Friday 6 December 2013

Kasus AQJ AdalahPembelajaran Bagi Anak Dan Ortu

Terlepas dari segala kontroversi dan perdebatan kasus kecelakaan maut yang melibatkan AQJ, (13) alias Dul, sebaiknya menjadi pembelajaran berharga bagi anak dan orangtua. Pasalnya, saat ini diperkirakan masih banyak orangtua yang memanjakan anaknya dengan fasilitas kendaraan meski si anak masih di bawah umur dan belum memenuhi syarat untuk memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).
Anak di bawah umur belum layak mengemudikan kendaraan, karena secara emosional belum matang dan juga belum memiliki tanggung jawab, sekalipun dia sudah mahir. Jika anak-anak dibiarkan mengendarai kendaraan bermotor akan membahayakan dirinya dan orang lain, seperti kasus kecelakaan yang melibatkan AQJ.
Meski mungkin sudah mahir, AQJ tetap belum layak mengendarai mobil di jalan raya dan belum memiliki SIM. Sebab, syarat memiliki SIM harus berusia 17 tahun. Usia anak seperti AQJ memang sedang melakukan penemuan jati diri yang kemudian diadu dengan gejolak emosi yang terbilang labil.
Untuk itu, kasus AQJ ini diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga bagi orangtua agar tidak sembarangan memberikan anaknya kendaraan.
Membiarkan anak menyetir mobil di jalan raya merupakan sebuah kecerobohan. Meskipun bergelimang harta, dalam mendidik anak hendaknya kita harus bijaksana, tidak memanjakannya secara berlebihan, sehingga si anak tidak menjadi jumawa dan bangga dengan kekayaan orangtuanya. Kasus AQJ harus menjadi pembelajaran bagi anak dan orangtua. Anak-anak harus mendapat perlindungan dan juga komitmen yang kuat dalam keluarga karena orangtua sangat bertanggung jawab dalam proses tumbuh kembang anak.
Kondisi sosial seperti ini biasanya terjadi di kalangan para orangtua, terutama mereka yang memiliki ekonomi yang mapan. Memberikan mobil kepada anaknya sebagai kado ulang tahun atau prestasi tertentu tampaknya sudah menjadi tradisi. Namun, hadiah kendaraan akan menjadi masalah jika diberikan kepada anak yang usianya belum memenuhi syarat mengemudi.
Salah satu akibatnya seperti kecelakaan seperti yang sering terjadi, termasuk pada kasus AQJ. Pada sekolah-sekolah tertentu mobil telah menjadi ajang adu gengsi siswa-siswinya yang ingin show on. Pada level ekonomi menengah kebawah juga banyak orangtua yang menyetujui rengekan anaknya yang meminta dibelikan sepeda motor.
Mengendarai mobil atau sepeda motor menjadi kebanggaan tersendiri bagi remaja. Selain merasakan sensasi pengalaman baru, mobil atau sepeda motor juga menjadi bagian dari gaya hidup dan simbol status. Status yang dimaksud tidak sebatas status si anak, tetapi juga orangtuanya. Sehingga anak-anak di bawah umur, kata dia, tampak terbiasa membawa mobil atau sepeda motor, baik di kota maupun desa. Aparat terlihat membiarkan fenomena yang menambah tingkat kecelakaan lalu lintas ini dengan tidak menindak tegas pengendara cilik ini. Mereka terus mengekpresikan diri di jalan raya meski maut didepan mata.
Para orangtua pun terkesan mendukung kelakuan anak-anak mereka. Malah, di beberapa kota besar, pengemudi angkutan umum masih anak-anak di bawah umur. Protes warga atas ugal-ugalannya pengemudi di bawah umur ini masih belum ditanggapi polisi secara komprehensif.
Terkait proses hukum, dimana pihak Kepolisian akhirnya secara resmi menetapkan AQJ sebagai tersangka, Darmadi mengaku sependapat. Pasalnya, langkah kepolisian ini supaya ada shock therapy bagi AQJ khususnya, dan anak-anak lain pada umumnya. Namun, karena AQJ masih anak-anak, tentunya proses hukum harus memperhatikan aspek psikologisnya anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak.
Penegakan hukum harus ditegakan di negeri ini, tidak boleh ada diskriminasi. Sebab, semua sama kedudukannya dimata hukum. Jika tidak, maka stigma negatif penegakan hukum akan semakin menguat di mata masyarakat. Hal ini juga untuk mencegah terus berjatuhannya korban akibat maraknya anak yang belum layak mengemudikan kendaraan.
Santunan yang diberikan Ahmad Dhani, kata Darmadi, hanyalah sebuah tanggung jawab moral sebagai orangtua AQJ terhadap para keluarga korban saja, diluar proses hukum yang sedang berjalan. Pasalnya, berdasarkan ketentuan hukum pidana, kasus kecelakaan lalu lintas dibebankan pada tersangka.
Prinsipnya, dalam pidana lalu lintas proses pidana terhadap tersangka di bawah umur jalan terus. Namun, dalam proses peradilan ini bisa meringankan tindakan yang akan dikenakan terhadap anak. Meskipun ada diversi dimana kasus bisa diselesaikan di luar pengadilan. Dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penyelesaian kasus di luar peradilan atau diversi dimungkinkan asal ada kesepakatan dari pihak yang terlibat. Secara hukum kalau diversi dilakukan, santunan ini dapat meringankan anak. Setidaknya ada itikad baik dari orangtua.

No comments:

Post a Comment