Monday 9 December 2013

Prespektif Hukum Pemberantasan Korupsi

Keinginan untuk membangun sistem dan budaya hukum yang demokratis seakan mimpi belaka. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menjadi amanat reformasi, ternyata gagal. Korupsi bukannya berkurang tetapi semakin merajalela. Lahirnya otonomi daerah sebagi koreksi dari sentralisme Orde Baru yang korup justru ikut menyebarkan praktek korupsi ini. Sikap dan tindakan koruptif muncul dimana-mana, baik di eksekutif, legislatif maupun judikatif. Nyaris tidak ada ruang lagi yang bersih dari KKN di negeri ini.

Proses hukum bagi koruptor, seringkali berujung pada dua kutub penyelesaian, dihentikan penyidikan atau penuntutannya oleh kejaksaan atau dibebaskan di pengadilan oleh hakim. Banyak “koruptor” yang diperiksa oleh Kejaksaan Agung malah dihadiahi Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Bahkan atas nama “kepastian hukum” keluar Instruksi Presiden No. 8 tahun 2002 tentang kebijakan memaafkan para tersangka korupsi BLBI. Acapkali proses penegakan hukum dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, padahal UU No. 31 tahun 1999 memberikan akses bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Teori penghukuman sebagai balas dendam yang diharapkan melahirkan “efek deternt”, telah diterapkan dengan baik oleh Kejaksaan Agung. Pembebasan beberapa terdakwa yang tersangkut “kasus Bank Bali” di pengadilan, berefek tercegahnya terdakwa lain yang belum diadili untuk diadili, dihentikan penuntutannya, atau di SP3-kan oleh Kejaksaan Agung. Ironis memang. Semestinya dengan mengacu pada “kasus yang dibebaskan” itu, Kejaksaan bisa menggali lagi fakta yang dapat digunakan untuk menuntut para “koruptor” yang belum diadili, bahkan menggunakannya untuk membuka kembali (melalui Peninjauan Kembali atau instrumen hukum lainnya) perkara-perkara yang terdakwanya dibebaskan pengadilan.
Fenomena diatas menandai adanya kondisi yang memprihatinkan antara lain: Pertama, Kebijakan penegakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak berpengaruh sama sekali, baik pada tingkah laku maupun pada kerugian negara. Korupsi semakin transparan terjadi dimana-mana mengakibatkan kerugian negara terus bertambah dari tahun ke tahun. Kedua, Praktek penegakan hukum (law enforcement) yang dilaksanakan hanya normatif dan lip service saja. Koruptor dibawa ke pengadilan seolah-olah memenuhi tuntutan rasa keadilan dalam masyarakat, tanpa memperhitungkan kualitas teknis dakwaan (tuntutan). Akibatnya menghasilkan putusan yang membebaskan atau putusan yang ringan bagi para terdakwa korupsi dibandingkan dengan jumlah uang yang milyaran bahkan triliunan rupiah yang diambilnya dari uang negara. Ketiga, kebijakan penegakan hukum pemberantasan korupsi tanpa arah dan tujuan yang jelas. Aparat tidak kredibel sehingga tidak menyurutkan terjadinya korupsi itu sendiri (tidak punya efek deternt) malah sebaliknya.
Dalam konteks paradigma penegakan hukum seperti itulah “pemberantasan korupsi” ingin diletakkan. Pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan kerja berkelanjutan yang tak akan pernah selesai. Agar terfokus dan dapat mencapai sasaran yang diinginkan, maka dibutuhkan visi, misi dan sebuah strategi yang jelas.

