Thursday 26 December 2013

Perspektif Hukum tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Berkaitan dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia

Kegiatan Pencucian uang adalah asal-usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari kejahatan, yang disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara, dimana pencucian harus dicegah dan diberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar dapat diminimalisasi, sehingga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan Negara dapat terjaga dengan baik, dengan cara melakukan kerja sama regional atau internasional melalui forum bilateral atau multilateral. Oleh karenanya suatu tindakan kejahatan pencucian uang tersebut perlulah diberlakukannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Terganggunya stabilitas perekonomian serta perbankan Indonesia yang dapat merugikan keuangan Negara yang tidak sedikit nilainya, dengan diberlakukan UU.NO.3 TAHUN 2004 Tentang Perubahan Atas UU NO. 23 TAHUN 1999 yaitu tentang BANK INDONESIA berhubungan erat dengan sistem keuangan negara serta perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi. Sejalan dengan tujuan Bank Indonesia adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian, yang tidak terlepas dari Hukum Perbankan yaitu hukum yang mengatur tentang segala kegiatan yang berkaitan dengan segala kegiatan perkonomian yang dilakukan oleh Bank Umum maupun Bank Syariah, sebagimana diatur oleh UU N0. 4 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Kegiatan Pencucian uang adalah suatu kegiatan yang menghasilkan harta kekayaan yang berasal suatu kejahatan, yang disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara, dan untuk melakukan pencegah serta melakukan pemberantasan perlu diberlakukannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena kegiatan pencucian uang tersebut mengganggu stabilitas dan keamanan perekonomian atau keuangan Negara, atas dasar tersebutlah maka perlu pula diberlakukannya UU.NO. 3 TAHUN 2004 Tentang Perubahan Atas UU NO. 23 TAHUN 1999 Tentang Bank Indonesia, mengingat Bank Indonesia adalah sebagai Bank Sentral Indonesia.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai perbandingan atau pandangan agar Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia, harus selalau waspada atau standbay didalam setiap pergerakan perekonomian baik secara internal maupun secara eksternal. Penulusuran dalam pembahasan terhadap tindak pidana pencucian uang, sampai sejauh manakah stabilitas perkonomian dan keuangan Negara telah dirugikan, yang berkaitan dengan kegiatan dunia perbankan. Atas dasar tujuan tersebutlah, maka penulis menggunakan metode kebijakan pemberlakukan berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, sebagai upaya pencegahan atau minimal memperkecil kegiatan pencucian uang didalam perekonomian dan keuangan Negara baik secara internal maupun secara eksternal.
Teori konsep yang dipakai penulis untuk pembahasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah bersandar kepada :
Undang-Undang Dasr 1945, Pasal 33 ayat (4) :
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien, berkeadilan berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional “
Undang-Undang No.3 Tahun 2004, Pasal 7 ayat ( 2 ) :
“Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.”
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, Pasal 1, ayat ( 6 ) dan Pasal 3 ayat (1)a :
“Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan, yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini” . dan “ Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain”.
Difinisi Rostow yaitu :
“Mengenai proses pembangunan ekonomi dapat dibedakan kedalam 5 tahap yaitu masyarakat tradisional (the traditional society), prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take of), tiggal landas (the take of), menuju kekedewasaan (the drive to maturity) dan masa konsumsi tinggi (the age ofhigh mass-consumption)”.
Berdasarkan permasalahan yang telah penulis jelaskan diatas, ada beberapa permasalahan pokok yang menjadi perhatian penulisan disini adalah untuk membahas makalah ini, dengan beberapa permasalahan pokok adalah sebagai berikut :
a. Sampai sejauh manakah tindak pidana pencucian Uang mengganggu stabilitas perekonomian dan keuangan Negara ?
b. Tindakan-tindakan dan upaya pencegahan apakah, yang dapat diambil terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang ?
c. Bagaimanakah sanksi hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang dan apakah akibatnya serta pengaruhnya terhadap perekonomian dan keuangan negara, apabila tindak pidana pencucian uang tidak dapat dicegah ?
