Kegiatan
Pencucian uang adalah asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil
dari kejahatan, yang disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara,
dimana pencucian harus dicegah dan diberantas agar intensitas kejahatan
yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan dalam jumlah yang
besar dapat diminimalisasi, sehingga stabilitas perekonomian nasional
dan keamanan Negara dapat terjaga dengan baik, dengan cara melakukan
kerja sama regional atau internasional melalui forum bilateral atau
multilateral. Oleh karenanya suatu tindakan kejahatan pencucian uang
tersebut perlulah diberlakukannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dengan berlandasankan kepada undang-undang perbankan dan undang-undang keuangan negara berkaitan serta akibat tindak pidana pencucian uang (monay laundering), dimana analisa penulis secara factor internal terhadap tindak pidana pencucian uang dapat mengganggu stabilitas perekonomian dan keuangan Negara adalah suatu krgiatan atau tindakan yang dilarang oleh undang-undang perbankan maupun undang-undang keuangan negara, karena kegiatan tersebut adalah kegiatan perekonomian yang didapat dari uang tidak halal atau haram yaitu dari hasil perjudian, narkoba, kegiatan yang merupakan perdagangan melalui internet atau pengumpulan dana dari masyarakat yang tidak di izinkan pemerintah atau dilindungi oleh negara. Dimana kegiatan ini, merupakan suatu kegiatan yang penuh rekayasa dan terselubung serta beredar pada Black market.
Terganggunya
stabilitas perekonomian serta perbankan Indonesia yang dapat merugikan
keuangan Negara yang tidak sedikit nilainya, dengan diberlakukan UU.NO.3
TAHUN 2004 Tentang Perubahan Atas UU NO. 23 TAHUN 1999 yaitu tentang
BANK INDONESIA berhubungan erat dengan sistem keuangan negara serta
perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi.
Sejalan dengan tujuan Bank Indonesia adalah untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah untuk mencapai tujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta melaksanakan kebijakan moneter secara
berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan
kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian, yang tidak terlepas
dari Hukum Perbankan yaitu hukum yang mengatur tentang segala kegiatan
yang berkaitan dengan segala kegiatan perkonomian yang dilakukan oleh
Bank Umum maupun Bank Syariah, sebagimana diatur oleh UU N0. 4 Tahun
2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan.
Kegiatan
Pencucian uang adalah suatu kegiatan yang menghasilkan harta kekayaan
yang berasal suatu kejahatan, yang disembunyikan atau disamarkan dengan
berbagai cara, dan untuk melakukan pencegah serta melakukan
pemberantasan perlu diberlakukannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena kegiatan pencucian uang
tersebut mengganggu stabilitas dan keamanan perekonomian atau keuangan
Negara, atas dasar tersebutlah maka perlu pula diberlakukannya UU.NO. 3
TAHUN 2004 Tentang Perubahan Atas UU NO. 23 TAHUN 1999 Tentang Bank
Indonesia, mengingat Bank Indonesia adalah sebagai Bank Sentral
Indonesia.
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai perbandingan atau pandangan
agar Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia, harus selalau waspada atau
standbay didalam setiap pergerakan perekonomian baik secara internal
maupun secara eksternal. Penulusuran dalam pembahasan terhadap tindak
pidana pencucian uang, sampai sejauh manakah stabilitas perkonomian dan
keuangan Negara telah dirugikan, yang berkaitan dengan kegiatan dunia
perbankan. Atas dasar tujuan tersebutlah, maka penulis menggunakan
metode kebijakan pemberlakukan berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun
2002 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, sebagai upaya pencegahan atau
minimal memperkecil kegiatan pencucian uang didalam perekonomian dan
keuangan Negara baik secara internal maupun secara eksternal.