Visi dan Misi Pemberantasan Korupsi
Korupsi sudah sedemikian akut, sistemik dan meluas sehingga merugikan negara dan perekonomian negara. Korupsi menggerogoti tatanan moral, hukum, dan ekonomi. Korupsi menegasikan (mengingkari) hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, dan memundurkan pembangunan. Karena parahnya korupsi, maka kerja memerangi tindak pidana korupsi harus menjadi urusan setiap orang (masyarakat). Kerjasama antara Pemerintah, masyarakat sipil dan dunia usaha menjadi sangat signifikan untuk dilakukan dalam menanggulangi dan memberantas korupsi. Peran masyarakat berpengaruh banyak untuk menghilangkan resistensi dari pihak-pihak di dalam masyarakat yang masih menginginkan status quo. karenanya mobilisasi masyarakat guna memberantas korupsi menjadi penting juga untuk dilakukan.
Dengan konteks hukum dan sosial yang demikian, maka visi yang diletakkan adalah: Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat agar tercipta kehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dan berkeadilan sosial.
Adapun misi pemberantasan korupsi adalah :
a. Mendorong partisipasi publik dalam penanggulangan dan pemberantasan korupsi, utamanya dalam upaya penegakan hukum yang tegas terhadap para koruptor.
b. Mendorong terciptanya aparat penegak hukum yang jujur dan bermoral dalam menjamin terwujudnya penegakan supremasi hukum berdasarkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum.

Peraturan Perundangan Pemberantasan Korupsi

Korupsi merupakan kejahatan luar biasa di bidang sosia,l ekonomi dan hak asasi manusia. Deretan aturan mengenai korupsi dalam sejarah perkembangan di Indonesia antara lain:
1. Peraturan-peraturan Penguasa Militer, yaitu:
Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Korupsi, kemudian Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-08/1957, tanggal 27 Mei 1957 tentang Pemilikan Harta Benda, juga Peraturan Penguasa Militer No.Prt/PM/011/1957, tanggal 1 Juli 1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Barang-barang.
2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. Prp/Peperpu/013/1958 tanggal 17 Maret 1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi;
3. UU No 24 tahun 1960 yang diteruskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 Tahun 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi;
4. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5. Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
6. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
7. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dibubarkan melalui judicial review putusan Mahkamah Agung No. 03/P/HUM/2000 tanggal 23 Maret 2001;
8. Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK)
9. Undang-undang No. 15 Tahun 2002 yang terakhir diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
Rangkaian aturan perundang-undangan tentang korupsi diatas menunjukkan bahwa telah terjadi perkembangan yang pesat dari praktek-praktek korupsi. Peraturan perundangan yang terus berubah agar tetap dapat mengakomodasi metoda dan cara pemberantasan korupsi. Namun aparat penegak hukum menunjukkan kinerja yang buruk. Ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum makin surut. Dan banyak lembaga atau badan antikorupsi yang sudah dibentuk gagal memberantas korupsi. KPTPK dibentuk tidak untuk mengulangi kegagalan pemberantasan korupsi di masa lalu.
Beberapa hal dalam UU No. 31 Tahun 1999 & UU N0. 20 Tahun 2001

Dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi antara lain dirumuskan dalam beberapa jenis besar perbuatan, yaitu:
- Secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan, dapat merugikan keuangan negara atau mengganggu perekonomian negara;
- Menyalahgunakan wewenang atau kesempatan atau sarana yang diberikan oleh jabatan, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan, dapat merugikan keuangan negara atau mengganggu perekonomian negara;
- Memberi atau menerima hadiah atau janji sesuatu, kepada atau dari penyelenggara negara (Pasal 2 UU No. 28 tahun 1999) dan Advokat, yang berhubungan dengan jabatannya;
Dengan rumusan ini, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat juga mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut pidana. Perbuatan melawan hukum disini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yaitu meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana sebagai tindak pidana korupsi.
Undang-undang inipun merumuskan secara tegas bahwa tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting dalam konteks pembuktian. Dengan menganut rumusan formil berarti meskipun negara belum dirugikan atau hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, tidak menghapuskan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian negara hanya berpengaruh pada jumlah hukuman atau menjadi salah satu faktor yang meringankan hukuman (Pasal 4).
Dalam UU No. 31 tahun 1999 ini juga diatur beberapa hal yang tidak diatur dalam UU No. 3 tahun 1971, antara lain perihal:
- Korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi;
- Menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana (dalam keadaan tertentu Vide asal 2 ayat (2). Demikian juga pidana penjara bagi terpidana yang tidak membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara (Pasal 18);
- Pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa apabila terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, istri / suaminya, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya (Pasal 28 dan Pasal 37);
- Peran serta masyarakat dan kesempatan yang seluas-luannya bagi masyarakat dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, dan terhadap masyarakat yang berperan serta diberikan perlindungan hukum dan penghargaan yang setinggi-tingginya (Pasal 41 dan Pasal 42);
Namun disamping mengandung banyak kelebihan, UU No. 31 tahun 1999 ini juga mengandung kekurangan, yaitu pembuat UU tidak melengkapi aturan peralihan, yaitu tidak mengatur secara tegas memberikan dasar hukum pemberlakuan UU No. 3 tahun 1971 bagi tindak pidana yang terjadi sebelum UU No. 31 tahun 1999 diundangkan. Hal ini menimbulkan kontroversi yang mewarnai perdebatan dan perbedaan penafsiran diantara praktisi hukum, akademisi maupun praktek peradilan yang mengakibatkan banyak koruptor lepas dari jeratan hukum.
Kelemahan ini tidak hanya persoalan teknis hukum belaka, tetapi dengan lepasnya para koruptor juga melukai rasa keadilan dalam masyarakat, sehingga eskalasi tuntutan menuntaskan kasus-kasus korupsi dalam masyarakat semakin tinggi. Dalam rangka menegakkan supremasi hukum dan mengakhiri kontroversi serta memenuhi tuntutan masyarakat UU No. 31 tahun 1999 diamandemen oleh UU No. 20 tahun 2001.
Beberapa pokok perubahan yang diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001, antara lain:
1. Penyebutan langsung unsur-unsur pasal dalam KUHP, yaitu penyebutan pasal 209, 210, 387, 388, 415 sampai dengan 420, 423, dan Pasal 425 atau 435 menjadi Pasal 5 sampai dengan Pasal 13;
2. Ketentuan penghapusan ketentuan minimum denda dan pidana penjara yang diatur dalam Pasal 12 A;
3. Pengaturan tentang gratifikasi, yang diartikan sebagai hadiah yang diberikan kepada pegawai / penyelenggara negara diluar gaji yang diterima, baik berupa uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainya (Pasal 12 B). Kelemahan perumusan secara limitatif dalam Pasal 12B ini menimbulkan tafsiran pemberian lain yang tidak tegas dilarang diperbolehkan, kalimat “dan fasilitas lainnya” justru dikawatirkan menimbulkan keraguan yang mengakibatkan perbedaan penafsiran.
Gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara apabila berhubungan dengan jabatannya dianggap sebagai pemberian suap yang diancam pidana seumur hidup atau pidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun ditambah denda minimal Rp.200 juta dan maksimal Rp.1 Milyar;
4. Perluasan alat bukti, yang diatur dalam Pasal 26A;
Dalam upaya untuk mendukung penerapan sistem pembuktian terbalik, telah ditetapkan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk, sehingga khusus dalam tindak pidana korupsi alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk selain yang ditetapkan dalam Pasal 188 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
5. Sistem “pembuktian terbalik” sebagai premium remedium;
Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, pemberantasannya harus dilakukan dengan cara penerapan “sistem pembuktian terbalik” yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Terdakwa dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi, kecuali mampu dibuktikan sebaliknya. Jika Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara mempunyai kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber pendapatannya, maka wajib membuktikan sahnya kekayaan yang diperoleh, jika tidak maka data tentang kekayaan itu digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi;
Sebagai konsekuensi dari sistem pembuktian terbalik, kepada terdakwa diberikan hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagai keseimbangan antara pelanggaran asas praduga tak bersalah dengan perlindungan hukum yang wajib diberikan kepada setiap orang;
6. Hak negara melakukan gugatan perdata kepada terpidana atau ahli warisnya (pasal 38C). Dasar filosofi hak negara memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang nyata-nyata dengan sengaja telah menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal ddari tindak pidana korupsi;
7. Penegasan teradap pemberlakuan UU No. 3 tahun 1971 dan UU no. 31 tahun 1999. Pernyataan pemberlakuan kedua UU ini adalah untuk menjamin kepastian hukum dan kekosongan hukum serta perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