Pencucian uang (Money Lundering) adalah suatu harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana yang dilarang oleh Undang-Undang, yang pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan untuk mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk kedalam system perbankan (Financial system) :
1 terutama kedalam system perbankan (banking system), agar asal usul harta tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Pencucian uang (Money Loundering) yang secara eksternal berasal dari perbankan Internasional masuk kedalam wilayah hukum perbankan Indonesia dapat berlangsung secara berkesinambungan, dalam hal ini perlunya ada suatu upaya pemutusan hubungan dengan perbankan Internasional tersebut, sebagai upaya pencegahan terjadinya tindak pidana pencucian uang (Monay Laundering).
2. Dan upaya pembatasan kejahatan tersebut harus ditempuh oleh suatu Negara atau antar Negara, untuk dapat dicegah maupun membrantas parktek pencucian uang yaitu dengan membentuk undang-undang yang melarang perbuatan pencucian uang dengan sangsi yang sangat berat terhadap para pelaku kejahatan pencucian uang, dimana terdapat proses yang terdiri dari :
a. Penempatan (Placement) yaitu upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana kedalam system keuangan (Financial System) atau upaya menempatkan uang giral (Cheque, wesel bank, sertifikat deposito) kembali kedalam system keuangan, terutama system perbankan.
b. Transfer (Layering) yaitu upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (Dirty Money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (Placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain, dengan cara ini untuk mempersulit penegak hukum untuk dapat mengetahui asal-usul harta kekayaan.
c. Menggunakan harta kekayaan (Integration) yaitu upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang berhasil masuk kedalam system keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (Clean Money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Hukum Perbankan adalah suatu peraturan atau perundang-undangan perbankan yang mengatur bank-bank konvensil, Bank pemerintah, Bank Swasta dan Bank swasta Asing, dengan melakukan Izin pendirian. Sedangkan izin Pendirian adalah ketentuan bagi setiap perusahaan yang akan menjalankan usahanya disuatu negara atau dari wilayah hukum Negara lain, haruslah terlebih dahulu memperoleh izin dari pihak yang berwenang atau Pemerintah. Dan kewajiban memperoleh izin usaha bank tersebut, harus memenuhi persyaratan yang wajib dipenuhi menurut UU No.10 Tahun 1998 adalah sebagai berikut :
1. Susunan Organisasi dan kepengurusan.
2. Permodalan.
3. Kepemilikan.
4 Keahlian dibidang Perbankan.
5. Kelayakan Rencana Kerja.
Sedangkan Pengertian bank itu sendiri adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan demikian pengertian hukum perbankan adalah suatu ketentuan/norma atau kidah-kaidah hukum yang mengatur segala kegiatan perekonomian yang berhubungan langsung mupun tidak langsung, berupa badan usaha milik Negara yaitu bank yang mengelola dan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan serta menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit/pinjaman. Akan tetapi pada kenyataannya didalam melakukan kegiatan perekonomian didalam mengelola keuangan Negara tersebut, pihak perbankan dalam hal ini Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia dengan melalui bank-bank umum maupun bank swasta sering terjadi suatu upaya-upaya terjadinya tindak pidana pencucian uang (monay laundering) dan sering terjadi dan yang sering menimbulkan masalah adalah bank-bank swasta yang diberi kepercayaan untuk mengelolaan keuangan Negara tersebut. Seperti contohnya adalah : Bank Sentral, Bank Negara Indonesia (BNII), Bank Dagang Negara(BDN), Bank Bumi Daya(BBD), Bank Pembangunan Indonesia(BAPINDO), Bank Pembangunan Daerah(BPD), Bank Tabungan Negara(BTN) dan Bank Mandiri dan lain-lain.
6. Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah segala tindak pidana yang merupakan suatu kejahatan yang berkaitan dengan perbankan, dimana macam-macam tidak pidana pencucian uang tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa perusahaan atau yayasan, yang didapat dari hasil perjudian.
2. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa perusahaan atau yayasan, yang didapat dari hasil penjualan barang illegal seperti penjualan narkoba atau alat-alat kedokteran atau alat-alat perang yang penjualannya melalui Black market.
3. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa perusahaan atau yayasan, yang didapat dari hasil penipuan melalui perdagangan yang melalui media internet (tindak pidana penipuan) yang didapat dari pembelian suatu prodak, akan tetapi pembayarnnya dibebankan kepada kartu kredit milik orang lain, dan barang tersebut kemudian dijual melalui balck market untuk di uangkan.
4. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa perusahaan atau yayasan, yang didapat dari hasil pengumpulan dana dari masyarakat, yang tabungan dengan daya tarik bunga yang tinggi, yang didapatnya setiap bulan, sebagai contoh : dengan uang hanya Rp. !0.000.000,-(sepuluh juta) dan bunga yang diterima setiap bulannya sebesar Rp. 2.000.000,-(dua juta). Dana yang terkumpul ini masuk kesalah satu rekening bank di Indonesia dan secara diam-diam dana tersebut kemudian dipindahkan rekening kebank lain atau bank Internasional (bank yang berada diluar negara Indonesia).Melihat dari macam-macam tindak pidana pencucian uang (monay laundering) terlihat pelaku tindak pidana tersebut melakukan tindak pidana pencucian tersebut baik secara Eksternal yaitu tindak pidana yang dilakukan dari luar wilayah Negara Indonesia (luar negeri darai hasil yang didapat secara tidal sah seperti hasil judi, jual narkoba dll) yang dilakukan dengan mentransfer dari bank x (internasional) kepada bank yang berada di Indonesia yaitu bank xx, kemudian dana tersebut ditranfer kembali kerekening suatu yayasan atau perushaan yang indentitasnya tidak jelas atau fiktif, dari hasil kegiatan perbankan inilah kemudian dana tersebut digunakan untuk mendanai suatu kegiatan atau proyek-proyek yang berada dalam lingkungan/wilayah hukum perekonomian/bank di Indonesia.Kemudian dana dari hasil proyek-proyek tersebut, apabila realisasinya telah selesai, maka uang itu akan masuk kerekening pribadi (katakanlah pemodal), berupa dana yang sudah dicuci dan dianggap sah yang sudah barang tentu masih melalui beberapa tahap untuk mengkaburkan identitas pemiliknya. Demikian pula sebaliknya secara intrernal yang dilakukan dari dalam negeri (Indonesia) melakukan tranfer kerekening bank Internasional dan melalui tahapan yang sebaliknya seperti tersebut diatas.
Tindak pidana pencucian uang dibatasi oleh Undang-Undang No. 15 Tahun 2002, Pasal 1, ayat ( 6 ) dan Pasal 3 ayat (1) a adalah Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (4) yang menegaskan bahwa “ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien, berkeadilan berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional “ dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, Pasal 7 ayat (2) yaitu “TujuanBank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.”, serta terkait UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dengan undang-undang tersebut diatas adalah merupakan sebagai undang-undang secara internal yang membatasi atau memperkecil ruang lingkup tindak pidana pencucian uang (Monay laundering) di Indonesia, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas perekonomian untuk menjamin keamanan dan ketentraman dalam berinfestasi di Indonesia. Dan selain daripada itu menurut UU No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang (monay laundering) adalah sebagai undang-undang yang mengandung unsur-unsur sanksi pidana berupa kurungan badan dan denda terhadap pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang tersebut.
Dalam UU No. 15 Tahun 2002 seperti dalam Pasal 10 yang berbunyi PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagai dimaksud dalam pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan Pasal 11 yang menyatakan pada ayat (1) : dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, dan ayat (2) : Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim Cq Pasal 12 adalah Tindak pidana dalam bab II dan bab III adalah Kejahatan dari undang-undang tersebut diatas.
Mengingat kondisi pada era ekonomi global sekarang ini, baik secara internal maupun secara eksternal terhadap kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan dari negara Indonesia, penulis menganggap sangsi pidana yang diatur oleh pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 15 Tahun 2002 tersebut masih dainggap kurang membuat jera bagi pelaku tindak pidana pencucian uang (monay laundering) tersebut, mengingat dalam menjatuhkan hukuman masih dianggap terlalu ringan sekali. Hal ini harus dilihat pula kepada kerugian negara, yang harus ditanggung akibat tindak pidana pencucian uang tersebut, yang mengakibat terganggu stabilitas dan keamanan perekonomian di Indonesia, khususnya pelaku perbankan dalam hal ini Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia, yang bertugas memonitoring segala kegiatan transaksi perekonomian di Indonesia.