Teori konsep yang dipakai penulis untuk pembahasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah bersandar kepada :
Undang-Undang Dasr 1945, Pasal 33 ayat (4) :
“Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisien, berkeadilan berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
nasional “
Undang-Undang No.3 Tahun 2004, Pasal 7 ayat ( 2 ) :
“Tujuan
Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan,
konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum
pemerintah di bidang perekonomian.”
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, Pasal 1, ayat ( 6 ) dan Pasal 3 ayat (1)a :
“Transaksi
Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan
karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang
bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang
bersangkutan, yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai
dengan ketentuan Undang-undang ini” . dan “ Setiap orang yang dengan
sengaja menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan,
baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain”.
Difinisi Rostow yaitu :
“Mengenai
proses pembangunan ekonomi dapat dibedakan kedalam 5 tahap yaitu
masyarakat tradisional (the traditional society), prasyarat untuk
tinggal landas (the preconditions for take of), tiggal landas (the take
of), menuju kekedewasaan (the drive to maturity) dan masa konsumsi
tinggi (the age ofhigh mass-consumption)”.
Berdasarkan
permasalahan yang telah penulis jelaskan diatas, ada beberapa
permasalahan pokok yang menjadi perhatian penulisan disini adalah untuk
membahas makalah ini, dengan beberapa permasalahan pokok adalah sebagai
berikut :
a. Sampai sejauh manakah tindak pidana pencucian Uang mengganggu stabilitas perekonomian dan keuangan Negara ?
b. Tindakan-tindakan dan upaya pencegahan apakah, yang dapat diambil terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang ?
c.
Bagaimanakah sanksi hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak
pidana pencucian uang dan apakah akibatnya serta pengaruhnya terhadap
perekonomian dan keuangan negara, apabila tindak pidana pencucian uang
tidak dapat dicegah ?
Pencucian uang (Money Lundering) adalah suatu harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana yang dilarang oleh Undang-Undang, yang pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan untuk mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk kedalam system perbankan (Financial system) :
Pencucian uang (Money Lundering) adalah suatu harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana yang dilarang oleh Undang-Undang, yang pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan untuk mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk kedalam system perbankan (Financial system) :
1 terutama
kedalam system perbankan (banking system), agar asal usul harta tidak
dapat dilacak oleh penegak hukum. Pencucian uang (Money Loundering) yang
secara eksternal berasal dari perbankan Internasional masuk kedalam
wilayah hukum perbankan Indonesia dapat berlangsung secara
berkesinambungan, dalam hal ini perlunya ada suatu upaya pemutusan
hubungan dengan perbankan Internasional tersebut, sebagai upaya
pencegahan terjadinya tindak pidana pencucian uang (Monay Laundering).
2. Dan
upaya pembatasan kejahatan tersebut harus ditempuh oleh suatu Negara
atau antar Negara, untuk dapat dicegah maupun membrantas parktek
pencucian uang yaitu dengan membentuk undang-undang yang melarang
perbuatan pencucian uang dengan sangsi yang sangat berat terhadap para
pelaku kejahatan pencucian uang, dimana terdapat proses yang terdiri
dari :
a. Penempatan
(Placement) yaitu upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak
pidana kedalam system keuangan (Financial System) atau upaya
menempatkan uang giral (Cheque, wesel bank, sertifikat deposito) kembali
kedalam system keuangan, terutama system perbankan.
b. Transfer
(Layering) yaitu upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal
dari tindak pidana (Dirty Money) yang telah berhasil ditempatkan pada
penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan
(Placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain, dengan cara ini untuk
mempersulit penegak hukum untuk dapat mengetahui asal-usul harta
kekayaan.