Hambatan dalam penegakkan hukum pemberantasan korupsi

Dalam praktek penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi utamanya penuntutan di pengadilan, seringkali terjadi kendala-kendala atau hambatan yang menyebabkan terjadinya pembebasan atau pelepasan para koruptor, sehingga ada benarnya sementara orang mengatakan bahwa pengadilan adalah “mesin cuci” yang membersihkan para koruptor. Kendala dan hambatan itu antara lain:
1. Instrumen Hukum atau Perundang-Undangan.
Ketentuan dalam undang-undang pemberantasan korupsi seringkali tidak terlalu jelas atau setidaknya mebuka peluang terjadinya penafsiran lain dari yang seharusnya, sehingga dalam praktek seringkali menguntungkan para koruptor. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran beberapa unsur tindak pidana maupun yang menyangkut asas legalitas, sebagai contoh antara lain:
a. Unsur melawan hukum
Dalam konteks unsur “melawan hukum”, doktrin maupun praktek hukum memaknainya selain melawan hukum dalam arti formal melanggar peraturan perundang-undangan (hukum positif), juga melawan hukum dalam arti material yaitu bertentangan dengan norma-norma kepatutan, kesusilaan. Pada kenyataannya, seringkali sulit membuktikan adanya sauatu tindakan “melawan hukum dalam arti materiil” dalam suatu tindak pidana korupsi, karena seringkali para “aktor korupsi” pandai memanfaatkan sistem hukum yang ada. Instrumen hukum perdata “perjanjian” yang prinsip utamanya penerapan “asas konsensualitas” seringkali digunakan untuk mengkuras habis uang negara, walaupun secara kasat mata “perjanjian” tersebut bertentangan dengan norma kepatutan, dan Terdakwa dibebaskan. Sementara itu dalam konteks pengembalian kerugian negara penyelesaian dengan moda perdata akan cukup memakan waktu relatif lama dan penyelesaian dengan moda ini seringkali juga dihadapkan dengan ketidak pastian hukum seperti tidak pastinya “defenisi utang” dalam kepailitan.
b. Unsur penyalahgunaan wewenang karena jabatan;
Dalam konteks unsur “penyalah gunaan wewenang karena jabatan” dalam praktek tidak jarang tindakan ini dibungkus dengan peraturan perundangan yang menjadi otoritas dari jabatan tersebut, sebuah keputusan yang bersifat publik, seringkali dikesampingkan bahkan dibatalkan oleh sebuah keputusan pejabat publik yang sama karena adanya kepentingan melindungi, memberi konsesi atau membenarkan suatu tindakan pihak-pihak tertentu, tanpa mempertimbangkan adanya potensi kerugian pada negara. Hal ini biasanya terjadi pada institusi-institusi yang berkaitan dengan bidang ekonomi utamanya bidang perbankan dan keuangan. Tentu saja jika tidak secara jeli ditelusuri akan menghilangkan sifat penyalahgunaan kewenanganya.
c. Penafsiran terhadap ketentuan dalam peraturan peralihan UU No. 31 tahun 1999 sebelum diamandemen dengan UU No. 20 tahun 2001 telah secara jelas dalam praktek menimbulkan kontroversi dan perdebatan tentang perbedaan penafsiran tentang dapat diberlakukan atau tidaknya UU No. 3 tahun 1971, yang pada akhirnya meloloskan para koruptor dari jeratan hukum.
d. Terminologi “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam pasal 80 KUHAP.
Ketentuan ini seharusnya menjadi pintu masuk bagi partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi dengan mengajukan pra-peradilan atas SP3 yang diberikan kepada para koruptor oleh kejaksaan, namun praktek peradilan atas nama kepastian hukum justru telah menutup pintu itu. Padahal dalam konteks perkara pidana pada hakekatnya yang terlanggar adalah kepentingan umum, sehingga seharusnya ada ketentuan setidaknya ada perluasan penafsiran representasi “kepentingan umum” itu tidak hanya diberikan kepada kejaksaan saja. Dalam hal penuntutan perkara korupsi dilakukan oleh KPTPK, persoalan ini bukan merupakan masalah, karena KPTPK secara tegas ditentukan tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) (Pasal 40 UU No. 20 tahun 2002).