Penulis telah jabarkan diatas, bahwa kegiatan perekonomian di Indonesia akan terganggu oleh kegiatan pencucian uang yang dilakukan baik secara internal maupun secara eksternal, dan untuk mengupayakan pencegakan terhadap tindak pidana pencucian uang tersebut dilandasi oleh kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan yang merupakan sebagai payung hukum yaitu Undang- Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (4), Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, Pasal 7 ayat ( 2), Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 dan Undang No. 15 Tahun 2002, Pasal 1, ayat ( 6 ) tentang tindak pidana pencucian uang.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 33 tidak akan tercapai baik secara internal maupun secara eksternal terhadap kegitan perekonomian khusnya dunia perbankan dan keuangan negara, karena apabila tindap pidana money laundering tetap berjalan dengan tidak adanya upaya pencegahan atau terdapatnya koridor hukum yang membatasinya akan berakibat menimbul kerugian negara khususnya pada kegiatan perbangkan maupun keuangan negara yang berkaitan dengan peredaran dan pengawasan keuangannya diatur oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Indonesia yang mempunyai kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakuan baik secara internal maupun secara eksternal yang indenpenden. Masalah yang tidak disadari dalam kegiatan perekonomian di Indonesia adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana Money Laundering baik kegiatan perekonomian internal yang berada didalam wilayah hukum negara Indonesia, yang melakukan transfer dari bank x di Indonesia yang berasar dari dana tidak legal/haram ke bank xx yang berada di luar negeri, yang dapat mengganggu perekonomian dan keuangan negara apabila transfer tersebut dalam jumlah besar.
Begitu pula sebaliknya, secara eksternal dimana pelaku tindak pidana monay laundering yang berasal dari uang tidak halal/haram dari bank x yang berada diluar negeri melakukan pemindahan uang haram tersebut ke bank xx yang berada di Indonesia, dimana upaya pemindahan uang tidak halal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak dapat dilacak oleh aparat penegak hukum dalam hal ini penegak hukum keuangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Indonesia yang bertanggung jawab mengelola keuangan negara Indonesia.
Mengenai masalah keuangan Negara yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2003 adalah mengenai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara (termasuk APBN dan APBD),10 berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dan di bawah pengusaan Pemerintah Pusat yaitu terhadap segala perusahaan Negara yang modalnya dimiliki oleh Pemeritah Pusat dan Pemerintah Daerah yaitu terhadap badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
Perlu dipahami bahwa keuangan Negara adalah merupakan hak Negara untuk melakukan pemungutan pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang serta melakukan pinjaman, dalam hal kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum dari pemerintahan/Negara dan membayar tagihan pihak ketiga, penerimaan Negara, pengeluaran Negara, penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Dimana kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah, termasuk kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum serta kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Kelanjutan dari penjelasan diatas adalah dalam rangka untuk mewujudkan pengelolaan keuangan Negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara perlu dilakukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, sebagaimana telah ditetpakan dalam Pasal 23 E UUD 1945.
Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara, dimana BPK masih berpedoman kepada Instructie En Verdere Bepalingen Voor De Algemene Rekenkamer atau IAR (Staatsblad 1898 No. 9 sebagimana telah diubah terakhir dengan Staatsblad 320).
Dan sampai saat ini BPK yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, masih memiliki landasan operasional yang memadai dalam pelaksanaan tugasnya untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara (yang sebelumnya berpedoman kepada Indische Comotabiliteits Wet atau ICW, Staatsblad 1925 No. 448 jo Lembaran Negara 1968 No. 53).Lingkup pemeriksaan BPK, ditetapkan dan diatur dalam UUD 1945 yang meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan Negara, yang menurut UU No. 17 Tahun 2003, Pasal 2 dimana kewenangannya mencakup tiga jenis pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang dilakukan oleh BPK dalam rangka memberi pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
2. Pemeriksaan kinerja adalah periksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan lagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah, tujuan adalah untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan dengan maksud agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan Negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien serta memenuhi sasarannya secar efektif.