c. Menggunakan
harta kekayaan (Integration) yaitu upaya menggunakan harta kekayaan
yang berasal dari tindak pidana yang berhasil masuk kedalam system
keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi
harta kekayaan halal (Clean Money), untuk kegiatan bisnis yang halal
atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa Hukum Perbankan adalah suatu peraturan atau
perundang-undangan perbankan yang mengatur bank-bank konvensil, Bank
pemerintah, Bank Swasta dan Bank swasta Asing, dengan melakukan Izin
pendirian. Sedangkan izin Pendirian adalah ketentuan bagi setiap
perusahaan yang akan menjalankan usahanya disuatu negara atau dari
wilayah hukum Negara lain, haruslah terlebih dahulu memperoleh izin dari
pihak yang berwenang atau Pemerintah. Dan kewajiban memperoleh izin
usaha bank tersebut, harus memenuhi persyaratan yang wajib dipenuhi
menurut UU No.10 Tahun 1998 adalah sebagai berikut :
1. Susunan Organisasi dan kepengurusan.
2. Permodalan.
3. Kepemilikan.
4 Keahlian dibidang Perbankan.
5. Kelayakan Rencana Kerja.
Sedangkan
Pengertian bank itu sendiri adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan demikian
pengertian hukum perbankan adalah suatu ketentuan/norma atau
kidah-kaidah hukum yang mengatur segala kegiatan perekonomian yang
berhubungan langsung mupun tidak langsung, berupa badan usaha milik
Negara yaitu bank yang mengelola dan menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan serta menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk
kredit/pinjaman. Akan tetapi pada kenyataannya didalam melakukan
kegiatan perekonomian didalam mengelola keuangan Negara tersebut, pihak
perbankan dalam hal ini Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia
dengan melalui bank-bank umum maupun bank swasta sering terjadi suatu
upaya-upaya terjadinya tindak pidana pencucian uang (monay laundering)
dan sering terjadi dan yang sering menimbulkan masalah adalah bank-bank
swasta yang diberi kepercayaan untuk mengelolaan keuangan Negara
tersebut. Seperti contohnya adalah : Bank Sentral, Bank Negara Indonesia
(BNII), Bank Dagang Negara(BDN), Bank Bumi Daya(BBD), Bank Pembangunan
Indonesia(BAPINDO), Bank Pembangunan Daerah(BPD), Bank Tabungan
Negara(BTN) dan Bank Mandiri dan lain-lain.
6. Berdasarkan
UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah segala
tindak pidana yang merupakan suatu kejahatan yang berkaitan dengan
perbankan, dimana macam-macam tidak pidana pencucian uang tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa perusahaan atau yayasan, yang didapat dari hasil perjudian.
2. Kekayaan
seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa perusahaan atau
yayasan, yang didapat dari hasil penjualan barang illegal seperti
penjualan narkoba atau alat-alat kedokteran atau alat-alat perang yang
penjualannya melalui Black market.
3. Kekayaan
seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa perusahaan atau
yayasan, yang didapat dari hasil penipuan melalui perdagangan yang
melalui media internet (tindak pidana penipuan) yang didapat dari
pembelian suatu prodak, akan tetapi pembayarnnya dibebankan kepada kartu
kredit milik orang lain, dan barang tersebut kemudian dijual melalui
balck market untuk di uangkan.
