Tuesday 10 December 2013

Korupsi Bagaikan Penyakit Kronis Yang Sulit Disembuhkan

Peringatan Hari Antikorupsi Internasional 9 Desember 2013 ini mengingatkan 68 tahun sudah kita merdeka secara fisik. Namun sayangnya Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penyakit korupsi yang sudah terlalu lama hinggap dan menyerang seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi bagaikan penyakit kronis yang sulit disembuhkan. dapat dikatakan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah begitu meluas dan terus meningkat dari tahun ke tahun, jumlah kasus, jumlah kerugian keuangan negara maupun modus operandinya. Semakin lama penyakit ini bukan hilang, malah sebaliknya, menunjukan tanda-tanda semakin parah. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan Lembaga Transparency International Indonesia (TII) pada 2010, Indonesia menduduki peringkat 110 dari 178 negara dengan nilai indeks 2,8.Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan upaya perbaikan dalam pemberantasan korupsi.

Survey Global Corruption Barometer (GCB) 2013 yang dilakukan TII menyebutkan 3 lembaga terkorup di Asia Tenggara yakni kepolisian dengan jumlah 3,9%, parpol 3,6% dan pejabat publik 3,5%. Peradilan menempati urutan selanjutnya dengan 3,4%, serta parlemen dengan jumlah 3,3%.
Hasil survei di Indonesia memperlihatkan kepolisian sebagai lembaga terkorup dengan indikasi sebesar 4,5% yang disusul parlemen. Sementara peradilan berada di posisi ketiga dengan indikasi sebesar 4,4%, dan parpol dengan angka 4,3%.
Korupsi merupakan salah satu fenomena hukum yang mendapat prioritas negara untuk diselesaikan, dan harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Sebab, bahaya korupsi tidak hanya terkait dengan kerugian keuangan negara namun dapat mengganggu, bahkan mengguncang perekonomian negara dan stabilitas nasional, menghambat momentum pembangunan, dan menurunkan kepercayaan
masyarakat dan dunia internasional terhadap proses penegakan hukum. Sejalan dengan hal tersebut, maka penindakan dan pencegahan korupsi harus dilakukan lebih intensif, efektif, dan masif sebagai sebuah gerakan nasional.

Perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik menjadi isu yang penting dalam konteks nasional dan internasional. Sebagai contoh, krisis ekonomi yang lalu tidak terlepas dari buruknya tatakelola pemerintahan, baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Krisis keuangan global, juga tidak terlepas dari masalah ini. Karenanya, Indonesia harus menempatkan perbaikan tatakelola pemerintahan menjadi salah satu agenda perbaikan untuk mencegah krisis berulang. Wujud dari perbaikan tata kelola pemerintahan ini antara lain dapat dilihat dari penurunan tingkat korupsi dan perbaikan pelayanan publik.

Di sisi lain, Indeks persepsi korupsi harus terus membaik secara signifikan. Jika hal ini terjadi, maka akan memberikan indikasi bahwa upaya keras pemerintah dalam memperbaiki tatakelola pemerintahan beberapa tahun terakhir, telah berada dalam arah yang benar.

Corruption as Usual

Hari ini pemberantasan korupsi begitu sangat membahana dengan segala kegemuruhannya, tetapi pada sisi lain korupsi jalan terus: corruption as usual. Sama seperti pemerintahan otoriter rezim sebelumnya, pemerintahan demokratis di era Orde Reformasi pun melahirkan elite-elite penguasa yang korup dalam skala yang jauh lebih masif. Sistem politik demokrasi tak menjamin dapat menciptkan pemerintahan bersih dan terbebas dari praktik korupsi.
Sebenarnya berbagai upaya pemberantasan penyakit ini sudah dilakukan jauh-jauh hari bahkan sejak zaman Orde Lama, ketika istilah korupsi mulai dikenal. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, yang menjadi payung hukum pertama pemberantasan korupsi di Indonesia. Akan tetapi usaha pemberantasan korupsi dalam masa ini tidak sukses oleh karena pada masa itu penguasaan bisnis oleh militer dan kolusi yang dilakukan pejabat negara.
Pada masa Orde Baru, upaya pemberantasan korupsi semakin ditegaskan dengan hadirnya sejumlah langkah kebijakan, seperti pembentukan Tim Pemberantas Korupsi (TPK) melalui Keputusan Presiden No. 228 Tahun 1967. Empat tahun kemudian DPR merilis UU No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, serta sejumlah peraturan dan perundangan lain.

Korupsi Liang Kubur Kekuasaan
Peraturan tinggallah peraturan. Praktek korupsi nyatanya semakin merajalela diperparah dengan kolusi antara penguasa, penguasaha bahkan kini secara terang-terangan sudah melibatkan anggota dewan. Kini predikat korupsi yang semula identik dengan rezim Orla maupun Orba lambat laun juga disandang oleh rezim reformasi. Ini artinya kiamat moral semakin besar, liang kubur kekuasaan di depan mata.
Mungkin kita semua lupa penyakit korupsi inilah yang mengantarkan kekuasaan Orde Baru ke liang kubur, pada 1998, melalui gerakan Reformasi. Orde Reformasi yang semula hadir dengan semangat memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya kini menghadapi jalan buntu. Pemerintahan yang datang silih berganti dalam masa yang pendek (empat presidensejak 1998), belum secara signifikan menekan angka kebocoran anggaran di sana-sini. Justru, yang diingat orang mengenai korupsi pasca Reformasi adalah: "kalau pada masa Orde Lama korupsi terjadi di bawah meja, sedangkan pada masa Orde Baru transaksi korup terjadi diatas meja, maka pada era Reformasi mejanya pun ikut dikorup".
Oleh karena itu para Pemimpin negeri ini harusmemberikan contoh dan menunjukan keseriusan untuk memberantas Korupsi dimulai dari lingkaran terdekat. Sejumlah kasus korupsi yg terkait dengan akses kekuasaan harus diusut dan diungkap serta diproses secara hukum dan jangan digantung.

Melahirkan Pemerintahan Bersih
Jika kita merujuk pada agenda reformasi 1998 ada beberapa tuntutan yang yang harus dilaksanakan, di antaranya adalah penegakan supremasi hukum; pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ternyata setelah 15 tahun, mayoritas publik masih belum terpenuhi.
Ini adalah tantangan bagi agenda dalam bidang penegakan aturan hukum. Jika hal ini berhasil dilaksanakan, akan sangat membantu kita di dalam upaya konsolidasi pemerintahan yang bersih dan transparan setelah 2014, diperlukan terobosan-terobosan agar dapat dipastikan tindak korupsi mengalami penurunan yang signifikan terutama dalam keberhasilan pencegahannya.

No comments:

Post a Comment