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, diluar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan dan investigative. Permasalah yang timbul akibat pelaku tindak pidana pencucian uang tersebut sangat berpengaruh sekali dengan keuangan negara, dimana pengaturan keuangan negara sangat sensitive sekali peredarannya, dimana keuanggan negara yang harus dikelola tersebut harus terhindar dari uang-uang tidak halal/haram, yang secara tidak senganya atau perlahan-lahan akan mengalami defisit apabila, kegiatan tindak pidana pencucian uang tersebut tidak benar-benar dicegah.
Berdasarkan kegiatan yang bertentangan dengan hukum, maka yang bertugas untuk mengamankan keuangan negara akibat pencucian uang tersebut adalah Pihak keamanan Bank Indonesia dan petugas BPK untuk melakukan pengamanan terhadap keuangan negara dengan tindakan-tindakan pencegahan minimal memperkecil sesuai dengan ketentuan undang-undang Perbankan, undang-undang menteri keuangan maupun undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.
Analisa Secara Faktor Internal.
Dengan berlandasankan kepada undang-undang perbankan dan undang-undang keuangan negara berkaitan serta akibat tindak pidana pencucian uang (monay laundering), dimana analisa penulis secara factor internal terhadap tindak pidana pencucian uang dapat mengganggu stabilitas perekonomian dan keuangan Negara adalah suatu krgiatan atau tindakan yang dilarang oleh undang-undang perbankan maupun undang-undang keuangan negara, karena kegiatan tersebut adalah kegiatan perekonomian yang didapat dari uang tidak halal atau haram yaitu dari hasil perjudian, narkoba, kegiatan yang merupakan perdagangan melalui internet atau pengumpulan dana dari masyarakat yang tidak di izinkan pemerintah atau dilindungi oleh negara. Dimana kegiatan ini, merupakan suatu kegiatan yang penuh rekayasa dan terselubung serta beredar pada Black market.
Sebagai upaya melakukan pencegahan secara factor internal terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang tersebut, pemerintah telah memberlakukan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang yang merupakan sebagai payung hukum dan sebagai kebijakan pemberlakukan, dengan ancaman hukuman pidana dan sangsi hukuman dengan denda. Akan tetapi menurut penulis mengenai sangsi pidana dan sangsi hukuman denda tersebut masih dianggap terlalu kesil, mengingan kegiatan pencucian uang tersebut berlangsung secara kontinyu dan dalam skala jutaan dollar bahkan milyatan dollar, yang tidak disadari oleh Pemerintah Indonesuia dan memang kegiatan pencucian uang ini sangat sulit dilacak secara internal. Apabila kegiatan pencucian uang yang berada didalam negara Indonesia, dengan media yayasan, perusahaan atau lain-lainnya yang mengenai data-data tentang yayasan atau perusahaan tersebut sebenarnya fiktif belaka atau hanya nama samaran saja untuk mempermudah pengalihan peredaran uang tidak halal tersebut kebank-bank Internasional.
Analisa Secara Faktor Eksternal, begitu pula sebaliknya berdasarkan factor eksternal, dimana kegiatan tindak pidana pencucian uang (money laundering), berdasarkan factor eksternal untuk melakukan pencegahan tindaka pinada ini, perlu dilakukan konsolidasi antara pemerintah luar negeri dalam hal ini perbankan Internasiona, agar dapat dengan mudah untuk mengindetifikasi tindak pidana pencucian uang tersebut, yang masuk dari bank Internasional kewilah hukum Negara Indonesia. Dimana proses pencucian uang tersebut pada awalnya masuk melalui system perbankan dengan tahapan kegiatan pencucian secara internal melalui yayasan dan perushaan yang identitasnya disamarkan.
Berdasarkan anlisa penulis disini, terhadap tindak pidana pencucian uang (money laundering) baik secara internal maupun secara eksternal adalah suatu kegiatan pencucian uang yang masuk kesistem perbankan yang dapat mengganggu satabilitas dan keamanan system perbankan dan keuangan negara dalam hal yang berkaitan dengan asset-asset negara Indonesia.Oleh karenanya perlu suatu payung hukum yang mencegah dan membatasi tindak pidana pencucian (money laundering) yang masuk kedalam system perbangkan baik secara kegiatan internal maupun secara kegiatan eksternal, yang harus pula perlunya kerja sama antar negara-negara Internasional, khususnya bank-bank Internasional.