4. Kekayaan
seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa perusahaan atau
yayasan, yang didapat dari hasil pengumpulan dana dari masyarakat, yang
tabungan dengan daya tarik bunga yang tinggi, yang didapatnya setiap
bulan, sebagai contoh : dengan uang hanya Rp. !0.000.000,-(sepuluh juta)
dan bunga yang diterima setiap bulannya sebesar Rp. 2.000.000,-(dua
juta). Dana yang terkumpul ini masuk kesalah satu rekening bank di
Indonesia dan secara diam-diam dana tersebut kemudian dipindahkan
rekening kebank lain atau bank Internasional (bank yang berada diluar
negara Indonesia).Melihat dari macam-macam tindak pidana pencucian uang
(monay laundering) terlihat pelaku tindak pidana tersebut melakukan
tindak pidana pencucian tersebut baik secara Eksternal yaitu tindak
pidana yang dilakukan dari luar wilayah Negara Indonesia (luar negeri
darai hasil yang didapat secara tidal sah seperti hasil judi, jual
narkoba dll) yang dilakukan dengan mentransfer dari bank x
(internasional) kepada bank yang berada di Indonesia yaitu bank xx,
kemudian dana tersebut ditranfer kembali kerekening suatu yayasan atau
perushaan yang indentitasnya tidak jelas atau fiktif, dari hasil
kegiatan perbankan inilah kemudian dana tersebut digunakan untuk
mendanai suatu kegiatan atau proyek-proyek yang berada dalam
lingkungan/wilayah hukum perekonomian/bank di Indonesia.Kemudian dana
dari hasil proyek-proyek tersebut, apabila realisasinya telah selesai,
maka uang itu akan masuk kerekening pribadi (katakanlah pemodal), berupa
dana yang sudah dicuci dan dianggap sah yang sudah barang tentu masih
melalui beberapa tahap untuk mengkaburkan identitas pemiliknya. Demikian
pula sebaliknya secara intrernal yang dilakukan dari dalam negeri
(Indonesia) melakukan tranfer kerekening bank Internasional dan melalui
tahapan yang sebaliknya seperti tersebut diatas.
Tindak
pidana pencucian uang dibatasi oleh Undang-Undang No. 15 Tahun 2002,
Pasal 1, ayat ( 6 ) dan Pasal 3 ayat (1) a adalah Undang-Undang Dasar
1945, Pasal 33 ayat (4) yang menegaskan bahwa “ Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisien, berkeadilan berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
nasional “ dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, Pasal 7 ayat (2) yaitu
“TujuanBank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan,
konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum
pemerintah di bidang perekonomian.”, serta terkait UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara.
Dengan
undang-undang tersebut diatas adalah merupakan sebagai undang-undang
secara internal yang membatasi atau memperkecil ruang lingkup tindak
pidana pencucian uang (Monay laundering) di Indonesia, dengan tujuan
untuk menjaga stabilitas perekonomian untuk menjamin keamanan dan
ketentraman dalam berinfestasi di Indonesia. Dan selain daripada itu
menurut UU No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang (monay
laundering) adalah sebagai undang-undang yang mengandung unsur-unsur
sanksi pidana berupa kurungan badan dan denda terhadap pelaku kejahatan
tindak pidana pencucian uang tersebut.
Dalam UU No. 15 Tahun 2002 seperti dalam Pasal 10 yang berbunyi PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagai dimaksud dalam pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan Pasal 11 yang menyatakan pada ayat (1) : dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, dan ayat (2) : Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim Cq Pasal 12 adalah Tindak pidana dalam bab II dan bab III adalah Kejahatan dari undang-undang tersebut diatas.
Dalam UU No. 15 Tahun 2002 seperti dalam Pasal 10 yang berbunyi PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagai dimaksud dalam pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan Pasal 11 yang menyatakan pada ayat (1) : dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, dan ayat (2) : Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim Cq Pasal 12 adalah Tindak pidana dalam bab II dan bab III adalah Kejahatan dari undang-undang tersebut diatas.
Mengingat
kondisi pada era ekonomi global sekarang ini, baik secara internal
maupun secara eksternal terhadap kebijakan dasar maupun kebijakan
pemberlakuan dari negara Indonesia, penulis menganggap sangsi pidana
yang diatur oleh pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 15 Tahun 2002
tersebut masih dainggap kurang membuat jera bagi pelaku tindak pidana
pencucian uang (monay laundering) tersebut, mengingat dalam menjatuhkan
hukuman masih dianggap terlalu ringan sekali. Hal ini harus dilihat pula
kepada kerugian negara, yang harus ditanggung akibat tindak pidana
pencucian uang tersebut, yang mengakibat terganggu stabilitas dan
keamanan perekonomian di Indonesia, khususnya pelaku perbankan dalam hal
ini Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia, yang bertugas
memonitoring segala kegiatan transaksi perekonomian di Indonesia.