2. Politisasi dalam Pemberantasan Korupsi.
Dari perspektif penguasa/pemerintah nampaknya berkembang asumsi bahwa peberantasan korupsi melalui penegakkan hukum mau tidak mau akan memasuki dua wilayah sekaligus yang terkadang sulit dipertemukan. Disatu sisi memasuki domein hukum, disisi yang lain memasuki domein politik. Pada domein politik pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya persoalan politcal will penguasa/pemerintah saja, tapi juga menyangkut pertimbangan lain yang berkaitan dengan resiko yang harus ditanggung pemerintah dalam hal dilakukan penuntutan. Misalnya tindakan represif terhadap pengusaha yang korup, harus mempertimbangkan jumlah tenaga kerja yang akan terkena dampak penuntutan terhadap pengusaha itu. Kesulitan menyediakan lapangan kerja merupakan beban sosial yang tinggi yang dihadapi oleh masyarakat, apalagi dihadapkan dengan anatomi dan jaringan korupsi yang terbangun sudah begitu luas sampai kedesa-desa. Dalam keadaan yang demikian penegakan hukum tindak pidana korupsi menjadi masalah politik, bukan persoalan hukum semata. Pertimbangan politik menjadi tak terhindarkan ketika pihak Eksekutif harus berhadapan dengan prinsip cost and benefit dalam penegakan hukum.

3. Moralitas Aparat Penegak Hukum.
Dalam wilayah penegakkan hukum persoalan menjadi rumit ketika berhadapan dengan wewenang penuntutan (dominus litis) dari Penuntut Umum yang sulit dikontrol oleh pihak lain. Apakah cukup alasan atau tidak membawa sebuah perkara ke pengadilan, pasal apa yang akan dijadikan dasar menuntut, alat bukti apa yang akan diajukan di persidangan, semua ini merupakan kewenangan yang tertutup dari Kejaksaan, yang sekaligus juga berpotensi untuk dimanipulasi demi keuntungan para pihak secara illegal (terdakwa dan penuntut Umum).
Demikian juga dengan kewenangan hakim di pengadilan, atas nama kebebasan kekuasaan kehakiman (independency judiciary) kewenangan itu sulit dikontrol pihak lain, sehingga potensi manipulasi tidak terhindarkan. Dalam beberapa eksaminasi publik terhadap putusan-putusan perkara korupsi, terungkap bahwa lepas bebasnya para koruptor dari penuntutan hukum kerap disebabkan oleh kurang sempurnanya dakwaan penuntut umum, kurangnya alat bukti karena kesengajaan dan putusan hakim yang tidak komprehensif dalam pertimbangan hukumnya, sehingga dapat diduga ada kepentingan untuk melepaskan / membebaskan terdakwa dengan pembenaran-pembenaran dalam pertimbangan hukumnya (judicial corruption).