Kesimpulan :
1. Dengan berlandaskan kebijakan dasar yaitu UUD 1945 Pasal 33 yang pada dasarnya meningkatkan taraf kemidupan masyarakat dapat hidup tentram dan damai didalam melakukan transaksi perekonomian, dengan dilandasi oleh kebijakan pemberlakuan yaitu UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia dan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang (Monay Laundering).
2. Undang-Undang Bank Indonesia atau undang-undang perbankan dan undang-undang Menteri Keuangan adalah sebagai undang-undang yang membatasi atau koridor terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang, karena jika tidak ada payang hukum yang merupakan sebagai kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan yang diawasi secara internal, akan dapat lebih efektif pemberlakuannya. Mengingat tindak pidana pencucian uang adalah suatu perbuatan atau kegiatan yang merupakan kejahatan yang dilakukan secara samar-samar/tidak terlihat dan berada dilungkungan/tergolong dalam transaksi black market.
3. Dengan pemberlakuan UU No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang (monay laundering) adalah sebagai kebijakan pemberlakuan yang juga berfungsi sebagai payung hukum dengan sangsi hukuman badan maupun sanksi hukumnan denda, baik yang dilakukan pelaku tindak pidana secara internal maupun secara eksternal.
4. Pencegahan tindak pidana pencucian uang (manoy laundering) secara eksternal sangat sulit dilacak, karena pelaku tindak kejahatan ini dilakukan oleh badan hukum yang nama indentitasnya disamarkan (badan hukum tersebut sebenarnya tidak ada), hal ini yang menyulitkan petugas untuk melacak kegiatan badan hukum tersebut (perusahaan atau yayasan). Untuk melakukan pencegahan kegiatan tersebut yang secar eksternal perlunya ada kerja sama antara Pemeritah Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Bank Indonesia dengan Pemerintah Luar Negeri dalam hal ini diwakili oleh Bank Internasional.
Saran :
1. Berdasarkan analisa dan kesimpulan penulis secara faktor internal bahwa terhadap kebijakan pemberlakuan yaitu UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia dan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang (Monay Laundering) masih terlihat adanya pertentangan antar kebijakan tersebut, terlihat bahwa kebijakan pemberlakukan UU No. 3 Tahun 2004 telah mengatur mengenai sangsi hukuman baik berupa hukuman badan dan sangsi administratif, terlihat dalam pemberian sangsi tersebut tidak ada keseragaman dengan pemberian sangsi yang berdasarkan kebijakan pemberlakukan UU No. 15 Tahun 2004 tersebut. Atas dasar tersebut penulis menyarankan bahwa mengenai pengaturan sangsi pidana baik hukuman badan, denda maupun sangsi Administratif harus ada keseragaman dalam menjatuhkan sangsi tersebut, serta juga harus melihata kepada sangsi yang diatur oleh KUHPidana dan yang perlu diperhatikan dengan seksama didalam KUH Pidana hanya mengatur tentang kejahatan saja, tidak memperinci apakah kejahatan tersebut termasuk kejahatan Monay Laudering (kejahatan pencucian uang).
2. Berdasarkan analisa dan kesimpulan penulis secara faktor eksternal bahwa terhadap kedua kebijakan pemberlakuan tersebut diatas, juga harus memperhatikan kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakukan dunia Internasional, yang telah melakukan perjanjian kesepakatan/resolusi baik antara negara-negara berkembang maupun negara maju, mengingat kerja sama antara negara internasional adalah sangat diperlukan agar kegiatan kejahatan pencucian uang (monay laundering) tersebut dapat dicegah semaksimal mungkin.
3. Perlunya kesungguhan dari Pemerintah untuk melakukan pencegahan terhadap kejahatan pencucian uang (monay laudering), dengan mengupayakan suatu kebijakan pemberlakuan yang mengatur secara khusus tentang kejahatan pencucian uang, dengan memuat pasal-pasal mengatur tentang Petugas yang berwenang secara khusus, sangsi hukumannya, dan pasal-pasal yang mengatur hubungan antara negara Internasional, dan menghindarkan benturan-benturan kebijakan antara yang satu dengan lain terutama kebijakan secara internal. Tujuan tersebut adalah untuk mendapat kepercayaan dunia Internasional dan adanya kepastian hukum yang pasti.

No comments:

Post a Comment