Penulis
telah jabarkan diatas, bahwa kegiatan perekonomian di Indonesia akan
terganggu oleh kegiatan pencucian uang yang dilakukan baik secara
internal maupun secara eksternal, dan untuk mengupayakan pencegakan
terhadap tindak pidana pencucian uang tersebut dilandasi oleh kebijakan
dasar maupun kebijakan pemberlakuan yang merupakan sebagai payung hukum
yaitu Undang- Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (4), Undang-Undang No. 3
Tahun 2004, Pasal 7 ayat ( 2), Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 dan
Undang No. 15 Tahun 2002, Pasal 1, ayat ( 6 ) tentang tindak pidana
pencucian uang.
Berdasarkan
UUD 1945 Pasal 33 tidak akan tercapai baik secara internal maupun
secara eksternal terhadap kegitan perekonomian khusnya dunia perbankan
dan keuangan negara, karena apabila tindap pidana money laundering tetap
berjalan dengan tidak adanya upaya pencegahan atau terdapatnya koridor
hukum yang membatasinya akan berakibat menimbul kerugian negara
khususnya pada kegiatan perbangkan maupun keuangan negara yang berkaitan
dengan peredaran dan pengawasan keuangannya diatur oleh Bank Indonesia
sebagai Bank Sentral Indonesia yang mempunyai kebijakan dasar dan
kebijakan pemberlakuan baik secara internal maupun secara eksternal yang
indenpenden. Masalah yang tidak disadari dalam kegiatan perekonomian di
Indonesia adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana Money Laundering baik kegiatan perekonomian internal yang berada
didalam wilayah hukum negara Indonesia, yang melakukan transfer dari
bank x di Indonesia yang berasar dari dana tidak legal/haram ke bank xx
yang berada di luar negeri, yang dapat mengganggu perekonomian dan
keuangan negara apabila transfer tersebut dalam jumlah besar.
Begitu pula sebaliknya, secara eksternal dimana pelaku tindak pidana monay laundering yang berasal dari uang tidak halal/haram dari bank x yang berada diluar negeri melakukan pemindahan uang haram tersebut ke bank xx yang berada di Indonesia, dimana upaya pemindahan uang tidak halal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak dapat dilacak oleh aparat penegak hukum dalam hal ini penegak hukum keuangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Indonesia yang bertanggung jawab mengelola keuangan negara Indonesia.
Begitu pula sebaliknya, secara eksternal dimana pelaku tindak pidana monay laundering yang berasal dari uang tidak halal/haram dari bank x yang berada diluar negeri melakukan pemindahan uang haram tersebut ke bank xx yang berada di Indonesia, dimana upaya pemindahan uang tidak halal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak dapat dilacak oleh aparat penegak hukum dalam hal ini penegak hukum keuangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Indonesia yang bertanggung jawab mengelola keuangan negara Indonesia.
Mengenai
masalah keuangan Negara yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2003 adalah
mengenai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik Negara (termasuk APBN dan APBD),10 berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban dan di bawah pengusaan Pemerintah Pusat
yaitu terhadap segala perusahaan Negara yang modalnya dimiliki oleh
Pemeritah Pusat dan Pemerintah Daerah yaitu terhadap badan usaha yang
seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
Perlu dipahami bahwa keuangan Negara adalah merupakan hak Negara untuk melakukan pemungutan pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang serta melakukan pinjaman, dalam hal kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum dari pemerintahan/Negara dan membayar tagihan pihak ketiga, penerimaan Negara, pengeluaran Negara, penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Dimana kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah, termasuk kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum serta kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Kelanjutan dari penjelasan diatas adalah dalam rangka untuk mewujudkan pengelolaan keuangan Negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara perlu dilakukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, sebagaimana telah ditetpakan dalam Pasal 23 E UUD 1945.