Strategi pemberantasan korupsi, pembuktian terbalik dan Peranan KPTPK

Dasar pembentukan KPTPK adalah pasal 43 UU No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 yang kemudian melahirkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPTK. KPTPK merupakan lembaga independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenangnya atau anggotanya secara individual baik dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif maupun pihak-pihak yang terkait dengan semua perkara korupsi, dalam keadaan, situasi dan dengan alasan apapun. KPTPK mempunyai tugas dan wewenang yang luas, yaitu: a) melakukan koordinasi dengan dan b) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, c) melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, d) melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan e) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
KPTPK melaksanakan fungsi suvervisi terhadap instansi yang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, termasuk mempunyai wewenang pengambilalihan. Jelas KPTPK mempunyai peran yang sangat kuat (powerfull) dalam pemberantasan korupsi. Sebagai pengendali yang penuh baik pada level kebijakan maupun pada level pelaksanaan pemberantasan korupsi. Namun perlu pengawasan dan monitoring yang ketat terhadap KPTPK. Karena tidak mustahil dengan kekuasaan yang luar biasa KPTPK akan tend to corrupt juga.
Kehadiran KPTPK dalam jagad pemberantasan korupsi didasari atas kebutuhan adanya suatu lembaga yang independen dan kuat dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan metode penegakan hukum secara luar biasa. Pemberantasan korupsi tidak lagi dapat diatasi dengan cara-cara yang konvensional yang terbukti banyak mengalami berbagai hambatan, karena korupsi sudah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) yang juga harus dihadapi dengan cara-cara yang luar biasa. Dalam konteks inilah sesuai dengan apa yang telah diamanatkan UU No. 30 Tahun 2002 dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPTPK dapat menjalankan fungsinya secara optimal melalui strategi pemberantasan korupsi sebagi berikut:
1. Menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dengan institusi yang telah ada sebagai counterpartner yang kondusif sehingga kerja pemberantasan korupsi serempak dilakukan secara efektif dan efisien. Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan pembidangan kewenangan yang ada dalam KPTPK sendiri, antara lain:
a) Dengan Kepolisian dan Kejaksaan, dalam Bidang Penindakan yang membawahkan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Dengan kerjasama ini dapat dihindari KPTPK memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan;
b) Dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi dengan pencucian uang, dalam Bidang Informasi dan Data yang membawahkan kewenangan pengolahan informasi dan data, pembinaan jaringan kerja antar komisi dan instansi serta kewenangan monitoring;
c) Dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), baik dalam Bidang Penindakan dalam rangka penyidikan dan penuntutan suatu perkara maupun dengan Bidang Informasi dan Data dalam kerangka monitoring dan mencari bukti permulaan dari suatu perkara;
d) Dengan Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) maupun masyarakat umum, dalam bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat yang membawahkan kewenangan pengawasan internal dan pengaduan masyarakat, maupun dalam Bidang Pencegahan yang membawahkan kewenangan pendaftaran dan pelaporan kekayaan penyelenggara negara, gratifikasi, pendidikan dan pelayanan masyarakat;
e) Dengan Institusi lain yang relevan dan mendukung tugas-tugas KPTPK, misalkan dengan LIPI atau kampus dalam bidang penelitian dan pengembangan.
f) Tentu saja jaringan kerja dan kerjasama ini harus dibangun secara institusional, harus dihindari kerjasama individual yang berpotensi melahirkan KKN yang justru akan menghambat bahkan menggagalkan tugas-tugas KPTPK sendiri. Target KPTPK menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi yang melibatkan “aparat penegak hukum dan penyelenggara negara dan orang lain atau masyarakat yang terlibat” harus selalu menjadi koridor dalam pengertian hubungan dalam jaringan kerja tidak dapat menghalangi penuntutan terhadap penegak hukum atau pihak lain yang memang melakukan korupsi.

