harus
dilibatkan secara aktif sehingga pendapatnya berpangaruh terhadap tuntutan dan
putusan pengadilan.
b.
Ada peran dari pihak ketiga yang
mendorong proses perdamaian antara korban / keluarga korban, pelaku/ keluarga
pelaku serta masyarakat yang diwakili oleh tokoh masyarakat.
c.
Ditentukan batasan- batasan dan jenis
tindak pidana apa saja yang bias diberlakukan Restorative Justice.
d.
Adanya payung hukum / peraturan
perundang-undangan yang secara tegas dan jelas mengatur tentang Restorative Justice.
Adapun
upaya-upaya yang harus dilakukan agar
penerapan Restorative Justice dapat berjalan secara optimal adalah sebagai
berikut:
a.
Regulasi, yaitu dengan membentuk
peraturan yang mengakomodir tentang keadilan restorative
b.
Melakukan sosialisasi ke semua aparat
penegak hukum dan masyarakat
c.
Melakukan koordinasi dan kerja sama
antara aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), advokat, petugas Balai
Pemasyarakatan (BAPAS), petugas Rumah Tahanan (RUTAN), Kementerian Sosial,
Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, dan kementerian lainnya
yang terkait dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Koordinasi dan
kerja sama tersebut, selain untuk penyamaan persepsi juga untuk penyelarasan
gerak langkah.
d.
Perubahan paradigma
Untuk
menerapkan keadilan restoratif di
Indonesia, peranan masyarakat sangat penting. Mengubah paradigma masyarakat
dari paradigma bahwa setiap orang yang kejahatan harus dihukum menjadi
paradigma bahwa setiap orang yang melakukan kejahatan harus diselesaikan dulu
melalui musyawarah dan perdamaian.
Selain itu, perlu juga mengubah
paradigma penegak hukum agar berparadigma progresif karena perilaku penegak hukum
progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati nurani ditempatkan
sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali paradigma pembebasan itu. Dengan
begitu, paradigma hukum progresif bahwa hukum untuk manusia dan bukan
sebaliknya, akan membuat perilaku penegak hukum progresif merasa bebas untuk
mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk
mewujudkannya.
[1] John Britewhite, Restorative Justice , Assensing and
Immordest theory and Pesimistic Theory Draf
to be Susmited to Crime and Justice : Review of Research ,
University of Chicago, Press p 5
No comments:
Post a Comment