Perlu dipahami bahwa keuangan Negara adalah merupakan hak Negara untuk melakukan pemungutan pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang serta melakukan pinjaman, dalam hal kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum dari pemerintahan/Negara dan membayar tagihan pihak ketiga, penerimaan Negara, pengeluaran Negara, penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Dimana kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah, termasuk kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum serta kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Kelanjutan dari penjelasan diatas adalah dalam rangka untuk mewujudkan pengelolaan keuangan Negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara perlu dilakukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, sebagaimana telah ditetpakan dalam Pasal 23 E UUD 1945.
Dalam
pelaksanaan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
Negara, dimana BPK masih berpedoman kepada Instructie En Verdere
Bepalingen Voor De Algemene Rekenkamer atau IAR (Staatsblad 1898 No. 9
sebagimana telah diubah terakhir dengan Staatsblad 320).
Dan sampai saat ini BPK yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, masih memiliki landasan operasional yang memadai dalam pelaksanaan tugasnya untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara (yang sebelumnya berpedoman kepada Indische Comotabiliteits Wet atau ICW, Staatsblad 1925 No. 448 jo Lembaran Negara 1968 No. 53).Lingkup pemeriksaan BPK, ditetapkan dan diatur dalam UUD 1945 yang meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan Negara, yang menurut UU No. 17 Tahun 2003, Pasal 2 dimana kewenangannya mencakup tiga jenis pemeriksaan yaitu :
Dan sampai saat ini BPK yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, masih memiliki landasan operasional yang memadai dalam pelaksanaan tugasnya untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara (yang sebelumnya berpedoman kepada Indische Comotabiliteits Wet atau ICW, Staatsblad 1925 No. 448 jo Lembaran Negara 1968 No. 53).Lingkup pemeriksaan BPK, ditetapkan dan diatur dalam UUD 1945 yang meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan Negara, yang menurut UU No. 17 Tahun 2003, Pasal 2 dimana kewenangannya mencakup tiga jenis pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan
keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, yang dilakukan oleh BPK dalam rangka memberi
pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan
dalam laporan keuangan pemerintah.
2. Pemeriksaan
kinerja adalah periksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi serta
pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan lagi kepentingan
manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah, tujuan adalah untuk
mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga
perwakilan dengan maksud agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan
Negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien serta memenuhi
sasarannya secar efektif.
3. Pemeriksaan
dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan
khusus, diluar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja termasuk
dalam pemeriksaan tujuan tertentu adalah pemeriksaan atas hal-hal lain
yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan dan investigative.
Permasalah yang timbul akibat pelaku tindak pidana pencucian uang
tersebut sangat berpengaruh sekali dengan keuangan negara, dimana
pengaturan keuangan negara sangat sensitive sekali peredarannya, dimana
keuanggan negara yang harus dikelola tersebut harus terhindar dari
uang-uang tidak halal/haram, yang secara tidak senganya atau
perlahan-lahan akan mengalami defisit apabila, kegiatan tindak pidana
pencucian uang tersebut tidak benar-benar dicegah.
Berdasarkan
kegiatan yang bertentangan dengan hukum, maka yang bertugas untuk
mengamankan keuangan negara akibat pencucian uang tersebut adalah Pihak
keamanan Bank Indonesia dan petugas BPK untuk melakukan pengamanan
terhadap keuangan negara dengan tindakan-tindakan pencegahan minimal
memperkecil sesuai dengan ketentuan undang-undang Perbankan,
undang-undang menteri keuangan maupun undang-undang No. 15 Tahun 2002
tentang tindak pidana pencucian uang.