2. Menjadi stimulator dan pemicu dan pemberdaya institusi yang telah ada dalam gerakan pemberantasan korupsi untuk mendukung penegakan hukum. Hal ini dapat dilakukan bila KPTPK dapat melakukan:
a. Melaksanakan fungsi koordinasi dan supervisi yang ketat terhadap institusi pemberantasan korupsi, terutama kepolisian dan kejaksaan. Jika tidak terlihat keseriusan dan kesungguhan, maka jangan ragu untuk mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan atau kejaksaan;
b. Memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat (LSM) untuk berperan serta dalam pemberantasan korupsi dengan membuka akses informasi informasi dan memberikan akses bagi masyarakat untuk mengawasi kerja dan kinerja KPTPK sebagai watchdog yang sekaligus bagian dari public accountability. Dalam hal perlindungan hukum bagi masyarakat yang terkait dalam perkara baik sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli harus dilakukan secara maksimal. KPTPK bisa mendorong (preasure) diterbitkannya UU tentang Perlindungan Saksi. Karena KPTPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 maka melalui kajian dan penelitian yang mendalam KPTPK mendorong serta mengupayakan diakuinya secara hukum (legal recognation) masyarakat (LSM) sebagai pihak ketiga yang mempunyai kepentingan hukum sebagai pihak ketiga dalam praperadilan (Pasal 80 KUHAP) bagi tindak pidana korupsi yang dihentikan penyidikan atau penuntutannya oleh kejaksaan.

3. Memaksimalkan seluruh upaya pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penegakkan hukum yaitu melakukan usaha-usaha yang menggunakan secara optimal semua instrumen hukum yang luar biasa yang tersedia, seperti antara lain:
a. Perluasan sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Alat bukti yang sah berupa petunjuk perolehannya tidak hanya terbatas dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat (2) KUHAP), tetapi juga dapat diperoleh dari alat bukti lain berupa informasi dan dokumen sebagaimana ditentukan dalam Pasal 26A UU No. 31 tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 20 tahun 2001
b. Sistem Pembuktian Terbalik. Meskipun sistem yang dianut dalam UU No. 31 tahun 1999 bukan sistem pembuktian terbalik murni, tetapi sistem pembuktian terbalik premium remedium atau moderat, karena masih dibebankan kepada Penuntut Umum untuk membuktikan dakwaannya. Sistem ini membuka peluang yang sangat besar bagi pemberantasan tindak pidana korupsi secara konsisten. Kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri/suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara merupakan bukti yang memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan korupsi. Sistem pembuktian terbalik premium remedium ini tetap saja membuka peluang bagi penyelewengan. Karena pembebanan membuktikan kepada jaksa penuntut umum juga selaku penyidik yang melahirkan kewenangan kepadanya untuk dapat mengajukan atau tidak suatu perkara ke pengadilan sehingga tidak jarang dijadikan sebagai lahan subur dan basah bagi terjadinya manipulasi yang menguntungkan para pihak secara illegal (terdakwa dan jaksa penyidik/penuntut umum). Namun bagi penuntutan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPTPK (korupsi yang melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang terlibat, yang meresahkan masyarakat, dan/atau menyangkut kerugian negara minimal Rp.1 milyar) potensi penyelewengan oleh penuntut umum menjadi tertutup, karena KPTPK tidak berwenang menerbitkan SP3.
Jika saja sistem yang dianut “sistem pembuktian terbalik murni”, maka setiap orang (ic Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara dan orang-orang terkait) yang harta bendanya tidak berimbang dengan sumber pendapatannya dapat didakwa melakukan tindak pidana korupsi (presumption of guilt) tanpa kewajiban Jaksa penuntut umum membuktikannya, dan pada gilirannya akan menimbulkan efek deternt yang lambat laun dapat meciptakan kehidupan sosial bernegara yang bersih dari KKN. c. Hak negara menggugat secara perdata. Sebagai dukungan kepada sistem pembuktian terbalik premium remedium, maka penggunaan hak negara menggugat secara perdata terhadap harta-harta terdakwa yang tidak terakomodasi oleh putusan menjadi sangat signifikan bagi rasa keadilan dalam masyarakat

No comments:

Post a Comment