Analisa Secara Faktor Internal.Dengan berlandasankan kepada undang-undang perbankan dan undang-undang keuangan negara berkaitan serta akibat tindak pidana pencucian uang (monay laundering), dimana analisa penulis secara factor internal terhadap tindak pidana pencucian uang dapat mengganggu stabilitas perekonomian dan keuangan Negara adalah suatu krgiatan atau tindakan yang dilarang oleh undang-undang perbankan maupun undang-undang keuangan negara, karena kegiatan tersebut adalah kegiatan perekonomian yang didapat dari uang tidak halal atau haram yaitu dari hasil perjudian, narkoba, kegiatan yang merupakan perdagangan melalui internet atau pengumpulan dana dari masyarakat yang tidak di izinkan pemerintah atau dilindungi oleh negara. Dimana kegiatan ini, merupakan suatu kegiatan yang penuh rekayasa dan terselubung serta beredar pada Black market.
Sebagai
upaya melakukan pencegahan secara factor internal terhadap pelaku
tindak pidana pencucian uang tersebut, pemerintah telah memberlakukan UU
No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang yang merupakan
sebagai payung hukum dan sebagai kebijakan pemberlakukan, dengan ancaman
hukuman pidana dan sangsi hukuman dengan denda. Akan tetapi menurut
penulis mengenai sangsi pidana dan sangsi hukuman denda tersebut masih
dianggap terlalu kesil, mengingan kegiatan pencucian uang tersebut
berlangsung secara kontinyu dan dalam skala jutaan dollar bahkan
milyatan dollar, yang tidak disadari oleh Pemerintah Indonesuia dan
memang kegiatan pencucian uang ini sangat sulit dilacak secara internal.
Apabila kegiatan pencucian uang yang berada didalam negara Indonesia,
dengan media yayasan, perusahaan atau lain-lainnya yang mengenai
data-data tentang yayasan atau perusahaan tersebut sebenarnya fiktif
belaka atau hanya nama samaran saja untuk mempermudah pengalihan
peredaran uang tidak halal tersebut kebank-bank Internasional.
Analisa Secara Faktor Eksternal, begitu pula sebaliknya berdasarkan
factor eksternal, dimana kegiatan tindak pidana pencucian uang (money
laundering), berdasarkan factor eksternal untuk melakukan pencegahan
tindaka pinada ini, perlu dilakukan konsolidasi antara pemerintah luar
negeri dalam hal ini perbankan Internasiona, agar dapat dengan mudah
untuk mengindetifikasi tindak pidana pencucian uang tersebut, yang masuk
dari bank Internasional kewilah hukum Negara Indonesia. Dimana proses
pencucian uang tersebut pada awalnya masuk melalui system perbankan
dengan tahapan kegiatan pencucian secara internal melalui yayasan dan
perushaan yang identitasnya disamarkan.
Berdasarkan
anlisa penulis disini, terhadap tindak pidana pencucian uang (money
laundering) baik secara internal maupun secara eksternal adalah suatu
kegiatan pencucian uang yang masuk kesistem perbankan yang dapat
mengganggu satabilitas dan keamanan system perbankan dan keuangan negara
dalam hal yang berkaitan dengan asset-asset negara Indonesia.Oleh
karenanya perlu suatu payung hukum yang mencegah dan membatasi tindak
pidana pencucian (money laundering) yang masuk kedalam system perbangkan
baik secara kegiatan internal maupun secara kegiatan eksternal, yang
harus pula perlunya kerja sama antar negara-negara Internasional,
khususnya bank-bank Internasional.
Kesimpulan :
1. Dengan
berlandaskan kebijakan dasar yaitu UUD 1945 Pasal 33 yang pada dasarnya
meningkatkan taraf kemidupan masyarakat dapat hidup tentram dan damai
didalam melakukan transaksi perekonomian, dengan dilandasi oleh
kebijakan pemberlakuan yaitu UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
sebagai bank sentral Indonesia dan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian uang (Monay Laundering).
2.
Undang-Undang Bank Indonesia atau undang-undang perbankan dan
undang-undang Menteri Keuangan adalah sebagai undang-undang yang
membatasi atau koridor terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang,
karena jika tidak ada payang hukum yang merupakan sebagai kebijakan
dasar maupun kebijakan pemberlakuan yang diawasi secara internal, akan
dapat lebih efektif pemberlakuannya. Mengingat tindak pidana pencucian
uang adalah suatu perbuatan atau kegiatan yang merupakan kejahatan yang
dilakukan secara samar-samar/tidak terlihat dan berada
dilungkungan/tergolong dalam transaksi black market.
3. Dengan
pemberlakuan UU No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang
(monay laundering) adalah sebagai kebijakan pemberlakuan yang juga
berfungsi sebagai payung hukum dengan sangsi hukuman badan maupun sanksi
hukumnan denda, baik yang dilakukan pelaku tindak pidana secara
internal maupun secara eksternal.
4.
Pencegahan tindak pidana pencucian uang (manoy laundering) secara
eksternal sangat sulit dilacak, karena pelaku tindak kejahatan ini
dilakukan oleh badan hukum yang nama indentitasnya disamarkan (badan
hukum tersebut sebenarnya tidak ada), hal ini yang menyulitkan petugas
untuk melacak kegiatan badan hukum tersebut (perusahaan atau yayasan).
Untuk melakukan pencegahan kegiatan tersebut yang secar eksternal
perlunya ada kerja sama antara Pemeritah Indonesia dalam hal ini
diwakili oleh Bank Indonesia dengan Pemerintah Luar Negeri dalam hal ini
diwakili oleh Bank Internasional.
Saran :
1.
Berdasarkan analisa dan kesimpulan penulis secara faktor internal bahwa
terhadap kebijakan pemberlakuan yaitu UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia sebagai bank sentral Indonesia dan UU No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian uang (Monay Laundering) masih terlihat
adanya pertentangan antar kebijakan tersebut, terlihat bahwa kebijakan
pemberlakukan UU No. 3 Tahun 2004 telah mengatur mengenai sangsi hukuman
baik berupa hukuman badan dan sangsi administratif, terlihat dalam
pemberian sangsi tersebut tidak ada keseragaman dengan pemberian sangsi
yang berdasarkan kebijakan pemberlakukan UU No. 15 Tahun 2004 tersebut.
Atas dasar tersebut penulis menyarankan bahwa mengenai pengaturan sangsi
pidana baik hukuman badan, denda maupun sangsi Administratif harus ada
keseragaman dalam menjatuhkan sangsi tersebut, serta juga harus melihata
kepada sangsi yang diatur oleh KUHPidana dan yang perlu diperhatikan
dengan seksama didalam KUH Pidana hanya mengatur tentang kejahatan saja,
tidak memperinci apakah kejahatan tersebut termasuk kejahatan Monay
Laudering (kejahatan pencucian uang).
2. Berdasarkan
analisa dan kesimpulan penulis secara faktor eksternal bahwa terhadap
kedua kebijakan pemberlakuan tersebut diatas, juga harus memperhatikan
kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakukan dunia Internasional, yang
telah melakukan perjanjian kesepakatan/resolusi baik antara
negara-negara berkembang maupun negara maju, mengingat kerja sama antara
negara internasional adalah sangat diperlukan agar kegiatan kejahatan
pencucian uang (monay laundering) tersebut dapat dicegah semaksimal
mungkin.
3. Perlunya
kesungguhan dari Pemerintah untuk melakukan pencegahan terhadap
kejahatan pencucian uang (monay laudering), dengan mengupayakan suatu
kebijakan pemberlakuan yang mengatur secara khusus tentang kejahatan
pencucian uang, dengan memuat pasal-pasal mengatur tentang Petugas yang
berwenang secara khusus, sangsi hukumannya, dan pasal-pasal yang
mengatur hubungan antara negara Internasional, dan menghindarkan
benturan-benturan kebijakan antara yang satu dengan lain terutama
kebijakan secara internal. Tujuan tersebut adalah untuk mendapat
kepercayaan dunia Internasional dan adanya kepastian hukum yang pasti.
No comments:
Post a Comment